Aina mulai merasa jenuh dengan peran yang di mainkannya, menghadapi para wanita kekasih Bima yang ajaib perangainya. Bagaimana mungkin, laki-laki itu bertahan? Ah, namanya juga lelaki flamboyan yang selalu pandai berkelit. Selalu ada celah untuk melarikan diri, dari tanggungjawab. Bila tidak mengingat ada Ibu yang harus di biayai pengobatannya, mungkin sudah dari jauh-jauh hari ia melarikan diri.
Selain para gundik suaminya yang selalu merongrong kehidupannya, Mama mertua juga ikut andil berusaha memporak-porandakan pernikahannya. Tapi sedari awal Aina sadar bukan perkawinan bahagia yang di dapatinya, tetapi komitmen saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Untuk itulah ia bertahan di rumah besar ini, menjadi tameng bagi lelaki bernama Bima Bagaskara.
"Apa setiap hari, hidup mu dihabiskan dengan melamun?" suara sinis itu, terdengar di rungunya. Aina tau, siapa pemilik kalimat yang selalu mengusiknya.
"Selamat pagi, Ma" Aina membalas ucapan mertuanya, dengan sopan. Ia mengabaikan pertanyaan, yang keluar dari mulut beracun Lidya. "Silahkan duduk, Ma" ditariknya kursi makan, untuk Mama mertuanya.
"Huh!" dengusnya kesal, sambil menjatuhkan bokongnya. Lidya sedikit kecewa, tak mendapat perlawanan dari Aina. "Kemana perginya suami mu? Sepagi ini, belum terlihat batang hidungnya."
"Mas Bima, tadi malam pergi keluar kota Ma" jawab Aina lembut.
"Terus, kenapa kamu gak ikut?"
"Mas Bima ada kerjaan, kalo aku ikut nanti takutnya merepotkan. Mama mau sarapan apa? Nasi goreng, atau roti bakar aja" tawar Aina lagi.
"Enggak usah sok baik, aku takut kamu malah mau meracuni ku" Lidya berkata demikian ketusnya.
"Iya terserah Mama aja, jangan sampai aku sebagai menantu gak merawat mertua" Aina pasrah, dengan pendirian keras Lidya.
"Aku gak perlu menantu seperti kamu, yang bisanya hanya merongrong harta anak ku."
"Kalo gitu Aina pamit Ma, silahkan minta tolong sama Mbok Jum" ucapnya menyerah.
"Iya, sana pergi! Kamu gak perlu melayani, cukup Mbok Jum suruh ke sini" perintah Lidya ketus.
Aina mengambil laptop di ruang kerja suaminya, ia lebih baik mendinginkan otak dengan berkarya. Berjalan sambil menjinjing tas laptopnya, Aina menuju arah samping rumah. Di taman ia melihat Mbok Jum, sedang menyiram tanaman bunga mawar beraneka warna.
"Mbok, tinggalkan dulu nyiramnya" panggil Aina, sembari melambaikan tangan meminta Mbok Jum mendekat.
"Iya Non, ada keperluan apa?" tanyanya penuh hormat.
"Mbok Jum, tolong buatkan sarapan buat Mama. Beliau gak mau, saya yang buatkan makanannya" ucap Aina pelan.
"Aduh kebiasaan sekali, Nyonya itu banyak maunya. Yang sabar ya, Non. Padahal Non Aina baik, kenapa malah gak suka?"
"Biarin aja Mbok, yang penting anaknya mau sama saya."
"Siplah Non! Mbok Jum, siap melaksanakan perintah."
"Hihihi! Mbok Jum, lucu deh!?" Aina terkikik geli, ia merasa terhibur dengan kehadiran perempuan bertubuh gempal itu. "Sekalian bawakan saya roti juga susu coklat, ya Mbok" tambahnya lagi.
"Siap Non!"
Untuk sesaat Aina bisa melupakan rasa sedih dan dongkolnya, karena dengan menulis ia dapat menuangkan segala ide di dirinya. Aina bisa membayangkan bagaimana peran menjadi wanita tangguh, atau sebaliknya perempuan lemah yang tertindas. Ia bisa menjadi apa saja, di kehidupan novel yang ditulisnya.
"Maaf Non, Mbok telat" Mbok Jum, dengan tergopoh-gopoh membawa nampan berisi pesanannya. "Soalnya, ada tamu Nyonya besar minta dilayani ini itu" ucapnya berbisik-bisik.
"Siapa yang datang, pagi-pagi begini?" tanya Aina, mengerutkan dahinya.
"Itu lho Non, yang kemarin malem bertamu" terang Mbok Jum, masih dengan suara pelan. "Ibu dan anaknya saja, tanpa ditemani suaminya."
"Oh, mantan tunangannya Mas Bima."
"Iya, yang sok kemayu dan sombongnya minta ampun. Nyuruh Mbok, seperti budaknya saja. Di tambah dengan Ibunya dan Nyonya besar, yang ikut-ikutan minta dilayani macam ratu."
"Sabar ya Mbok, anggap saja mereka juga majikan yang harus di hormati" hibur Aina, membesarkan hati.
"Iya Non, kalo gak sabar nanti Mbok Jum bakalan kurus karena tekanan batin" balasnya bercanda.
"Nah yang rugikan Pak Slamet, istri gemoynya jadi kering kerontang."
"Ish, Non Aina ini bisa aja bikin hati Mbok Jum jadi senang."
"Hehe! saya kan penulis Mbok, pekerjaan yang bisa membuat orang bahagia."
"Non Aina, jempolan deh!"
"Makasih, Mbok Jum. Ayok sana, kembali ke dalam. Barangkali aja, tamu-tamunya minta diambilin matahari juga."
"Hihi! Baik Non."
Selepas kepergian Mbok Jum, kembali Aina berkutat dengan tulisannya. Ia seolah lupa akan waktu, juga tempat dan keadaan yang semakin terik. Ia merentangkan kedua tangan, pegal sekali rasa tubuhnya. Diirik jam mungilnya, ternyata hari sudah semakin siang. Bergegas ia membereskan semua peralatan menulisnya, kemudian berjalan memasuki rumah.
Di ruang tamu terdengar suara-suara begitu ramai, rupanya Lidya mengundang teman-temannya berkumpul di rumah. Aina yang hendak ke kamar harus melalui ruang tamu, karena letak kamarnya berada di lantai atas. Keramaian itu langsung berhenti, begitu ia melewati ruangan yang di jadikan tempat kongkow para wanita setengah baya yang masih terlihat genit.
"Halo semuanya, maaf saya tidak tau ada tamu" sapa Aina, pura-pura terkejut.
"Siapa dia, Jeng Lidya?" tanya seorang wanita dengan rambut di sanggul tinggi.
"Cantik sekali! itu menantunya Jeng Lidya, kan?" tanya wanita lainnya menambahi.
"Iya, saya istrinya Bima. Perkenalkan, nama saya Aina Larasati" ucap Aina sopan, karena Lidya sepertinya enggan untuk mengenalkannya.
"Oh yang penulis itu, bukan?" sekali lagi, wanita bersanggul tinggi itu bertanya.
"Bukan Tante, saya gak bisa nulis cerita" sanggah Aina merendah. Sementara Lidya dan Nella serta putrinya Diandra, memasang wajah penuh amarah.
"Oo Tante kira, kamu penulis itu. Soalnya saya nge-fans banget sama cerita-cerita yang di tulisnya, penuh dengan berbagai konflik ringan dan penyelesainnya mengena sekali" cerocosnya cepat.
"Halah menantu ku itu, kerjanya cuman tidur dan makan doang" sindir Lidya meremehkan. "Makanya, aku suruh Bima menceraikannya. Enggak ada gunanya punya mantu macam dia, udah mandul juga gak punya karir cemerlang seperti Diandra."
"Wah sayangnya, cantik-cantik pemalas" suara-suara sumbang mulai terdengar, begitu Lidya berucap merendahkan martabat Aina.
"Udah mandul, belagu lagi. Sok-sokan jadi tuan rumah yang baik, ngaca dong sebelum menemui kami" tutur Diandra angkuh. Ia melihat dari atas ke bawah, penampilan Aina. Yang masih memakai daster bunga-bunga, seragam kebanggaan Ibu-ibu saat di rumah.
"Memangnya, aku harus seperti apa?" tanya Aina heran. "Baju ku, cukup sopan kok."
"Berdandan kek sedikit, jangan memalukan suami mu. Oh ya, aku lupa. Kamu kan perempuan ndeso, mana bisa berpenampilan seperti kami!?" tuturnya lagi, meremehkan Aina.
"Eh jangan asal kalo ngomong, biar dasteran macam emak-emak begini aku mampu menaklukkan Bima. Di banding kamu, yang katanya berpendidikan tinggi" cibir Aina, telak mengenai sasaran.
"Kau!" pekik Diandra keras. Telunjuknya mengacung ke arah wajah Aina.
"Ups, sorry" buru-buru Aina berlari cepat menaiki anak tangga, takut kena marah Mama Lidya yang menatapnya tajam.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂
Deandra jg gak sedar diri... mengatai Aina... Aina itu lebih baik drpd kamu. dasar pelakor
2023-11-08
1