Aina membuka celemeknya lalu segera berjalan ke arah depan, sementara Bima kembalikan lagi ke kamar. Bisa berabe kalo sampai Ibu mertuanya, menjumpainya dengan pakaian kekecilan seperti ini. Apalagi ketika tadi dengan ekor matanya, ia melihat Mbok Jum dengan diam-diam mentertawakannya. Huh bisa-bisa kehormatannya jatuh, bila para karyawan dan para kekasihnya tau. Seorang CEO sekaligus pemilik perusahaan besar, kedapatan memakai baju murahan juga kekecilan.
Sedangkan Aina yang berjalan ke arah pintu, kalah cepat dengan Ibunya yang sudah duduk di teras dengan sang tamu.
"Ram, tumben cepet udah nongol aja" sapa Aina pada Rama. "Mana baju kerja, sama yang lainnya?"
"Iya, kebetulan jalanan sepi jadi nyampenya cepat. Ini dari Nyonya besar, tadi dia marah-marah katanya ngerepotin aja" adu Rama pada Aina.
"Biarin, anaknya kok yang ngerjain Ibunya. Jangan di ambil hati, Mama orangnya kayak gitu" hibur Aina menenangkan.
"Iya, saya juga gak apa-apa. Maklum orang kecil seperti saya, bisa apa?"
"Jangan pesimis begitu, Nak Rama. Mungkin satu waktu, akan datang keberhasilan yang tak di sangka- sangka" Halimah menimpali obrolan putrinya.
"Mudah-mudahan aja, Bu. Doakan saya, mampu mencapai cita-cita yang diinginkan oleh Ibu."
"Aamiin" kompak Ibu dan anak meng-amini.
"Ram, kalo belum makan sekalian kita sarapan bareng" Aina menawarkan kebaikannya.
"Terimakasih Aina, saya sudah sarapan bubur ayam tadi."
"Ya udah di tinggal dulu, ngobrol aja bareng Ibu." Aina kembali ke dalam, dengan membawa paper bag berisi baju kerja juga printilannya.
"Lama banget, sih. Aku udah kedinginan dari tadi, nih" Aina di sambut oleh ocehan Bima, begitu membuka pintu kamar.
"Sabar sedikit, masa ujug-ujug ngambil bawaan tanpa basa-basi" balas Aina kesal. Ia segera, menyerahkan bawaannya.
"Halah keganjenan, sama supir aja genit" masih dengan wajah geram, Bima memakai pakaian kerjanya.
"Cemburu? Bilang bos!" seru Aina keras.
"Untuk apa cemburu? Aku hanya gak ingin, kamu menggagalkan rencana kita..."
"Cuma itu, gak ada yang lainnya gitu?!" Aina memotong ucapan Bima secepatnya.
"Aku hanya mengingatkan tentang perjanjian kontrak, yang sudah kamu tanda tangani. Dimana kamu di larang main hati, selagi masih terikat pernikahan dengan ku."
"Perjanjian yang hanya menguntungkan, salah satu pihak saja" Aina mencebik dengan sinis.
"Siapa bilang? Kamu udah begini glow up dan modis, di bilang hanya aku yang beruntung? Hadeuh, ngaca dong Yang" Bima menggaruk-garuk kepalanya gemas. "Tunggulah beberapa bulan lagi, aku bebaskan kamu berpetualang dengan siapa pun."
"Hei! Yang harusnya ngaca ya kamu, hubby. Kapan aku gonta-ganti pasangan? Malah aku berharap, kamu melakukan hal fatal yang membuat perjanjian kita gagal."
"Misalnya seperti apa?"
"Bila ada salah satu dari wanita mu hamil, maka aku minta kamu membebaskan diri ku."
"Oke, never mind. Jika itu sampai terjadi, maka kau bebas pergi dari ku dengan membawa semua yang telah ku berikan."
"Oke deal!" Aina langsung menyalami tangan Bima, dengan senyum manisnya. Ia berharap segera terlepas dari ikatan yang membuatnya terkurung, di dalam sangkar emas. "Setelah selesai, ku tunggu di ruang makan untuk sarapan bersama."
"Tunggu sebentar, aku harus memakai dasi ku terlebih dahulu. Kamu siapkan saja makanannya, aku akan menyusul."
"Baiklah, jangan lama-lama" Aina gegas ke luar dari kamarnya. Ia juga harus segera bersiap-siap, untuk pergi ke suatu tempat bersama Ibunya.
****
Bima sudah berangkat ke kantor satu jam lalu, dan Aina kini sedang duduk di kursi teras menanti Ibunya yang tengah berdandan. Mereka akan mengunjungi teman lama Halimah di Bogor, yang bermaksud akan menjual rumahnya. Aina langsung berminat dan meminta sang Ibu, untuk mengantarnya ke sana.
Dengan menyewa sebuah taksi online, mereka mengadakan perjalanan dari Jakarta menuju tempat yang telah ditentukan. Keputusan Aina ambil karena Bima akan pulang ke rumahnya, sedangkan ia sendiri beberapa hari akan menghabiskan waktu bersama Ibunya. Untuk melepas rindu selama tiga bulan lebih meninggalkan rumah, Aina ingin memberikan kejutan buat Halimah.
"Kita mau kemana sih, Aina?" tanya Halimah, melirik tempat duduk di sampingnya.
"Ke Bogor, Ibu kan pernah bilang punya teman yang mau menjual rumahnya. Nah beberapa hari lalu, Aina sudah menghubungi beliau. Dan hari ini, kita akan bertemu" jawab Aina panjang lebar.
"Oh ya ampun, kenapa gak bilang-bilang?" Halimah sedikit terkejut, mendengar penuturan putrinya.
"Kan namanya surprise, Bu" seloroh Aina senang, karena berhasil membuat Ibunya kaget.
"Memangnya kamu punya uang, gitu?" tanyanya penasaran.
"Makanya aku ajak Ibu, berarti uangnya ada."
"Suami mu tau, kamu berniat membeli rumah. Jangan sampai ia marah, karena uangnya kamu pakai membeli sesuatu yang tidak dikehendakinya. "
"Bu, ini uang Aina pribadi. Uang pemberian Bima, dan ada juga hasil dari menulis walau cuma sedikit" ucapnya merendah.
"Alhamdulillah, putri Ibu sudah bisa menghasilkan uang sendiri."
"Semua berkat doa Ibu juga, sehingga berhasil mendapatkan apa yang menjadi impian kita berdua. Karena gak selamanya Aina bakal tetap jadi istri Bima, setelah menemukan calon istri yang tepat ia segera akan menceraikan ku."
"Yang sabar ya, Nak. Ibu gak bisa bantu apa-apa, almarhum Ayah mu bisanya cuma membuat kita malu. Belum lagi hutang yang di bebankan di pundak mu, untungnya ada Nak Bima yang mau melunasinya."
"Iya Bu, tetapi perbuatan Bima itu juga gak gratis. Aku harus bisa memainkan peran sesuai dengan yang di kehendakinya."
"Tapi ia gak berusaha berbuat di luar batas kewajaran, bukan?"
"Sejauh ini belum Bu, mudah-mudahan gak terjadi."
Di tengah-tengah percakapan mereka, tiba-tiba sang sopir menghentikan kendaraannya di sebuah rest area.
"Maaf Bu, tadi sebelum berangkat katanya mau istirahat dulu."
"Oo ya Pak, saya mau beli oleh-oleh sebentar sekalian makan. "
"Siap Bu!"
Mobil berhenti di sebuah restoran cepat saji, ke duanya gegas menuju tempat makan yang menyajikan makanan dari ayam. Sepiring nasi berikut minumannya, mereka nikmati sembari mengobrol santai.
Setelah mendapat oleh-oleh sebagai buah tangan, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Pada tengah hari ke duanya tiba di tempat tujuan, sebuah tempat asri dengan latar belakang pepohonan hijau.
Mereka menjumpai seorang wanita dengan gamis dan jilbab lebar, yang menyambut dengan senyuman merekah.
"Halimah, apa kabar?" tanya wanita paruh baya itu. Ia memeluk Ibunya, lalu saling menempelkan pipi.
"Alhamdulillah baik, Yu" jawab Halimah sama-sama saling memeluk.
"Ini anak mu Aina, bukan? Sudah besar sekarang, ya" lanjutnya menghampiri Aina, yang berdiri melihat mereka melepas rindu.
"Iya Tante" jawab Aina, sembari mencium punggung tangannya.
"Masuk yuk!"
"Di sini saja, Yu. Adem, banyak pepohonan" tolak Halimah,lebih memilih duduk di teras.
"Ya udah, aku masuk dulu. Pingin minum apa, nih?"
"Jangan ngerepotin, biar nanti aja. Aku belum haus, malah rindu ingin dengar cerita selama kita terpisah" tolak Halimah halus.
Ayu yang hendak ke dapur, mengurungkan niatnya. Ia kembali duduk menemani Halimah, sahabat masa kecilnya yang terpisah cukup lama.
"Assalamualaikum" suara salam terdengar telinga mereka, yang sedang bercengkrama.
"Waalaikumsalama" serempak mereka menjawabnya.
Seorang pria dengan baju Koko putih dan bersarung tersenyum menawan. Wajah putih kemerahan tampak semakin tampan, di hiasi lesung di salah satu pipinya.
\*\*\*\*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments