Malam sudah begitu larut, ketika Aina dan Bima tiba di kediaman Halimah. Namun wanita paruh baya itu, masih belum tidur. Ia baru saja melaksanakan ibadah shalat malam, saat putri dan menantunya menyambanginya.
"Assalamualaikum Bu" ucap Aina, begitu pintu terbuka.
"Waalaikumsalam Aina" balas sang Ibu, lalu memeluk putrinya sayang. "Ada apa ini, malam-malam begini datang?" tanyanya dengan suara lirih.
"Ah, Aina hanya rindu sama Ibu. Memangnya, gak boleh gitu?!"
"Boleh...boleh, siapa bilang gak boleh? Ibu hanya kaget aja, gak biasanya datang malam-malam begini sebelumnya. Dengan siapa ke sini?"
"Iya mulai saat ini, Aina bakalan datang kapan pun aku mau" katanya manja. "Seperti biasa aku ke sini sama Pak suami, tuh orangnya lagi masukin mobil ke pekarangan."
"Ibu, apa kabarnya?" Bima langsung menyalami Ibu mertuanya dengan takjim, ia seperti menantu kebanyakan yang menaruh hormat pada orang tua.
"Alhamdulillah nak, Ibu sehat. Ayok kalian masuk, jangan berdiri di teras aja. Kalian menginap malam ini, kan?!"
"Iya Bu, kami mau ikut menginap beberapa hari. Itu pun, seandainya di ijinkan" kelakar Aina.
"Kamu ini, masa anak sendiri gak boleh" Halimah mencubit pipi anaknya pelan, sambil tertawa kecil. "Kebetulan tadi pagi, Inah sudah beres-beres kamar kamu. Ternyata, ada tamu tak terduga mampir."
"Semacam telepati ya, Bu" timpal Bima, mengikuti langkah kaki mertuanya yang berjalan beriringan bersama Aina.
"Iya begitulah, kira-kira" balas Halimah menyetujui. "Kalian gak bawa baju ganti, gak?"
"Enggak Bu. Kami rencananya mau nginap di hotel, tapi gak jadi berhubung semua kamar udah penuh" ucap Aina berbohong.
"Masa sih? Emang hotel cuma satu, sampe gak bisa dapet kamar" Halimah mengernyitkan keningnya, lalu duduk berhadapan dengan mereka.
"Aina bohong, Bu" sangkal Bima. "Ia gak mau nginap, karena manager hotelnya perempuan yang suka dengan Bima."
"Plaak!" Aina langsung memukul paha suaminya. "Dasar pengadu!"
"Oh, ada yang cemburu rupanya" Halimah tersenyum tipis, merasa bahagia melihat anaknya yang mulai menerima keadaan. Menikah untuk menutupi hutang Ayah Aina pada Bima, bukan harapan yang selama ini di impikan putrinya. Tetapi bisa apa? Mereka hanya keluarga miskin, yang terbuang karena ulah kepala keluarganya.
"Bu, bolehkah malam ini aku tidur bersama Ibu?" tanya Aina dengan wajah memohon.
"Bagaimana, dengan suami mu? Kamu bukan perempuan bebas seperti dulu, ada suami yang harus di perhatikan."
"Enggak pa-pa Bu, mungkin Aina rindu ingin bercerita" Bima seolah mengerti, dengan kegundahan hati istrinya. Barangkali setelah mengutarakan apa yang mengganjal, akan segera sirna kegalauannya.
"Tuh kan, Pak suami aja gak keberatan. Ibu malah, yang gak berkenan"ucap Aina senang.
"Ya udah, yuk kita istirahat. Udah malem, besok suami mu harus kerja" Halimah mengajak putrinya ke kamar. "Aina, Bima suruh ganti baju. Mungkin ada baju punya Ayah mu, yang bisa di pakai buat tidur."
"Iya Bu."
Sementara Bima berjalan menuju kamar, yang letaknya bersebelahan dengan ruang tamu. Ia pernah sekali tidur di rumah Aina, ketika menikah dulu. Kamar milik Aina, yang masih seperti pertama kali ia tiduri. Ranjang ukuran sedang dengan sprei bermotif bunga, serta meja belajar di sudut ruangan. Ada pigura foto Aina sejak bayi sampai lulus SMU, terpajang di dinding kamar.
Bima akui, istrinya terlihat cantik dengan kesederhanaannya. Dan semakin cemerlang, ketika menikah dengannya. Perawatan juga limpahan uang yang ia kucurkan untuk Aina, membuatnya berubah 180 derajat. Dari itik buruk rupa, menjelma menjadi seorang sosialita.
Tetapi walaupun demikian, satu yang tak pernah berubah dari istrinya yaitu rasa sayang dan cinta pada sang Ibu yang telah melahirkannya. Berbeda dengan dirinya, yang hanya mendapat limpahan materi saja dari ke dua orang tuanya. Sehingga menjadikan dirinya manusia yang egois, juga hanya mementingkan diri sendiri.
Namun bagaimana pun juga, ia harus berterimakasih pada orang tuanya yang telah mewariskan kerajaan bisnisnya. Sampai-sampai, ia begitu di segani di kalangan para pengusaha. Sebagai pebisnis yang bertangan dingin, dan menguasai pangsa pasar di Asia.
"Cklek!" suara pintu yang terbuka dari luar, membuat Bima tersadar.
"Ini ada baju Ayah, kelihatan masih bagus" Aina memberikan kaos, dan juga celana training untuk Bima. "Kali aja muat, soalnya hanya tersisa beberapa potong aja."
"Boleh lah, daripada gak pake baju" ujar Bima menerima pakaian dari tangan istrinya.
"Udah ya, aku keluar" pamit Aina, sembari memutar gagang pintu. "Good night, sleep tight!"
"Iya! Night to."
****
Pagi-pagi sekali Aina sudah berkutat di dapur, setelah melaksanakan kewajiban shalat subuh. Kebiasaan yang selalu di lakukan ketika masih tinggal bersama Ibunya, dan terbawa saat telah menikah. Ia tak ingin merepotkan orang lain, meskipun di rumah Ibunya ada yang membantu. Biasannya bila ada Aina, tugas di dapur jadi tanggungjawabnya. Sementara Mbok Juminten mengurusi urusan yang lain, seperti cuci baju dan bersih-bersih rumah.
"Eghm!" suara deheman keras, mengejutkan Aina yang tengah memasak sayur sop untuk Ibunya. Ia memalingkan wajahnya dengan cepat, tetapi kemudian tawanya berderai tiada henti.
"Bwaha-ha-ha!"
"Ada yang lucu, Nyonya Aina Larasati?" tanya Bima, yang sudah berdiri di depan pintu penghubung antara dapur dan ruang makan.
"Bukan lucu lagi, malah lebih dari lucu" ucap Aina masih dengan tawa di bibirnya.
"Memangnya, kenapa dengan wajah ku?" tanyanya heran. Ia meraba ke seluruhan wajahnya, dengan kedua tangannya.
"Bukan itu, tapi pakaian yang kamu pakai."
"Oh ini, kan mode baru. Enggak kalah dengan penampilan Lisa black pink, yang fenomenal itu."
"Hihihi!" Aina tertawa cekikikan, melihat Bima dengan stelan kekecilan. Training yang panjangnya hanya sampai betis, dan kaos yang tak bisa menutupi pusarnya. Benar-benar, kurang bahan penampilannya.
"Jangan ketawa keras-keras, seperti kuntilanak kesiangan" Bima menutup mulut Aina, dengan telapak tangan besarnya.
Aina memukul lengan suaminya, agar terlepas dari bekapannya. "Ish, aku gak bisa nafas tau!"
"Makanya diem, nanti ketauan Ibu mu jadinya aku malu."
"Maaf, maaf!" Aina menangkupkan, ke dua tangan. "Aku telpon Rama, biar bawain baju sama tas kerja."
"Charger, juga alat cukur sekalian" ucap Bima, sembari mencomot bakwan udang yang ada di meja.
"Ih jorok! Mandi dulu sana" usir Aina kesal.
"Iya, galak amat sih jadi istri. Si Amat aja, gak galak!" Bima mengalah untuk segera melangkah kakinya menuju kamar mandi, yang letaknya bersebelahan dengan dapur.
"Handuk bersihnya, ada di belakang pintu!" teriak Aina keras.
"Oke, bawel banget sih!" balas Bima, tak kalah kerasnya.
"Maaf Non, itu ada tamu di depan."
"Siapa tamunya,Mbok?" tanya Aina, sambil mematikan kompor.
"Enggak tau, tapi orangnya cakep."
"Udah di tanya cari siapa, Mbok? Kali aja itu tamunya Ibu, bukan ke saya."
"Aduh Mbok lupa, Non. Nanti saya tanyain lagi..."
"Enggak usah Mbok, bias saya aja. Barangkali, itu orang suruhan saya yang mau nganter baju" Bima keluar dari kamar mandi, dan hendak menemui tamunya. Tetapi Aina segera mengejarnya, serta menghentikan langkah kaki suaminya.
"Stop, jangan di teruskan. Lihat penampilan kamu, masa seorang CEO pake baju kekecilan."
"Hehe!" Bima hanya terkekeh, dan membiarkan Aina menjumpai sang tamu.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂
ngakek aku membacanya bila Bima memakai baju yg kecilan...
2023-11-08
1