Bab 15

Pria dewasa dengan senyum manisnya itu, gegas menyalami tamu Ibunya satu persatu. Kemudian duduk di depan tamunya, dengan wajah penuh tanda-tandanya.

"Abyan, Ini teman Mama dari Jakarta namanya Tante Halimah dan putrinya Aina" Ayu memperkenalkan tamunya pada sang putra. "Dulu Mama pernah sekolah bareng Halimah dari SD sampai SMA, terus kami berpisah karena Mama menikah dengan Ayah mu dan mengikutinya ke luar Jawa. Sekarang beliau ke sini, karena tertarik dengan rumah yang akan kita jual."

"Oo ya, jadi sekalinya bertemu langsung reunian" ucap Abyan, memandang bergantian antara Mamanya dengan sang tamu.

"Iya Mama juga gak nyangka, ternyata Halimah teman lama semasa sekolah yang ingin membeli rumah kita."

"Jadi bagaimana Tan, berminat dengan rumah ini?" tanya Abyan meminta pendapat Halimah.

"Sebenarnya, putri Tante yang berminat. Ia ingin punya hunian di kota hujan, biar adem gak seperti di Ibukota yang semrawut juga panas katanya" Jawab Halimah, sambil melirik Aina. "Tapi kenapa harus di jual? Rumah sebagus dan se asri ini, dengan harga lumayan murah."

"Karena aku di minta anak yang paling besar untuk ikut dengannya, lagi pula suami ku juga sudah lama meninggal dunia."

"Kalo Abyan ini, anak mu nomor berapa?" tanya Halimah lagi.

"Anak ku cuma dua, Imah. Dan Abyan putra bungsu ku, sedangkan kakaknya perempuan sudah menikah dan memiliki satu putra. Aku di minta Ratih putri ku agar menemaninya, kebetulan suaminya seorang abdi negara yang sering bertugas keluar daerah bahkan sampai luar negeri" ucap Ayu bangga.

"Ternyata putri mu menurun darah Mamanya, sama-sama menikahi seorang tentara."

"Iya, aku juga gak nyangka. Tinggal si bungsu yang belum berkeluarga, entah kapan? Habis pacar juga gak punya, ia sibuk cari uang sebesar pintu" Ayu melihat putranya, yang hanya tertawa kecil. "Ngomong-ngomong putri mu sudah menikah, belum Imah?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. "Terus suami mu kemana? Kalian hanya berdua saja kemari, padahal aku ingin bertemu dengan Harman."

"Aina sudah menikah, Yu. Baru beberapa bulan, sementara suami ku sudah meninggal dua tahun lalu."

"Berarti aku dengan kamu, sama-sama ditinggal oleh belahan jiwa kita."

"Tapi ada bedanya, kamu bahagia bersuamikan Anton sedangkan aku mengalami banyak kesulitan" ucap Ayu dengan suara bergetar.

"Aku sendiri tak tau dengan kehidupan rumahtangga mu, tetapi satu yang pasti jangan sesali semua yang sudah terjadi" balas Ayu, sembari menepuk-nepuk punggung tangan Halimah. "Tak selamanya pernikahan itu akan di hiasi oleh manisnya madu, selalu ada kerikil-kerikil tajam mencoba melukai kita."

"Ya, aku jadi kuat karenanya, dan juga ada Aina putri ku sebagai penyemangat hidup."

"Bu, kok jadi sedih sih. Rencananya kan, kita mau senang-senang" Aina mencoba menengahi percakapan, yang mulai menguras emosi.

"Aduh, Ibu sampe lupa" Halimah menepuk keningnya sendiri. "Gimana Aina, kamu suka rumahnya?" tanyanya, menatap lembut wajah putrinya.

"Suka sekali, Bu. Malah kalo di ijinkan, ingin menginap di sini" balas Aina tersenyum tipis.

"Boleh...boleh, Tante senang kalo di rumah banyak orang" Ayu menyambut baik keinginan Aina, ia dengan tangan terbuka mempersilahkan Ibu dan anaknya menginap.

"Wah makasih ya, Tan. Udah mau menerima kami, dan biar Ibu sama Tante Ayu bisa bernostalgia" Aina mengeluarkan alasannya datang, selain untuk melihat-lihat keadaan rumah yang akan di belinya.

"Bisa aja kamu, Aina."

"Saya cuma memfasilitasi keinginan Ibu, untuk bertemu sahabat lamanya" kilah Aina menambahkan alasannya.

"Pengertian sekali kamu, Aina. Tante seneng dengernya, udah lama gak ketemuan. Mungkin lewat iklan rumah, jadi penyambung pertemuan kita. Istirahat dulu deh, pasti badannya pada pegal."

"Iya, makasih Tante" ucap Aina tulus.

"Sama-sama cantik."

      ****

Sedangkan Bima yang di tinggal Aina, kembali ke rumahnya setelah semalam menginap di rumah Ibu mertuanya. Sambutan Mamanya begitu hangat, ketika tau ia datang hanya sendiri. Di kursi teras, Lidya tengah menunggu sang putra kembali dari pekerjaannya. Di temani secangkir teh manis, dan beberapa camilan di dalam toples.

"Istri mu, apa gak ikut pulang?" tanya Lidya, saat melihat putranya turun dari kendaraannya.

"Enggak Ma, ia mau tidur di rumah Ibunya" jawab Bima singkat. Ia mengambil tangan Mamanya, untuk di cium dengan takjim.

"Oo baguslah, pemandangan di rumah jadi bersih tanpa adanya istri mu" balas Lidya bahagia. "Dan Mama juga, jadi lebih sehat daripada sebelumnya."

"Kok ngomongnya gitu, sih. Biar bagaimana pun, Aina itu istrinya aku?!" sangkal Bima kesal. Ia duduk selonjoran, di kursi sofa.

"Mama tau, belum pikun mesti di ingatkan segala" ucapnya ketus. "Istri mu itu juga, gak becus ngurusin rumah. Kerjaannya cuma duduk di depan laptop, sambil melamun."

"Ma, aku cari istri bukan pembantu. Kalo mau rumah bersih, kan ada si Mbok" Bima semakin kesal, setiap mendengar Mamanya merepet tiada henti.

"Kamu tuh ya, gak pernah nurut omongan orang tua. Nyangkal gak ada habisnya, udah tau istrinya pemalas. Kerjanya ke salon terus, ngabisin uang suami aja."

"Sama seperti Mama, kan. Di belakang juga, Papi suka ngomel-ngomel gak jelas."

"Heh, sembarangan. Papi kamu beruntung dapetin Mama, yang anak orang kaya. Sedangkan kamu, istri mu gak lebih dari benalu."

"CK, susah ngomong sama Mama" Bima langsung berdiri, hendak ke dalam rumah. Tetapi langkah kakinya terhenti, ketika Diandra datang membawa minuman dingin.

"Duduk Bim, aku buatkan es teh manis" Diandra mendorong bahu Bima pelan, agar kembali duduk.

Mau tak mau Bima menurunkan egonya, ia merasa urusannya dengan sang Mama bukan untuk di ketahui oleh Diandra.

"Thanks, Diandra. Kamu gak usah repot-repot, bikinin minuman buat ku."

"Enggak kok. Aku senang aja, mengingat masa lalu ketika kita masih jadi sepasang kekasih."

"Jangan di ingat-ingat, itu udah lama berlalu. Aku juga berusaha, untuk mengubur semua kenangan bersama mu."

"Sayang sekali, ternyata hanya aku yang masih mengingatnya. Tapi ya biarlah, aku akan kembali berusaha untuk mengambil kembali perhatian mu pada ku."

Bima mengangkat bahunya acuh, ia lebih senang memandang kegelapan malam ketimbang perempuan yang pernah mengisi hatinya.

"Ma, aku ke dalam dulu. Gerah rasanya, ingin berendam di bathtub" pamit Bima pada Ibunya, tanpa mau menatap Diandra. Ia membawa tas berisi laptopnya, dan berjalan pelan meninggalkan mereka.

"Tan, lebih baik aku pergi dari rumah ini" Diandra berkata sendu, sambil menunduk mempermainkan kuku-kuku jari tangannya.

"Jangan dulu. Mumpung perempuan udik itu gak ada di sini, kita bisa nyusun strategi merebut perhatian Bima" usul Lidya, yang membuat wajah Diandra langsung sumringah. "Tante curiga, mereka sebenarnya bermain sandiwara sebagai pasangan suami-istri."

"Benarkah Tan?" tanya Diandra terkejut.

"Coba aja kamu perhatikan, mana ada pengantin baru tidurnya terpisah."

'Yes!' pekik Diandra, bersorak gembira dalam hatinya. Ia punya kesempatan, untuk merebut perhatian Bima dari perempuan udik itu.

     ****

Terpopuler

Comments

꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂

꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂

jahat bgt ya ibu Bima dan Diandra....

2023-11-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!