Viola memasuki pelataran rumah saat jam sudah menunjukkan pukul 21.15. Seharian ini, Viola membicarakan banyak hal dengan Tari.
Gadis itu melangkah santai, namun tatapannya menajam saat setangkai bunga tulip putih kembali tergelak di atas meja kayu. Viola meraih kertas putih di samping bunga tersebut.
Maaf kemarin aku nggak datang.
-YourLove
Viola berdecak kesal. Kedua bola matanya berputar malas. Ia meremas kertas putih itu dan membuangnya ke tempat sampah. Lengkap dengan bunga tulip putih itu tentunya. Viola muak. Mulai detik ini, biar saja Calvin terus mengiriminya bunga tulip, maka Viola pun akan langsung membuangnya, tanpa berpikir dua kali.
Viola memasuki rumah dengan langkah lebar. Viola benci. Rasanya selalu sesesak ini saat mendapat kiriman bunga dari orang yang ia ingin temui, meski ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak peduli. Viola ingin penjelasan. Kemana Calvin? Kemana dia selama ini? Kemana Calvin saat malam itu? Apa alasannya menghilang? Dan apa alasan Calvin terus mengiriminya bunga dan surat tanpa penjelasan? Mengapa Calvin seolah sangat senang membuat Viola menderita? Calvin pergi tanpa pamit. Viola pun memutuskan hubungannya dengan Calvin tanpa kata putus. Calvin enyah, tanpa bayang-bayang Viola yang ia bawa. Tapi, mengapa? Mengapa hanya Calvin yang bebas pergi kemana pun ia mau? Mengapa Viola masih bertahan dengan rasa perih di tempat semula? Dunia sungguh tidak adil.
Viola menelungkupkan kepala di antara kedua lututnya. Dan, kenangan tentang malam tiga bulan lalu itu pun mampir. Malam yang merenggut tawa lepas Viola. Malam yang menjadi awal dimulainya semua keterpurukan.
...•••...
Terhitung empat jam sudah Viola duduk kursi taman dekat rumahnya. Ia menunggu sang kekasih yang entah di mana keberadaannya. Malam semakin larut. Dan bodohnya, Viola enggan beranjak dengan harapan seseorang yang ia tunggu datang.
Gadis berambut panjang itu menyalakan ponsel yang sedari tadi ia genggam. Panggilan yang kesekian, Viola tujukan pada orang yang sama, namun tetap tidak mendapat jawaban.
Viola menengadah saat merasakan tetesan air mendarat di punggung tangan. Gadis itu memasukkan ponsel ke dalam saku hoodie pink yang ia gunakan.
Hujan semakin deras. Namun, Viola tetap berada di tempatnya. Hingga pada akhirnya, Viola tidak lagi merasakan tetesan air hujan. Padahal, jelas-jelas hujan masih turun dengan derasnya.
Saat Viola menengadah, ternyata ada sebuah tangan kekar yang sedang menggenggam payung untuknya.
"Afkar?" Viola menyebut nama orang itu sembari berdiri dan menghadap Afkar.
"Ngapain lo malam-malam di sini? Nggak tahu lagi hujan? Pulang."
"Calvin belum datang."
Afkar berdecak kesal. "Lo masih nunggu, tuh, cowok? Udah buruan pulang. Gue anterin."
Dengan langkah gontai, Viola mengekori Afkar menuju mobil laki-laki itu.
"Dari mana lo tahu keberadaan gue?" tanya Viola saat mobil Afkar telah melaju.
"Kakak lo."
"Kenapa bukan Kak Raka yang jemput?"
Afkar mengedikkan bahu. "Mana gue tahu."
"Kak Raka nyuruh lo?"
Afkar menggeleng.
"Terus kenapa lo jemput gue?"
"Udah malem."
"Terus? Kenapa?"
"Ya, itu."
"Itu apa?"
Melihat hujan sudah reda, Afkar menghentikan mobil di tepi jalan. "Turun dulu, gue mau ngomong."
Meski Viola bingung, gadis itu tetap mengikuti Afkar. Mereka berdua saling diam cukup lama di depan mobil.
Viola menoleh ke samping kanan. Entah mulai kapan, ada rasa aneh yang menyelinap saat Viola berada di dekat Afkar.
"Ngapain lo lihatin gue?" tanya Afkar yang masih menatap langit. Laki-laki itu menoleh dan terkekeh geli saat melihat ekspresi Viola.
Afkar menatap manik mata Viola. "Gue sayang lo, Vi."
Viola cengo. Kata-kata Afkar terlalu mendadak memasuki gendang telinga Viola, membuat kerja otaknya menjadi lebih lambat. "M-maksudnya?"
"Iya. Gue sayang sama lo. Kalau lo udah putus dari Calvin, lo bilang sama gue."
"Gue nggak ngerti." Viola membuang muka. Ia kembali mengamati bintang yang bertebaran.
Afkar gemas. Lelaki itu menggenggam kedua bahu Viola dan memutarnya. Membuat Viola terkesiap. Dan Afkar tidak peduli.
"Gue tahu, lo juga ngerasain hal yang sama, 'kan?" tanya Afkar sambil tetap mengunci manik mata Viola. "Ada puluhan cewek yang pernah dekat sama gue. Tapi, cuma lo yang bisa nahan emosi gue, Vi. Lo tahu gue orangnya gimana. Dan lo bisa ngatasi itu. Bilang, Vi. Lo juga ngerasain hal yang sama, 'kan?"
"Gue punya Calvin, Kar."
Afkar berdecih. Genggaman tangannya pada bahu Viola terlepas. "Lo emang punya Calvin, tapi dia nggak pernah ada buat lo! Dia berubah. Iya, 'kan?!"
Afkar benar. Viola memang merasa Calvin berubah selama dua bulan terakhir. Viola merasa, Calvin sudah tidak peduli padanya. Mungkin, karena kerjaan Calvin yang menyita banyak waktu? Mungkin saja.
"Kita pulang sekarang," putus Viola yang segera kembali ke dalam mobil.
Afkar mengembuskan nafas berat. Laki-laki itu kembali ke balik kursi kemudi dan menyalakan mesin. Tanpa sepatah kata pun. Tepat saat Afkar menginjak pedal gas, sebuah truk dari arah belakang menghantam mobil Afkar.
Afkar dan Viola sama-sama panik saat mobil Afkar terseret truk dari belakang. Afkar melirik Viola. Gadis itu belum mengenakan sabuk pengaman. Dengan cepat, Afkar melepas sabuk pengamannya dan beralih merengkuh tubuh Viola.
"Gue takut, Kar!" seru Viola dengan kepanikan yang kentara. Dan telinga Afkar terasa panas mendengarnya.
"Tenang, ada gue."
"Diem!" ucap Afkar saat merasakan tubuh Viola bergerak.
Viola menurut. Gadis itu memejamkan mata rapat-rapat di balik dada bidang Afkar. Yang bisa Viola lakukan sekarang hanya berdoa.
Nahas!
Kecelakaan tragis itu terjadi. Mobil Afkar menghantam tembok di tikungan jalan. Belum cukup, mobil Afkar pun terguling. Membuat penumpang yang berada di dalamnya terpental.
Afkar dan Viola sama-sama berlumuran darah. Di sisa terakhir kesadarannya, Viola dapat mendengar suara lirih Afkar.
"I love you, Viola."
...•••...
Air mata Viola kembali merembes. Setelah malam itu, Afkar kehilangan sebagian memorinya. Dan Viola mendapat pembekuan darah di bagian jantung. Hal itulah yang membuat Viola tidak boleh terluka.
Benar. Saat hari pertama MPLS, itu bukan pertama kalinya Viola bertemu Afkar. Mereka pertama kali bertemu di rumah Afkar. Raka yang mengajak Viola pergi ke pesta ulang tahun Sella. Saat itu, Raka dan Sella masih berstatus pacar.
Tentang sikap Viola yang terkesan cuek, itu adalah bentuk pertahanan Viola untuk menekan keegoisannya. Keegoisan sebab Viola ingin Afkar mengingatnya lagi. Mengingat bahwa mereka saling jatuh cinta, jauh sebelum hari ini.
Hingga kemarin, Viola belum bisa memastikan bagaimana perasaannya terhadap Afkar. Viola tidak ingin menjalin hubungan dengan Afkar, sementara dirinya masih dihantui bayangan masa lalu. Bayangan Calvin. Namun, pagi tadi Viola telah memutuskan, ia memilih Afkar. Viola yakin, ia dan Afkar memang saling mencintai.
Viola mendesah. Ia pasrah. Keadaannya semakin rumit sekarang. Di saat ia yakin tentang perasaannya, Viola terlambat. Afkar sudah menjadi milik Ina sekarang. Milik sahabatnya.
Andai saja Viola cepat memutuskan. Andai Viola dapat mengontrol isi hatinya sendiri. Andai Calvin tidak meninggalkannya tanpa alasan. Andai Calvin tidak membuat Viola bimbang. Dan masih banyak andai-andai lainnya.
Setelah cukup lama merenung, Viola memutuskan beranjak. Ia menuju kamar mandi dan mengisi bath tub penuh dengan air hangat. Mungkin, dengan begini, Viola dapat mengenyahkan segala beban yang menimpanya, walau sejenak.
...•••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments