|11.| Cinta dan Diam

Melihat kilatan api di hadapannya, Viola merasa ingin meleburkan diri. Biar jiwa dan raganya yang lelah ini hangus bersama kobaran bara api. Matanya menyipit, menghalau asap yang memedihkan mata. Asap itu, sama seperti hari-harinya kini; suram dan menyakitkan.

"Lo udah baikan?"

Viola yang semula duduk di hadapan api unggun sontak menoleh ke sisi kanannya dan mendapati cowok berhoodie cokelat tua. "Eh, Reza."

Pandangan Viola mendadak tidak dapat fokus ke satu titik. Ia merasa canggung. Sejak kejadian di lapangan futsal tadi siang, Viola dan Reza belum membuka obrolan kembali. Gadis itu masih bingung bagaimana cara menjelaskan pada Reza, bahwa telah ada seseorang yang bertahta di hatinya.

"Vio ... soal tadi sore---"

"Hey! Lo Viola, bukan?"

Viola dan Reza sama-sama menoleh ke arah suara siswi berambut lurus sepunggung. Siswi kelas sepuluh tentunya.

"Iya," jawab Viola. "Ada apa?"

"Lo dipanggil Kak Raka, tuh. Di taman."

"Oke, thank's, ya."

Gadis itu hanya mengangguk singkat sebelum melenggang dari hadapan Viola dan Reza.

Viola kembali menatap cowok yang tengah duduk di sebelahnya. "Gue ke sana dulu."

Tidak ada yang bisa Reza lakukan selain mengangguk. Sebenarnya, Reza memberanikan diri untuk menembak Viola di tengah lapangan futsal tadi karena ingin membuktikan sebuah mitos. Konon, rasa patah hati yang kita rasakan akan jauh lebih sakit ketika melihat orang yang kita suka telah bersama orang lain, sebab kita tidak pernah mengungkapkan perasaan. Rasa sakitnya jauh lebih dalam dari pada saat kita telah mengungkapkan perasaan, lalu ditolak.

Bullshit!

Nyatanya, rasa sakit itu setara. Melihat dia---orang yang kita suka---bersama orang lain, dan melihat dia menolak cinta kita, hati ini tetap mengeluarkan banyak darah tak kasat mata, tanda rasa lara yang sama besarnya.

Reza menghembuskan nafas berat. Jujur saja, tanpa Viola berkata pun, ia tahu siapa gerangan yang menduduki tahta singgasana kerajaan di hati gadis itu.

...•••...

"Kenapa, Kak?" tanya Viola begitu mendapati sosok Raka yang tengah berdiri membelakanginya. Viola tahu, kehadiran memang sudah ditunggu.

Raka membalikkan badan. Mengamati adiknya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Viola yang ditatap demikian pun lama-lama merasa risih.

"Apaan, sih, Kak?"

Raka berjalan mendekat, hingga jaraknya dengan Viola tinggal satu depa. Raka meraih pergelangan tangan kiri Viola dan mengamati jari-jarinya.

Viola hanya diam. Gadis itu sudah menduga apa yang akan terjadi berikutnya.

"Apa ini?"

Sarat intimidasi di balik suara Raka membuat Viola tertunduk dalam. Ia enggan melihat ekspresi wajah kakaknya. "I-itu...."

Raka meraih dan mengangkat dagu Viola dengan jari telunjuknya. Manik mata mereka saling beradu. "Harus berapa kali Kakak bilang? Jangan sentuh benda tajam."

"Ma-maaf...."

Raka menghela nafas sejenak. "Tapi kamu nggak pa-pa, 'kan?"

Pertanyaan Raka dijawab gelengan oleh Viola. Gadis itu masih merasa bersalah sebab telah membuat kakaknya cemas. Selalu seperti ini jika Viola berurusan dengan benda tajam. Padahal, Viola sudah mencoba sehati-hati mungkin.

"Udah diminum, kan, obatnya?"

"Udah."

"Bagus."

Berikutnya, suara melengking bersumber dari toa mengalihkan pandangan Raka dan Viola menuju api unggun. Mereka saling tatap sebelum sama-sama beranjak dari tempat.

Yang tidak Raka ataupun Viola sadari adalah, ada sepasang mata yang sejak tadi menguntit gerak-gerik mereka. Pemilik mata itu tersenyum miring sambil manggut-manggut. Seolah baru saja mengerti akan sesuatu.

...•••...

Sesuai instruksi dari panitia kemah---siswa kelas XI---setiap gugus tengah mempersiapkan tampilan apa yang akan mereka unjukkan tiga puluh menit dari sekarang.

Gugus 3 sepakat untuk menampilkan musikalisasi puisi. Karena ulah Ina, lagi-lagi Viola harus terjebak bersama lelaki bernama Afkar Malenio Ghanie. Ina yang memang paham benar bagaimana lihainya seorang Viola dalam mengekspresikan puisi, sontak mengusulkan ide yang bercokol di kepalanya dan disetujui oleh anggota gugus 3 yang lain. Sebab tidak ada lelaki yang mengaku bisa bermain gitar, Afkar segera memanfaatkan keadaan untuk lebih dekat dengan Viola. Jika bisa sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui, mengapa tidak?

Afkar dan Viola akan berkolaborasi dalam pentas seni api unggun. Viola sebagai pembaca puisi, sedangkan Afkar akan memetik gitar sebagai pengiring.

Waktu tersisa 5 menit lagi. Viola banyak menghabiskan waktu untuk menulis puisi. Sialnya, gugus 3 mendapat nomor urut pertama, hingga mereka tidak memiliki waktu lagi untuk berlatih. Akhirnya, Afkar dan Viola sama-sama pasrah tentang bagaimana hasil dari penampilan mereka sesaat lagi.

Suara petikan gitar oleh tangan Afkar membuat euforia di sekitar api unggun terasa sangat berbeda. Suara para murid yang semula beradu pun mendadak lenyap. Semua mata tertuju pada Afkar dan Viola yang berada di tengah siswa-siswi yang duduk membentuk lingkaran besar.

Viola menghembuskan nafas perlahan. Berusaha untuk menetralisir rasa grogi yang mulai hinggap dalam dirinya. Gadis itu tersenyum singkat untuk memberi semangat pada dirinya sendiri.

"Cinta nan Abadi, oleh Viola Senia Mahrito." Suara lembut Viola mulai beradu dengan suara petikan gitar oleh jari-jari Afkar, membuat seluruh pasang mata memusatkan pandangan ke arah Viola. Tidak terkecuali dengan Afkar yang duduk di atas kursi samping kiri Viola.

"Ada rasa bersarang dalam jiwa,

Berbungkus selaput ketakutan,

Sibuk menerka apa yang datang,

Hingga ia enggan timbul ke permukaan."

Viola mendongak. Menatap wajah-wajah di hadapannya dengan berbagai ekspresi. Tersisa dua bait. Gadis itu kembali membaca puisi dengan intonasi dan artikulasi seapik yang ia bisa. Tidak lupa dengan gesture dan ekspresi yang sesuai. Kaki jenjangnya pun melangkah ke sana-ke mari.

"Mencintai dan diam,

Memilikimu hanya sebatas angan,

Rasa ini teramat dominan,

Hingga menepisnya pun jiwaku seolah enggan."

Tanpa sadar, Viola telah masuk ke dalam emosi yang ia ciptakan sendiri. Suaranya mulai bergetar. Viola menekan dadanya sebelum kembali membaca puisi.

"Dorong aku ke dasar jurang!

Biar rasa ini jalan sendirian,

Tanpa raga yang selalu merasa terancam,

Dan, kutunggu kau di keabadian."

Viola mendongak sembari mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi pipinya. Tepat setelah itu, suara riuh tepuk tangan penonton pun tak tertahankan. Mereka semua takjub dengan cara Viola membawakan puisi karangannya sendiri. Bahkan, banyak juga para siswa yang tanpa sadar turut meneteskan air mata.

Afkar dan Viola kembali ke kerumunan penonton. Tentu saja, mereka duduk di antara sahabat mereka masing-masing.

"Gila! Lo tadi keren banget, Vi!" pekik Riri dengan suara tertahan setelah Viola duduk di sampingnya.

"Iya!" sahut Ina. "Apalagi Bang Afkar, keren parah!"

Viola hanya mengulas senyum singkat sebagai balasan. Yang tidak semua orang tahu, emosi yang Viola tunjukkan itu benar adanya.

"Gue ke toilet dulu, ya," pamit Viola yang segera melenggang pergi.

Langkah Viola tergesa-gesa menuju toilet. Gadis itu siap menumpahkan seluruh emosi yang masih tersisa. Namun, baru selangkah Viola menginjak lantai toilet, sebuah tangan kekar terasa mencekal pergelangan tangannya.

"Afkar? Ngapain lo di sini?"

...•••...

"Boleh juga, tuh, si Vio," celetuk Alfa sesaat setelah Afkar kembali ke kerumunan penonton.

"Lo jangan rakus, dong!" tukas Reza. "Riri, ya, Riri aja. Vio buat gue!"

Alfa tergelak. "Lah, emang Vio mau sama cowok modelan kayak lo?"

"Heh! Yang ada, tuh, gue lebih-lebih dibanding elo, ya!"

"Lo lebih? Lebih apa? Lebih buruk?" Alfa terbahak-bahak. "Emang, sih!"

"Sembarangan lo, ya!"

Sementara Alfa dan Reza terus berdebat, pandangan Afkar enggan terlepas dari sosok gadis yang tadi tampil bersama dirinya.

Mungkin, semua orang takjub akan penampilan Viola. Takjub akan gadis itu yang seolah menyatu dengan setiap aksara dalam puisinya. Tapi Afkar tahu, yang Viola tulis, dan yang Viola ekspresikan, semuanya murni berdasarkan apa yang tengah gadis itu rasakan. Viola memang sedang sesakit itu. Seberapa tebal lapisan yang Viola gunakan untuk menutupi bagaimana kondisi hatinya, Afkar dapat melihatnya secara gamang melalui tatapan gadis itu.

Manik mata Afkar menangkap Viola yang tiba-tiba beranjak dari tempatnya. Afkar lantas menyusul. Saat gadis itu akan memasuki toilet, Afkar berhasil meraih pergelangan tangannya.

"Afkar? Ngapain lo di sini?" tanya Viola sesaat setelah manik mata mereka bersitatap.

Manik mata Afkar menerobos tanpa izin, masuk ke manik mata cokelat terang di hadapannya. Jelas. Sangat jelas bagaimana cara mata gadis itu memancarkan aura kesedihan. Mungkin, bibir dan ekspresi wajah Viola sanggup mengelak, namun tidak dengan manik matanya. Viola benar-benar butuh seseorang sebagai sandaran. "Gue tau kenapa lo ke sini. Dan lo hutang cerita ke gue. Jadi, ikut gue sekarang, dan bayar lunas hutang-hutang lo."

"Tapi---"

...•••••...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!