..."Ternyata kamu sudah ada di hatiku jauh sebelum halaman ini tertulis."...
...•...
...•...
...•...
Viola mengerjapkan kedua matanya yang terasa lengket. Ia baru sadar, bahwa dirinya tertidur dengan air mata berlinang.
Pandangan gadis itu melirik jam dinding. Entah mengapa, tapi Viola merasa, ia membutuhkan penjelasan Calvin. Viola tidak bisa terus dihantui ribuan tanya seperti ini. Ia memang gadis pemaaf, namun Viola tetap hanya seorang manusia biasa. Oleh karena itu, Viola segera beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, Viola telah siap dengan hoodie abu-abu-putih, celana kain warna pink, serta rambut panjang yang tergerai.
Viola melangkah menuju balkon. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat setangkai bunga tulip putih tergeletak tepat di bawah sana.
Viola bergegas turun. Namun, suara Raka menghentikannya tepat di anak tangga terakhir.
"Mau kemana?"
"Beli barang cewek di mini market." Viola kembali melangkah, tanpa memperdulikan tatapan intimidasi dari sang kakak.
"Langsung pulang!" teriak Raka yang hanya terdengar angin lalu di telinga Viola.
Viola terus melangkah dengan segenap emosi yang campur aduk. Penasaran, marah, kecewa, sedih, semua menyatu dalam bingkai kepedihan. Gadis itu segera memungut apa yang ia lihat dari balkon kamarnya tadi.
Aku udah di taman. Aku tunggu kamu.
-Your Love
Kertas yang berisi tulisan itu, akhirnya menjadi pelampiasan emosi Viola. Sekuat tenaga gadis itu meremasnya. Lalu, ia kembali melangkah dengan cepat.
Sesampainya di taman, manik mata Viola menjelajah liar. Mencari sosok yang selama ini tidak mengizinkannya untuk hidup tenang.
Viola mencari. Terus mencari. Hingga bola matanya menangkap sosok laki-laki berhoodie hitam yang duduk di salah satu kursi taman, dengan posisi membelakangi Viola.
"Kemana aja kamu?!" sentak Viola saat telah berdiri tepat dua meter dari tempat Calvin duduk.
Kedua bahu Viola naik-turun tidak beraturan. Nafasnya memburu. Pertanda bahwa emosi yang tertahan akan segera mencuat.
Viola berdecak kesal, sebab lelaki di depannya hanya diam.
"Calvin!" pekik Viola, yang nyatanya tidak mendapat respon apapun.
Dengan emosi yang membuncah, jarak yang semula tersisa, akhirnya Viola tepis juga. Telapak tangannya meraih bahu kiri lelaki berhoodie hitam itu. Dalam sekali sentakan, laki-laki itu menoleh.
"Cal—"
'Deg!'
Detak jantung Viola terasa hilang. Sejuta emosi dan ekspresi yang bersemayam dalam diri Viola, seketika lenyap begitu berhadapan dengan orang yang kini berdiri menatapnya. Viola lemas. Terlampau lemas. Hingga raganya tak mampu bergerak barang sedikitpun.
Laki-laki itu melepas earphone yang sedari tadi menyumpal kedua lubang telinganya. Tatapan bingung sontak menyelimuti bola matanya "Vio? Ngapain lo di sini?"
Bibir Viola setengah terbuka. Layaknya es yang memadamkan api, amarah dan kesedihan yang semula ia rasakan, kini berubah menjadi rasa kaget, sekaligus heran. "Af-Afkar?"
Ya. Lelaki itu tidak lain dan tidak bukan adalah Afkar Malenio Ghanie.
Viola mengamati setiap bagian dari wajah laki-laki yang kini berdiri di hadapannya. Benar Afkar? Benar. Mengapa Afkar ada di sini? Lalu, bunga dan surat itu? Jangan bilang semuanya dari Afkar. Tapi, mana mungkin?
Afkar menatap Viola bingung. Pasalnya, gadis itu hanya diam dengan tatapan yang Afkar sendiri tidak mampu menerka maknanya. "Lo kenapa, sih? Ngapain malam-malam ke sini?"
Suara Afkar bagaikan petir yang menyambar dahsyat gendang telinga Viola. Gadis itu terkesiap.
"A ... uummm ... gu-gue ...."
Telapak tangan kokoh milik Afkar mendarat di bahu kiri Viola. Membuat gadis itu terbujur kaku seketika. Sisa tenaga yang ia miliki, kini benar-benar tak bersisa. Tubuh Viola pasti limbung jika tangan Afkar tidak menggenggam kedua bahunya.
"Duduk dulu," ucap Afkar sambil menuntun Viola duduk. Viola yang merasakan tulang kakinya lemas hanya bisa menurut.
"Jadi, lo ngapain di sini?" tanya Afkar usai duduk di samping kanan Viola.
Yang ditanya hanya diam. Lidahnya terasa kelu. Viola hanya sanggup menundukkan kepala, merutuki kebodohannya sendiri. Viola pikir, mana mungkin Calvin datang? Setelah pergi begitu saja? Calvin sudah benar-benar pergi dari hidupnya. Dan Viola harus membungkus kenangannya bersama Calvin, lalu menghanyutkannya bersama air sungai yang mengalir. Harus. Secepatnya.
"Vio?" Nada suara Afkar yang lembut, rupanya membuat Viola terkesiap. "Lo mikirin apa, sih?"
Gadis itu hanya menatap Afkar sekilas, ia menggelengkan kepala sambil tersenyum singkat. Lalu, manik matanya kembali kabur dari manik mata Afkar. Mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Salah tingkah, misalnya.
"Lo mau gue kasih tahu satu rahasia nggak?" tanya Afkar yang—kali ini—sukses membuat Viola menoleh ke arahnya. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Afkar segera mengunci tatapan Viola.
"Apa?"
Afkar tersenyum singkat. "Gue pernah kecelakaan."
'Deg!'
Satu kalimat yang meluncur dari bibir Afkar membuat Viola terpaku.
"Kenapa? Kok, lo kayak kaget gitu?"
"Ng ... gue nggak nyangka aja," kilah Viola.
Afkar manggut-manggut. "Gara-gara kecelakaan itu, gue jadi kehilangan sebagian ingatan gue. Gue nyebutnya, sih, amnesia sebagian."
"Terus?" Viola mulai terbawa suasana. Ini adalah pertama kalinya Afkar bercerita mengenai kecelakaan itu. Kecelakaan yang memang Viola tahu, bagaimana kronologinya. Kecelakaan yang menjadi awal mula dari hari-harinya yang kelam.
"Nggak tahu kenapa, pas gue ke rumah lo dan ngelewatin taman ini, gue tertarik. Dan, ternyata gue benar. Duduk di sini, bawaannya tenang."
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Viola terangkat. "Jadi, lo kesini buat nenangin diri?"
Afkar mengangguk. "Habisnya, lo ngegantung pernyataan cinta gue."
Hening. Euforia canggung mendadak menyelimuti tempat Afkar dan Viola berada. Udara yang berembus di sekeliling mereka dingin, namun keduanya merasa panas.
Semenit.
Dua menit.
Tiga menit.
Afkar yang lebih dulu menyerah dengan kesunyian ini. "Jadi, apa tujuan lo ke sini sebenarnya?"
Viola menghela nafas berat. Manik matanya yang semula menatap lurus ke depan, kini beralih menatap Afkar dalam-dalam. "Karena lo udah ngasih tahu gue satu rahasia lo, oke, gue bakal kasih tahu lo juga." Jeda sejenak. Viola menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan cepat. "Gue mau nemuin seseorang."
"Siapa?"
Viola tersenyum simpul. "Seseorang yang selama ini menghantui gue."
"Maksudnya, yang selama ini bikin lo sedih?"
Anggukan dari Viola, membuat Afkar menegakkan badan. "Dia juga, yang bikin lo jauhin gue dua hari ini?"
Viola mengedikkan bahu. "Bisa jadi."
"Vi, gue boleh nanya sesuatu?"
Pertanyaan Afkar membuat Viola terkekeh. "Dari tadi juga lo udah nanya, Kar."
Afkar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Oke. Kali ini gue serius."
"Nanya apa emang?"
"Waktu Reza nembak lo, lo bisa langsung nolak dia. Gue tahu, lo yakin banget dengan jawaban itu. Tapi, kenapa pas gue—"
"Emang lo nembak gue?"
Afkar terdiam. Benar juga. Afkar hanya mengungkapkan perasaannya terhadap Viola. Hanya itu. Ia tidak meminta Viola untuk menjadi miliknya.
"Gini, Kar. Yang namanya komitmen itu nggak harus berstatus pacar, 'kan? Coba lo pikir, kalau lo nembak gue dan gue nerima, terus kita pacaran. Seandainya, suatu hari kita putus, terus kita sama-sama berlagak kayak orang yang nggak pernah kenal. Lo mau kayak gitu? Gue, sih, nggak."
"Oke. Komitmen emang nggak harus pacaran. Tapi, apa lo ngerasain apa yang gue rasain, Vi?"
Viola tersenyum. Namun, entah mengapa, Afkar dapat melihat begitu banyak sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman itu. Senyum yang sama sekali tidak membuat Afkar merasa lega.
"Lo yang paling tahu gue, Kar. Gue ngerasa, jiwa gue masih ketinggalan di masa lalu. Dia pergi gitu aja. Ninggalin gue dengan banyak pertanyaan. Sampai sekarang, gue masih belum nemu jawaban, kenapa dia pergi gitu aja? Dia jahat, Kar! Dia jahat!"
Viola terisak. Mengingat kembali bagaimana kejadian malam itu, membuat emosinya kembali tidak stabil.
"Sorry," ucap Afkar. Tangan kirinya terulur untuk merengkuh gadis di sebelahnya. "Sorry kalau gue terkesan maksa lo. Gue cuma mau lo tahu, gue sayang lo, Vi."
Mata Viola terpejam. Gadis itu menikmati hangatnya pelukan Afkar. Jika memang rasanya sesakit ini, Viola siap. Asal rasa sakit dan sesak itu digantikan oleh hangatnya pelukan Afkar.
Ada begitu banyak alasan, tentang Viola yang menyimpan semuanya sendirian. Yang diceritakannya kali ini, hanyalah sebagian kecil dari kisah yang sebenarnya. Viola terpaksa menceritakan pada Afkar mengenai Calvin. Viola melakukan itu, semata-mata agar Afkar tahu, bahwa Viola tidak ingin menolak. Namun, ia juga belum bisa menerima. Viola masih membutuhkan waktu untuk memulihkan segalanya.
Dan tempat ini, adalah tempat yang cukup bersejarah bagi mereka. Keduanya merasakan itu, namun hanya Viola yang tahu persis bagaimana setiap detailnya.
...•••...
"Gue sengaja bikin mereka ketemu di sini. Lo harus bergerak cepat. Lihat, kan? Afkar dan Vio makin dekat."
"Lo benar. Gue bakal nembak Afkar di sekolah besok."
"Tunggu! Gue punya ide yang lebih brilian. Biar Afkar nggak ada alasan buat nolak lo."
"Apa?"
" .... "
"Ck, gue suka ide lo!"
Kedua pasang mata penguntit itu menyunggingkan senyum licik. Keduanya tidak sabar untuk menanti hari esok. Segalanya harus dimulai sebelum terlambat.
...•••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments