|12.| Cemburu?

..."Kita ini manusia biasa. Makhluk Tuhan yang sok kuat, tapi sebenarnya sering kali ingin menyerah."...

...-Afkar Malenio Ghanie-...

...•...

...•...

...•...

"Jadi, ada apa sebenarnya?" Afkar menatap lekat-lekat gadis yang tengah memejamkan mata di sebelahnya. Viola tampak menikmati terpaan angin yang menampar lembut pipinya. Wajahnya datar, seolah tanpa ekspresi. Dan Afkar menikmati pemandangan indah itu dalam diam.

Viola yang merasa diperhatikan pun lantas menoleh dan menatap Afkar yang tidak melepaskan pandangan darinya.

Viola mengembuskan nafas berat. Gadis itu ingin menceritakan semuanya pada Afkar, tapi juga tidak. Ada konsekuensi yang tidak ingin Viola tanggung, apabila Afkar mengetahui apa saja yang ia simpan rapi selama ini.

Namun di sisi lain, gadis itu merasa lelah, sebab menyimpan semuanya sendirian. Bahkan, dari kakaknya sekalipun. Viola merasa, ia sedang berdiri di atas sebuah balok kayu tipis yang di bawahnya terdapat jurang kematian. Salah langkah sedikit, maka berakhirlah hidupnya.

"Kok, bengong?" Suara bariton Afkar memang bernada santai, tetapi hal itu sukses membuat Viola terkesiap. "Eh! Sorry-sorry. Gue ngagetin, ya?"

Viola menggeleng singkat. Manik matanya kembali bersitatap dengan milik Afkar. Gadis itu dapat menangkap sarat penuh tanya di balik pancaran binar mata Afkar. "Gue...." Viola merutuki dirinya sendiri.

Ngomong, Vio! Ngomong! Ceritain semuanya!

Emosi yang meledak-ledak dalam jiwa Viola kontan membuat dadanya terasa sesak. Afkar masih mengunci manik matanya agar tidak kabur mencari pelarian. Dan hal itu membuat dada Viola makin terasa terhimpit. Pasokan udara dalam paru-parunya seolah tersedot habis seiring rasa sesak yang ia rasakan. Hingga tanpa sadar, pandangan Viola mendadak buram.

Kedua telapak tangan Afkar mendarat di kedua bahu Viola dengan gerakan sadar. Satu tangan laki-laki itu terulur untuk melepas kacamata bening yang semula bertengger di hidung Viola. Viola yang sadar akan apa yang Afkar lakukan pun hanya sanggup terdiam. Udara yang menyelimutinya seolah mengandung jutaan es, membuat raganya membeku.

Afkar mengamati setiap emosi yang berusaha Viola sampaikan melalui manik matanya. Hingga cairan bening yang semula menumpuk di pelupuk mata Viola menetes, Afkar tak kuasa untuk tidak merengkuh tubuh gadis itu.

Akhirnya. Akhirnya Viola menumpahkan seluruh emosi melalui pecahan tangis. Viola ingin berada di posisi seperti ini, sebentar saja. Saat ia bebas menumpahkan segalanya tanpa kata. Saat bibirnya yang tak bertenaga, tidak harus dipaksa untuk bersuara. Viola mengakuinya, berada di perlukan Afkar memang membuat gejolak emosi dalam diri Viola perlahan surut.

"Sorry," lirih Afkar. Jemarinya mengusap dengan lembut bahu Viola yang berguncang. "Sorry, karena gue terlalu maksa lo buat cerita. Gue tahu lo cewek yang kuat. Tapi, nggak semuanya bisa lo simpan sendiri, Vi. Kita ini manusia biasa. Makhluk Tuhan yang sok kuat, tapi sebenarnya sering kali ingin menyerah.

"Lo punya gue kalau lo mau cerita. Kapan pun itu."

"Oh, I see. Jadi ini alasan lo nolak gue, Vi?"

Suara bariton dari arah belakang membuat Afkar dan Viola kontan mengikuti sumber suara. Mereka dikejutkan dengan sosok Reza yang berdiri tidak jauh dengan sorot mata penuh kecewa.

Afkar dan Viola saling tatap. Sadar dengan posisi yang belum berubah, mereka segera saling mengais jarak. Keduanya berdiri saat melihat Reza yang memulai langkah mendekat.

"Lo salah paham, Za." Suara Afkar yang pertama kali terdengar ketika posisi mereka kini tidak lebih dari tiga langkah.

"Salah paham?" Reza berdecih. "Lihat kalian berdua pelukan, di rooftop—tempat sepi—gini, berdua. Salah paham lo bilang?!"

Reza mengalihkan pandangan pada seorang gadis yang tengah tertunduk dalam. Seolah menyembunyikan sesuatu. Jari telunjuk Reza terulur untuk mengangkat dagu Viola.

Pandangan mereka bertemu. Di bawah pancaran sinar bulan, Reza dapat melihat mata gadis di hadapannya begitu sembab. Hal itu sontak membuat kening Reza berkerut heran.

"Lo bisa jelasin apa yang gue lihat tadi?" tanya Reza lembut.

"Udah gue bilang, lo salah paham!" sahut Afkar.

Reza mengangkat jari telunjuk tangan kanannya tepat di depan wajah Afkar—tanpa mengalihkan pandangan dari Viola. "Gue nggak nanya ke lo. Jadi, mending lo diem."

"Jadi, Vi?" tanya Reza lagi, sesaat setelah ia menurunkan jari telunjuknya. "Tolong lo jelasin ke gue. Apapun yang lo bilang, gue bakal percaya."

"Gue perlu waktu sendiri. Permisi."

Viola melenggang pergi tanpa menoleh ke Reza atau Afkar. Ia benar-benar harus hilang dari dua lelaki yang tengah bersitegang itu.

Nanti—setelah Viola merasa lebih baik—ia akan melakukan sesuatu agar persahabatan antara Afkar dan Reza yang telah terjalin cukup lama tidak putus hanya karena dirinya.

Sementara itu, Afkar dan Reza masih sama-sama bergeming. Keheningan begitu pekat menyelimuti mereka. Angin malam tak mampu menembus emosi di antara keduanya. Hingga peluh mulai membanjiri pelipis secara perlahan.

"Lo!"

"Lo!"

Tatapan tajam saling terlempar kala mereka sama-sama membuka suara. Napas Reza dan Afkar memburu. Siap menerjang sang mangsa saat dibutuhkan.

"Lo tahu, 'kan, gue suka Vio?" Reza berucap lebih dulu. Saat melihat mulut Afkar sedikit terbuka dan siap melancarkan suara, Reza kembali menyela, "Kenapa lo nggak bilang kalau kita suka sama cewek yang sama? Kalau lo bilang dari awal, gue bakal mundur teratur!"

"Gue nggak suka sama Vio!" tukas Afkar.

Reza tertawa hambar. "Semua mata juga tahu apa maksud lo meluk Vio tadi. Ngaku aja, deh, Kar! Singkirin dulu gengsi lo!"

Afkar menghunus manik mata Reza dengan tajam. "Udah gue bilang, gue nggak suka sama Vio. Gue meluk dia karena emang dia butuh itu. Gue nggak sengaja lihat dia keluar dari toilet sambil nangis. Udah. Itu aja."

"Lo suka sama Vio, 'kan?" Pertanyaan Reza membuat Afkar geram. Rupanya, penjelasan Afkar barusan dianggap angin lalu oleh sahabatnya itu.

"Nggak!" pungkas Afkar.

"Bohong! Lo suka Vio, 'kan?"

"Nggak!"

"Kar!"

"Oke fine!" Afkar semakin menajamkan tatapannya. Reza pun tidak ingin kalah. "Iya. Gue emang suka Vio. Bahkan, mungkin nggak cuma suka, tapi cinta."

'Bugh!'

Dan, rooftop SMA BHANERA berubah menjadi area layaknya ring tinju dalam sekejap. Aksi saling baku hantam di antara keduanya pun tak tertahankan.

...•••...

"Astaga, Vio! Lo, tuh, dari mana aja, sih? Capek tahu gue nyari-nyari lo. Katanya ke toilet. Tahunya lama bengat!"

Suara cempreng Riri sontak menyambut Viola saat gadis itu memasuki kelas tempat para ciwi-ciwi gugus 3 beristirahat.

"Banget kali, Ri!" sahut Wiwi—gadis dari alumni yang sama dengan Viola, Riri, serta Ina—yang duduk di samping kiri Ina. "Banget. Bukan Bengat."

"Iya-iya. Bawel lo, ah!" pungkas Riri enggan mengalah.

Suasana gaduh di dalam kelas seolah tidak sanggup menembus euforia yang menyelimuti benak Viola. Gadis itu melangkah gontai menuju samping kanan Ina—tengah-tengah dua sahabatnya—dan berakhir duduk dengan lesu.

Riri mengamati lagi wajah Viola. "Kacamata lo mana? Perasaan tadi pas lo ke toilet, masih lo pakai."

Viola terkesiap. Ia baru sadar bahwa kacamatanya tertinggal di rooftop. Semoga saja Afkar berinisiatif untuk membawanya. Karena tidak mungkin untuk Viola kembali ke rooftop sekarang.

"Tadi gue masukin tas sebelum ke toilet," kilah Viola yang—untungnya—mendapat anggukan dari Riri.

"Lo lagi dengerin apa, sih, Na? Serius amat," ujar Riri penasaran.

Ina yang merasa namanya disebut pun segera tersadar dari suara earphone yang menyumpal kedua lubang telinganya, lalu menoleh.

"Oh, ini. Biasa, musik," jawab Ina sambil tersenyum singkat.

Bibir Riri kontan membentuk hutuf 'o' begitu mendengar jawaban Ina. Detik berikutnya, kedua mata Riri memicing. "Lagu galau, ya? Gara-gara lo belum bisa mencairkan hati Bang Afkar, ya?" Riri tergelak.

Sedangkan Viola—yang semula melamun—sontak menegakkan punggung begitu mendengar nama Afkar disebut. Viola baru sadar, bagaimana nasib Afkar dan Reza sekarang?

"Vi, dicariin Afkar, nih!" Viola beranjak dari tempatnya. Seperti yang ia duga, Afkar pasti datang untuk mengembalikan kacamatanya.

Sepeninggalan Viola, Riri menyenggol pelan lengan Ina yang tengah menatap Viola serta Afkar dengan pandangan tidak terbaca. "Lo cemburu?"

"Apaan, sih, lo!" elak Ina. "Gue mau ke toilet dulu." Ina pergi begitu saja. Tanpa menghiraukan tatapan dengan sarat penuh tanya yang Riri pancarkan. Bahkan, Ina tampak beberapa kali menabrak seorang siswa sebab terburu-buru.

Riri yang melihat tingkah aneh Ina pun menautkan kedua alisnya. "Lah, beneran cemburu itu bocah?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!