Raka mengecup kening Viola yang masih tertidur pulas. Waktu menunjukkan pukul 05.40, Raka sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia tidak tega jika harus membangunkan adik kesayangannya. Kejadian di supermarket lagi-lagi terngiang di kepala Raka.
Raka melangkah cepat menyusuri puluhan manusia yang hilir-mudik di dalam sepurmarket mall. Merasa ponsel di saku celananya bergetar, Raka meraihnya dan tetap melangkahkan kaki.
'Brak!'
"Awh!"
Raka segera memasukkan ponselnya kembali saat sadar bahwa dirinya menabrak seseorang.
"Eh, sorry. Lo nggak apa-apa?"
Perempuan yang menjadi korban tabrakan Raka pun mencoba untuk berdiri, setelah berhasil, gadis bersweeter hijau lumut itu pun mendongak untuk menatap Raka.
"Nggak ap—Raka?!"
"Sella?! Ngapain kamu di sini?"
"Aku ... lagi belanja. Kamu sendiri?"
"Sama. Sama adekku, sih."
"Oh, aku juga sama Afkar ke sini."
Membayangkan kemungkinan Afkar dan Viola bertemu, Raka segera pamit pada Sella yang merupakan mantan pacarnya. Sedangkan Sella, gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum kesadarannya kembali.
Raka mencari Viola ke tempat terakhir mereka berpisah. Ternyata, Viola sudah tidak ada di sana. Raka terus mencari, hingga manik matanya menangkap sosok Viola yang sedang berdiri bersama Afkar.
"****! Gue telat!"
Baru selangkah Raka akan menghampiri mereka, namun suara Afkar membuat Raka mengurungkan niat.
"Lo bisa rasain ini?" Afkar tampak mengamati Viola begitu dalam dari tempat Raka berada. "Dua hari. Cuma dua hari, Vi. Tapi, lo nyaris bikin gue gila. Gue udah coba ke rumah lo puluhan kali. Kenapa lo nggak mau nemuin gue? Vio, gue sayang sama lo."
Telinga Raka tidak mendengar suara Viola sama sekali. Hingga pada akhirnya, Viola pergi tanpa peduli dengan Afkar atau barang belanjaannya. Tepat setelah itu, ponsel Raka bergetar dan nama Viola terpampang di sana.
"Maafin Kakak, Vi."
Satu lagi kecupan manis mendarat di kening Viola. Lalu, Raka segera melenggang dari kamar Viola dan tancap gas menuju ke sekolah.
Sambil menuruni anak tangga, jari-jari Raka bergerak lincah di layar ponselnya.
"Halo, Kar? Lo jemput adek gue, ya. Nggak usah banyak nanya. Gue ada urusan OSIS. Lo buruan ke sini. Oke. Thank's."
...•••...
Ada begitu banyak notifikasi saat Viola menyalakan kembali ponselnya. Jam dinding menunjukkan pukul 06.45. Dan Viola telah siap dengan pakaian seragam lengkap, serta gaya rambut panjang tergerai, tidak lupa dengan ikat rambut yang selalu stand by di pergelangan tangan kirinya.
Sekali lagi, Viola mematut dirinya di depan cermin. Setelah merasa puas, Viola lantas turun untuk sarapan bersama sang kakak.
Namun, kening Viola berkerut saat melihat di meja makan hanya ada satu roti dan segelas susu. Gadis itu meraih secarik kertas yang tergeletak di antara piring dan gelas.
Kakak hari ini ada tambahan pelajaran pagi. Kakak nggak tega bangunin kamu pagi-pagi banget. Kamu naik taksi aja, ya? Jangan lupa sarapan.
-Raka.
Viola hanya manggut-manggut seraya meraih roti, lalu melahapnya. Gadis itu mulai terbiasa dengan kesibukan Raka.
'Ding dong!'
Viola beranjak dari tempatnya saat mendengar bel rumah berbunyi. Siapa kemari pagi-pagi? pikirnya.
"Hai!"
Manik mata Viola membulat begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. "Afkar? Ngapain lo ke sini?"
"Jemput lo. Yuk!" Afkar tersenyum.
"Oh, oke. Gue ambil tas dulu."
Viola kembali masuk ke rumah setelah mendapat anggukan singkat dari Afkar. Lalu, ia segera menyusul Afkar yang sudah berada di atas motor.
Afkar mengulurkan helm milik Caca pada Viola. Entah angin apa yang merasukinya, rasa penasaran itu muncul, Afkar belum bisa naik mobil, kah?
"Kenapa lo lihatin gue gitu?" tanya Afkar saat tersadar Viola tengah menatapnya begitu intens melalui kaca spion. Motornya telah membelah jalanan beberapa detik lalu.
"Gue belum pernah lihat lo naik mobil."
"Kenapa emang?"
"Lo belum bisa? Apa gimana?
Jujur, Afkar ingin mengatakan alasan sebenarnya mengapa ia enggan mengendarai kendaraan beroda empat itu. Tetapi, apa mungkin? Tidak. Afkar tahu Viola sudah pelik dengan masalahnya sendiri.
"Gue lebih suka naik motor."
Akhirnya, jawaban itulah yang keluar dari mulut Afkar.
Manik mata Afkar melirik ke arah pinggangnya yang dilingkari oleh kedua lengan Viola. Afkar tersenyum simpul. Mungkin Viola tidak menyadari posisinya sekarang, tapi Afkar tidak peduli. "Lagian, kalau naik motor, kan, lo jadi bisa meluk gue," imbuhnya.
Ucapan Afkar kontan membuat semburat merah muncul di permukaan pipi Viola. Gadis itu menarik lengannya yang entah sejak kapan melingkari pinggang Afkar. Tetapi, Afkar lebih sigap. Ia tidak membiarkan Viola melepas rangkulannya. Keduanya merasakan kesejukan udara sekitar, sekaligus kehangatan yang membuncah, membuat sebuah bulan sabit terbentuk di bibir keduanya.
"Pegangan, biar aman," ucap Afkar sambil mengulas senyum tengil.
Hal itu membuat Viola kicep. Entah mengapa, otot lidahnya seolah lumpuh. Pita suaranya mendadak putus. Viola speechless. Jantungnya—ah! Sudah pasti sesuai dugaan kalian.
Afkar yang dapat melihat tingkah Viola dari lirikan matanya pun tidak kuasa menahan senyum.
Viola berdeham sambil menetralisir degub jantungnya. "Caca mana? Kan, biasanya bareng dia."
"Caca sakit. Jadi, dia nggak sekolah hari ini."
"Oh, ya? Sakit apa emang?"
"Biasa, lah."
"Ntar gue jenguk dia, boleh?"
Afkar tersenyum penuh arti. "Lo nggak butuh alasan untuk dateng ke rumah gue."
...•••...
Takdir memang suka bermain dengan penghuni semesta. Buktinya, Viola, Ina, Riri, serta Afkar, Reza, dan Alfa ditempatkan di kelas yang sama, yaitu kelas X-5.
Viola dan Ina memilih bangku tengah, tepat di bawah kipas angin. Afkar dan Reza di bangku terbelakang deretan bangku Viola dan Ina. Sedangkan Alfa yang memang sudah dekat dengan Riri memilih duduk di berdampingan di belakang Viola dan Ina.
Empat jam pelajaran dihabiskan dengan sesi perkenalan dan pembentukan pengurus kelas. Serta wali kelas yang menginformasikan peraturan apa saja yang harus dipatuhi oleh seluruh murid kelas X-5.
Pada jam istirahat, banyak dari murid SMA BHANERA menuju kantin untuk mengisi perut. Namun, tidak dengan Afkar serta kedua sahabatnya. Reza mengajak mereka untuk bermain futsal bersama anak kelas X-5 cowok lainnya.
Sepuluh menit tanding, semua masih baik-baik saja. Hingga tiba-tiba bola yang Afkar tendang melesat keluar lapangan dan mengenai seseorang.
"Ada apa, tuh, rame-rame?" tanya Riri pada Viola yang semula akan menuju kelas. Mereka berdua terpisah dengan Ina karena Ina mengatakan bahwa dirinya akan ke toilet terlebih dahulu sebelum kembali ke kelas.
Viola mengedikkan bahu sebagai tanda bahwa dirinya tidak tahu.
"Eh, itu ada apa rame-rame?" tanya Riri pada Rani—siswi yang sekelas dengannya.
"Ina pingsan. Katanya, sih, kena bola yang ditendang anak futsal gitu."
"What?! Ina?!" teriak Riri.
Viola yang mendengar nama sahabatnya disebut segera mengajak Riri ke TKP. Mereka menerobos kerumunan siswa yang mengelilingi tempat di mana Ina tengah tergeletak dengan hidung berdarah.
"OMG! INA!" Riri menepuk-nepuk pipi Ina, berharap sahabatnya segera sadar. Namun, hasilnya nihil. Mata Ina tetap terpejam.
"Ini kenapa bisa kayak gini?" Viola meminta penjelasan pada saksi—atau siapapun yang mendengarnya.
"Afkar, tuh!"
Manik mata Viola beralih pada Afkar yang hanya berjarak dua meter dengan dirinya. Gadis itu menatap Afkar dengan sarat penuh kekecewaan. Viola tidak menyangka, Afkar hanya diam melihat seorang gadis yang jelas-jelas memerlukan bantuannya.
Sedangkan Afkar, ia sudah berniat untuk menolong Ina. Namun, saat matanya bersitatap dengan milik Viola, Afkar seolah terhipnotis. Sekujur tubuhnya seolah membeku. Sungguh, Afkar ingin memiliki gadis yang sedang ia amati itu.
"Bawa ke rumah sakit, cepet! Ngapain lo lihatin gue?!" sentak Viola pada Afkar.
Afkar yang tersadar dari hipnotis manik mata Viola pun segera membopong Ina dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Diikuti dengan Viola, Riri, dan Alfa. Reza entah ke mana.
Setelah mobil Alfa ke luar gerbang sekolah, sepasang mata seseorang tak luput dari apa yang baru saja terjadi. Orang itu menyunggingkan senyum licik.
"Good job, Ina!"
"Permainannya, baru dimulai," sahut seseorang yang ada di sebelahnya.
...•••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments