Keluarnya seorang dokter dari ruang UGD membuat Viola, Riri, Alfa dan Afkar kompak berdiri.
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Dodi—ayah Ina.
"Pasien baik-baik saja. Tapi ...." Ucapan dokter yang terjeda membuat jantung semua orang berdegup kencang. "Ina harus kehilangan pengelihatannya. Benturan keras mengenai tepat syaraf matanya."
Semua yang mendengar penjelasan dokter merasa tercengang. Terutama Afkar, yang menjadi tersangka dalam tragedi ini. Sementara Viola dan Riri, mereka sungguh tidak menyangka, bahwa hal semacam ini harus menimpa sahabat mereka.
"Kita boleh jenguk Ina, Dok?" tanya Viola.
"Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang inap. Setelah itu, pasien boleh dijenguk."
"Makasih, Dok," ujar Riri.
Dokter mengangguk dan segera melenggang pergi. Meninggalkan lima orang di sana dalam ketegangan yang luar biasa.
"Ini semua gara-gara kamu!" bentak Dodi pada Afkar yang wajahnya tidak menyaratkan ekspresi apapun. Dodi kembali membuka mulut, siap melancarkan cacian yang telah di ujung lidah. Namun, pintu ruang UGD yang terbuka mencegah aksinya.
Tiga orang suster keluar sambil mendorong ranjang tempat Ina—yang masih memejamkan mata—berbaring.
Saat sampai di depan ruang rawat Ina, semua orang turut masuk. Namun, seseorang mencekal pergelangan tangan Afkar. Saat Afkar menoleh, ternyata orang itu adalah Dodi.
"Kamu harus tanggung jawab!" ucap Dodi penuh ketegasan.
"Saya pasti tanggung jawab, Om," balas Afkar tak kalah tegas.
"Kamu juga harus kembalikan kebahagiaan anak saya." Dodi meninggalkan Afkar yang kini berdiri kaku. Afkar tahu, ini memang salahnya. Dan Afkar tahu, apa resiko terburuk setelah Ina tahu segalanya nanti.
...•••...
"Maafin gue, Na. Lo bisa minta gue ngelakuin apapun biar lo mau maafin gue."
Ina sudah sadar sejak tiga puluh menit lalu. Dan semenjak itu, Ina terus meronta-ronta, enggan menerima dirinya yang sekarang. Ina baru bisa tenang saat dirinya ditinggal berdua dengan Afkar. Ayahnya pun sudah kembali kerja dan menitipkan putri semata wayangnya pada Afkar.
Emang ada orang tua nitipin anaknya ke orang lain pas lagi sakit? Nyatanya ada!
"Apapun?" tanya Ina, memastikan apa yang Afkar ucap barusan.
"Apapun," jawab Afkar.
Ina meraba ke sisi kiri—sumber suara Afkar berasal. Afkar yang peka akan gerak-gerik Ina pun lantas meraih telapak tangannya.
"Gue mau lo, Kar."
...•••...
Viola, Riri, dan Alfa berada di kantin rumah sakit. Mereka kemari karena Ina meminta waktu berdua dengan Afkar—sekalian mengisi perut.
"Vi, lo udah lama nggak upload barang dagangan online shop, ya? Jangan terlalu sibuk sama urusan Calvin, Vi. Kak Tari butuh bantuin lo buat masarin dagangannya."
Suara Riri membuat Viola tersadar. Dirinya terlalu sibuk dengan keterpurukan, hingga melupakan bisnis yang sudah ia bangun bersama teman masa kecilnya. Riri benar, ini saatnya Viola untuk bangkit. Kembali ke rutinitas semula.
Viola meraih ponsel dan meletakkan ke daun telinga.
"Halo, Kak? Ada barang baru apa aja hari ini?"
"Kamu udah sehat?"
Viola terkekeh. "Sehat, dong, Kak. Nanti aku mampir ke rumah Kakak, deh."
"Oke. Aku tunggu, ya?"
"Siap."
Tepat setelah Viola mengakhiri obrolan di telepon, Alfa datang dengan nampan berisi tiga porsi bakso, lengkap dengan tiga es teh manis. Selanjutnya, mereka bertiga makan bersama. Dibumbui dengan obrolan-obrolan random dan kocak ala Alfa. Sering kali Viola tergelak, sebab tingkah konyol Alfa dalam merayu Riri, yang malah membuat Riri kesal. Sejenak, Viola melupakan segala masalah yang ada.
Selesai makan, mereka bertiga memutuskan untuk kembali ke kamar Ina. Pemandangan yang pertama kali tertangkap oleh mata Viola adalah tangan Afkar dan Ina yang saling genggam. Ketika Afkar mendapati kehadiran Viola, ia lantas melepas genggaman tangannya.
"Gimana, Na? Udah mendingan?" tanya Riri.
Ina menoleh ke kanan-kiri, mencari keberadaan Riri. "Lo di mana, Ri?"
Riri mendekat. Ia berjalan menuju samping kiri Ina. "Gue di samping lo."
"Vio mana? Dia ada, 'kan?"
"Gue di sini, Na," sahut Viola.
"Emang bener, ya. Di balik setiap kejadian itu pasti ada hikmahnya." Ina tersenyum sipu.
"Maksudnya?" sela Riri.
"Kalian tahu nggak? Gue baru aja jadian sama Afkar ...."
'Deg!'
Telinga Viola seketika tuli. Ucapan Ina masih berlanjut, namun ia tidak bisa mendengar apapun. Relung hatinya seperti tertusuk tombak. Sakit!
"Vi!"
Suara Riri segera membawa kesadaran Viola kembali. "Y-ya?"
"Lo kenapa?"
"Ng-nggak. Nggak apa-apa," kilah Viola sambil tersenyum tipis. Mencegah Riri membaca ekspresi yang sebenarnya.
"Oh, kirain. Habis ini kita balik ke sekolah, ya? Apa gimana?"
"Iya, kalian balik aja nggak pa-pa," sahut Ina. "Biar Afkar yang jagain gue di sini."
"Gitu?" Riri memastikan.
Melihat Ina mengangguk, Riri pun turut mengangguk.
"Gue ke toilet bentar," ucap Viola yang langsung melenggang keluar dari kamar rawat Ina.
Melihat tingkah Viola, Afkar segera menyusul. Ina yang merasa bungah hanya mampu terus tersenyum. Riri merasa bingung sambil melihat Afkar yang menghilang di balik pintu. Sedangkan Alfa, lelaki itu hanya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Cowok itu benar-benar bingung dengan apa yang sedang terjadi.
Viola berjalan begitu cepat ke arah toilet. Namun, saat selangkah lagi menginjak lantai toilet, seseorang mencekal pergelangan tangan Viola. Orang itu menghimpit Viola di antara kedua lengan kekarnya.
"Bilang sama gue, Vi. Bilang sama gue kalau lo ngerasain apa yang gue rasain!"
"Apaan, sih, Kar? Minggir! Gue mau ke toilet!"
Ya, orang itu adalah Afkar.
"Vi, lihat gue!" Afkar semakin mengikis jarak di antara mereka. Jari telunjuknya mengangkat dagu Viola. Begitu mendapatkan manik mata Viola, tentu saja Afkar segera menguncinya. "Gue janji, gue bakal segera cari donor mata buat sahabat lo. Setelah itu, gue bakal putusin dia. Kalau perlu, mata gue yang bakal gue kasih ke sahabat lo."
"Lo ngomong apa, sih, Kar?" Viola terus mengelak. "Apa yang lo lakuin sekarang itu udah bener. Lo udah merenggut pengelihatan sahabat gue. Yang bisa lo lakuin sekarang, tebus dengan cara bikin dia bahagia."
"Tapi, Vi .... "
"Kalau lo ngira gue cemburu. Lo salah. Gue bahkan nggak ada perasaan apapun sama lo. Minggir!" Viola mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengempas tangan Afkar. Dan, berhasil.
Afkar yang ditinggalkan hanya mampu melampiaskan emosi yang meluap dengan cara mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Segera. Afkar harus segera mengakhiri semuanya. Kalau perlu, dirinya sendiri yang akan mendonorkan mata untuk Ina.
...•••...
"Hai, Vi."
"Hai, Kak. Apa kabar?"
"Baik. Kamu duduk dulu, aku buatin minum."
"Eh, nggak usah, Kak. Kak Tari duduk aja."
"Bener, nih?"
"Iya."
Sesuai permintaan Viola, Tari duduk di sofa panjang ruang tamu rumahnya.
"Jadi, gimana?" tanya Tari.
Viola terkekeh. "Gimana apanya?"
"Kamu. Kenapa minta libur?"
Viola menghela nafas. Ia memandang teman curhatnya dengan tatapan berjuta makna. "Calvin."
Mendengar nama yang Viola sebutkan, Tari terkejut. "Dia balik?"
Viola menggeleng.
"Terus?" tanya Tari heran.
"Sebenernya, aku udah move on dari dia, Kak."
"Bagus, dong!"
"Tapi dia nggak biarin itu!"
"Maksudnya?"
Viola kembali menghela nafas berat. "Calvin sering ngirimin bunga tulip putih sama surat gitu."
"Bunga tulip putih?" Tari tampak berpikir. "Itu ciri khas dia kalau minta maaf ke kamu, 'kan?"
Viola mengangguk.
"Terus?"
"Terus, isi suratnya itu, dia minta maaf. Tapi, Calvin nggak jelasin kenapa dia ngilang gitu aja." Mata Viola memanas. Gadis berpakaian seragam putih abu-abu itu menundukkan kepala. "Aku capek, Kak. Aku nggak tahu lagi mesti gimana."
Tari mendekat. Tangannya terulur untuk mengusap bahu Viola. Berharap teman masa kecilnya itu lebih tenang. "Aku yakin, Calvin pasti punya alasan."
Viola mendongak dan tersenyum simpul. Manik matanya menerawang kosong ke arah depan. Terakhir, Viola meninggalkan Afkar berdua dengan Ina. Bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang? Afkar masih di rumah sakit, kah? Atau sudah pulang?
"Vio!"
"H-ha?" Viola terlonjak kaget. Ia baru sadar bahwa dirinya terbawa lamunan.
Pelupuk mata Tari memicing. Ia mengamati raut wajah Viola dengan seksama. "Kayaknya, ada hal lain yang aku nggak tahu, ya?"
Viola tertawa tanpa suara. "Kenapa Kakak selalu bener, sih, nebaknya?"
"Ada apa lagi? Cerita, dong! Semenjak masuk SMA, kamu jarang banget curhat-curhat ke aku lagi."
"Kakak inget cowok yang pernah aku ajak ke sini? Waktu masih ada Calvin."
"Hhhmmm ... adik pacarnya Raka?"
"Mantan." Viola mengoreksi.
Tari nyengir. "Iya, mantan."
"Nah, gara-gara kecelakaan waktu itu, dia kehilangan sebagian ingatannya."
"Hah?" Citra menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. "Kok, aku baru tau? Dia yang kecelakaan bareng kamu, 'kan? Siapa namanya?"
"Afkar," sahut Viola.
"Nah! Gimana bisa?"
Viola mengedikkan bahu. "Aku baru tahu seminggu setelah aku sadar."
...•••...
Jam yang melingkar di pergelangan tangan Afkar sudah menunjukkan pukul 19.45, namun dirinya masih terjebak dengan Ina dan ocehannya. Sejak tadi, Ina terus menceritakan apa saja yang bisa ia ceritakan. Tentang sahabat, keluarga, kebiasaan, apapun. Anehnya, Ina tidak menyebut nama Viola sama sekali.
"Kamu punya kakak nggak?" tanya Ina yang dijawab 'iya' oleh Afkar. Pertanyaan-pertanyaan lain tentang keluarga pun terus keluar dari bibir Ina. Seolah gadis itu tidak ada kata lelah untuk bicara.
"Kalau mantan, punya?"
Mendengar pertanyaan Ina, Afkar menegakkan tubuh. Mantan? Seingatnya, Afkar memang tidak punya mantan. Namun, mengapa ada sesuatu yang terasa mengganjal?
"Kar?" Suara Ina membawa Afkar kembali dari lamunannya. "Punya mantan nggak?"
"Nggak."
"Oh, ya?" Ina tergelak. "Sama, dong."
Tepat setelah itu, ponsel Afkar bergetar. Panggilan dari mamanya, namun kening Afkar mengernyit saat suara Caca yang terdengar.
"Halo? Kenapa, Ca?"
"Ma-mama .... "
"Mama kenapa?" Jantung Afkar mulai berdegup kencang. "Ca!"
"Mama ... Papa .... "
"Papa? Papa ada di rumah?" Tanpa menunggu jawaban dari Caca, Afkar tahu apa yang telah terjadi di rumahnya.
Untung saja, tidak lama setelah itu, Dodi datang bersama seorang ART untuk menjaga anaknya.
...•••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments