Gadis berambut sebahu itu tengah sibuk memadamkan gejolak emosi sembari menatap tajam pantulan dirinya sendiri di depan cermin toilet. Nafasnya memburu. Kedua bahunya naik-turun dengan cepat. Gadis itu melepas dengan kasar kedua earphone yang semula menyumbat dua lubang telinganya.
Matanya yang sedari tadi sudah memanas, kini mulai memupuk cairan bening yang siap terjun dalam satu kedipan mata. Amarah dan patah kini terasa menyesakkan dadanya. Membuat gadis itu kembali teringat akan kejadian beberapa saat lalu.
"Lah, ngapain lo?" Ina memandang pergelangan tangannya yang ditarik paksa oleh Reza. Gadis itu semula sedang menikmati pentas seni api unggun bersama Riri.
"Udah, ikut aja buruan!" Reza tidak menggubris pertanyaan Ina, membuat gadis yang ia tarik pergelangan tangannya terpaksa mengekori kemana arah langkah Reza.
Ina terus melangkah. Ia sempat bertanya saat Reza membawanya menuju sebuah tangga kayu menuju area rooftop, namun Reza tetap enggan menjelaskan. Ina lagi-lagi hanya sanggup menurut.
Hingga pada akhirnya, langkah mereka terhenti tidak jauh dari dua orang yang tengah berpelukan. Begitu tampak mesra jika dilihat dari tempat Reza dan Ina berdiri sekarang.
Ketika Ina melangkah untuk menghampiri Afkar dan Viola, Reza mencekal pergelangan tangannya.
"Apa?" tanya Ina sambil menatap Reza dengan kening berkerut.
Reza melayangkan tatapan bengis ke arah Afkar dan Viola. "Mereka itu saling suka."
Ina tergelak. "Ngaco lo! Vio itu tahu kalau gue suka Afkar. Jadi, nggak mungkin dia diam-diam suka juga sama Afkar. Vio, kan, sahabat gue."
Reza menatap Ina lekat-lekat. Ina yang ditatap seperti itu, berusaha mencari tanda-tanda bercanda di balik manik mata Reza, namun hasilnya nihil.
Dari sini, entah mengapa Ina mulai termakan opini Reza. Melihat pemandangan di hadapannya, opini positif yang ia susun perlahan runtuh.
"Lo mau bukti?"
Ina menoleh ke arah Reza dengan cepat. "Maksud lo?"
"Gue bakal ke sana, nyamperin mereka," jelas Afkar. "Sebelum itu, gue mau kita terhubung lewat telepon. Lo bisa dengar sendiri obrolan gue sama mereka nanti."
"Gitu?"
"Ya! Kita lihat aja, apa lo masih anggap Vio sahabat setelah ini."
Ina merasa tertantang. Ia pun menyetujui permintaan Reza.
Gadis itu melangkah menuju kelas XII IPA 3—tempat beristirahat untuk siswi gugus 3—dengan earphone yang sudah menyumbat dua lubang telinga dan terhubung pada ponsel Reza.
Jujur saja, Ina merasa bimbang. Ia berusaha berpikir positif tentang apa yang terlihat tadi. Namun, di saat yang sama, pikiran negatif pun muncul. Apa iya Viola dan Afkar diam-diam menjalin hubungan? Bukankah Viola tahu bagaimana perasaan Ina terhadap Afkar? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bercokol di kepalanya.
Sekian lama bersahabat dengan Viola dan Riri, belum pernah ada pertengkaran serius di antara mereka. Ina harap, tidak juga untuk kali ini.
Di seberang sana, Ina mendengar bahwa Viola telah pergi. Itu artinya, tersisa Reza dan Afkar. Tak lama kemudian, Viola datang. Ina merasa bahwa dirinya bisa bernafas lega sekarang.
Semuanya baik-baik saja, hingga Ina mendengar ucapan Afkar yang membuat hatinya mencelos.
"Oke, fine! Iya. Gue emang suka Vio. Bahkan, mungkin nggak cuma suka, tapi cinta."
Semua suara mendadak lenyap. Ina hanya bisa mendengar suara Afkar dengan ucapan yang terus diulang. Lagi dan lagi. Gejolak rasa cemburu semakin membakar hati Ina, ketika ia melihat Afkar datang dan mencari Viola.
"Ina bego!" Gadis itu mengumpati dirinya sendiri. "Kenapa gue nggak pernah sadar? Afkar cintanya sama Vio, Na! Bukan lo!"
"Hahahaha!"
Ina menoleh ke kiri—-tempat seorang gadis berambut ikal panjang yang baru saja tertawa. Merasa bukan hal penting, Ina kembali menatap pantulan wajahnya di cermin.
"Gue tahu apa yang lo rasain." Gadis di sebelah Ina kembali bersuara. "Bedanya, gue nggak nyerah kayak yang lo lakuin. Gimana pun, cinta dan sahabat itu perkara beda."
Gadis berambut ikal itu membalikkan tubuhnya agar dapat menatap Ina dengan leluasa. "Lo harus pilih salah satu. Yang harus lo ingat, teman hidup itu bukan sahabat lo."
Ina terpaku. Siapa gadis ini? Mengapa ia bersikap seolah paling mengerti apa yang Ina rasakan? Tapi, jika dipikir-pikir, ucapan gadis tadi ada benarnya. Sahabat sedekat apapun, pasti akan memiliki kesibukan masing-masing jika sudah berkeluarga, bukan?
Baiklah! Ina sudah mengambil keputusan.
...•••...
"Hai, Vi. Sorry tadi—"
"Mana kacamata gue?" tanya Viola tanpa menatap mata Afkar. Gadis itu tidak ingin meruntuhkan pertahanannya kembali.
Afkar mengulurkan kacamata milik Viola. Sontak Viola meraihnya dengan gerakan dua kali lebih cepat.
Viola melirik wajah Afkar memulai ekor matanya. Terdapat cukup banyak luka lebam di sana. Viola menduga, Afkar dan Reza bertengkar sepeninggalan dirinya.
"Lo nggak perlu berantem sama sahabat lo sendiri gara-gara gue." Viola segera kembali masuk ke kelas usai mengucapkan kalimat itu. Tanpa mempedulikan Afkar yang masih bergeming di tempat.
"Vi, lo nggak ada apa-apa, kan, sama Afkar?" tanya Riri begitu Viola kembali duduk di sampingnya.
"Nggak."
"Syukurlah, bisa gawat kalau sampek Ina tahu. Lo tahu sendiri, 'kan, Ina gimana kalau soal cowok yang dia suka?"
"Gue nggak bakal ada hubungan apapun sama Afkar. Udah, ah! Ngantuk gue mau tidur!"
Emang bisa gue nggak bakal ada hubungan apapun sama lo, Kar? Sementara ... ah! Apaan, sih, Vio!
Viola memejamkan mata usai memaki dirinya sendiri. Viola yakin, jika tidak merasa sangat lelah sekarang, matanya pasti enggan terpejam.
...•••...
Akhirnya, setelah pagi hingga siang hari yang dilewati para siswa kelas X dengan berbagai macam outbound, tiba saatnya untuk menginjak acara terakhir—penutupan.
Usai acara penutupan, para murid kembali ke kelas untuk mengambil barang masing-masing yang telah dikemas.
"Udah semua?" tanya Raka pada adiknya yang baru saja mengulurkan tas ransel berwarna pink-abu-abu.
"Udah," jawab Viola.
"Vio!"
Mendengar namanya dipanggil, Viola pun menoleh ke sumber suara. Seketika, manik matanya bersitatap dengan milik Afkar.
"Mau pulang bareng gue nggak?"
"Hhmmm." Viola melirik Raka yang masih sibuk memasukkan barang-barang ke dalam bagasi mobil. Gadis itu tampak berpikir. "Hhhmmm ... gue...."
"Afkar, pulang bareng, yuk!"
Afkar menoleh ke sisi kiri. Ia melihat Ina dengan senyum merekah—sekaligus memohon. "Tapi, gue mau—"
"Vio, yuk, pulang!" Suara Raka mencekal ucapan Afkar.
"Gue duluan, ya?" Viola tersenyum ramah. Gadis itu tahu bagaimana perjuangan Ina untuk mendekati Afkar. Ia juga cukup sadar untuk memberi Ina waktu lebih dekat dengan Afkar.
Mobil yang dikendarai Raka telah melesat sejak lima menit yang lalu. Sejak itu pula, Raka melihat Viola menatap kaca jendela mobil dengan tatapan kosong.
"Puisi kamu kemarin bagus, tuh," ucap Raka. Sengaja agar Viola keluar dari lamunannya.
Gadis itu hanya menoleh ke arah kakaknya dan tersenyum singkat.
"Bikinnya dadakan?" tanya Raka yang hanya dijawab anggukan oleh Viola.
"Habis ini mau makan dulu nggak?"
"Nggak. Aku pengin cepat-cepat tidur di rumah."
Raka menghela nafas berat. "Kamu kenapa, sih, Dek?"
"Nggak pa-pa."
"Yakin?"
"He'em."
"Nggak kepikiran soal Afkar sama Ina tadi?"
Viola menatap tajam ke arah kakaknya. "Nggak!"
Nada ketus yang Viola lontarkan, sontak membuat Raka tergelak. "Kamu bisa pura-pura di depan orang lain, tapi nggak depan Kakak. Kenapa mesti ke Afkar, sih, kamu move on-nya? Dia itu bandel tahu, sering berantem."
"Gimana mau move on? Alasan kenapa dia ngilang aja aku nggak tahu," ucap Viola ketus.
"Dah nyampek, turun."
"Tau kali!"
Viola turun dan membanting pintu mobil Raka yang telah terparkir di teras rumah. Gadis itu langsung melenggang menuju pintu masuk. Sementara Raka hanya bisa mengelus dada agar kesabarannya bertambah.
"Vio! Barang-barang kamu ini, bawa!"
Mendengar teriakan Raka, Viola kembali memutar badan. "TOLONG BAWAIN!"
Baru saja Viola meraih kenop pintu, matanya menangkap sesuatu terselip di vas bunga yang terletak di atas meja.
Setangkai tulip putih, lagi?
Viola menarik kertas yang terikat pita warna putih dengan kasar. Sungguh, ia lelah jika harus terus seperti ini.
Please, Lala, maafin aku.
-Your Love.
Viola meremas kertas di genggamannya dengan tangan bergetar. Ia melempar bunga serta secarik kertas yang baru selesai dibaca ke dalam tong sampah.
Sebenarnya, apa yang kamu mau? Kenapa kamu terus-terusan nyiksa aku kayak gini, Cal?
...•••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments