|10.| Pernyataan Reza

..."Gue nggak mau ngasih dia harapan. Udah cukup. Ternyata sikap gue yang berusaha baik ke semua orang berakibat salah paham."...

...-Viola Senia Mahrito-...

...•...

...•...

...•...

Pertandingan futsal antar gugus akhirnya dimenangkan oleh gugus 2, dengan perolehan skor 5-4. Pernyataan itu sontak membuat seisi lapangan kembali riuh—menyoraki tim dukungan mereka masing-masing.

Karena pertandingan telah berakhir, siswa-siswi SMA BHANERA yang menjadi penonton pun mulai membubarkan diri. Termasuk Viola dan kedua sahabatnya.

"VIOLA!" Teriakan yang bersumber dari suara toa itu membuat langkah Viola, Ina, dan Riri sontak terhenti. Sama halnya dengan beberapa murid yang semula ingin beranjak dari tempat, mereka penasaran apa yang sedang terjadi.

"Viola Senia Mahrito, tolong segera ke sumber suara." Suara bariton itu kembali terdengar.

Viola menoleh ke arah Ina dan Riri secara bergantian—meminta persetujuan. Begitu mendapat anggukan dari keduanya, Viola mulai melangkah ke arah cowok yang tengah memegang toa di tengah lapangan.

Itu Reza, 'kan? tanya Viola di dalam hati.

Saat Viola sampai pada jarak dua meter dengan Reza, manik matanya dapat menangkap senyum Reza yang penuh makna. Viola bingung, apa yang akan Reza lakukan? Dan yang paling penting, ada urusan apa antara dirinya dengan Reza?

Suasana lapangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada dua anak manusia yang tengah berdiri saling menatap di tengah lapangan. Berikutnya, hal yang tidak terduga terjadi. Membuat ruangan itu bergema dengan suara jerit yang tertahan.

Reza bersimpuh di hadapan Viola—masih dengan toa di genggaman tangan kanannya. Reza meraih jari-jari Viola dengan tangan kirinya yang bebas. Cowok itu mengamati Viola dengan lekat. Kedua alis Viola bertaut. Ia baru saja akan bersuara, namun suaranya tertindih oleh suara Reza.

"Viola. Dari awal kita ketemu. Dari awal gue lihat lo. Saat itu juga gue ngerasa kalau gue suka sama lo. Sekarang. Di sini. Di hadapan banyak orang. Gue persembahan kemenangan ini buat lo. Lo ... mau jadi pacar gue?"

Viola melongo. Gadis itu tidak menyangka jika hal ini yang akan terjadi. Selama ini, Viola tidak pernah menyangka bahwa Reza menyimpan rasa lebih padanya. Jujur saja, Viola hanya menganggap Reza tidak lebih dari teman baru di sekolah.

Melihat gadis di hadapannya hanya diam, Reza kembali bersuara. "Vio ... lo mau, 'kan?"

Sadar bahwa yang terjadi ini bukanlah sesuatu yang benar, Viola segera mengibaskan tangannya yang semula digenggam oleh Reza. Gadis itu dapat menangkap sosok Afkar yang berdiri tidak jauh melalui ekor matanya.

Manik mata Viola bersitatap dengan milik Afkar selama beberapa detik. Dan dalam beberapa detik itu, Viola melihat sebuah senyum tersinggung di bibir Afkar. Viola lantas kembali menatap Reza.

"Sorry, Za. Gue nggak bisa," ucap Viola yang kemudian berlari tanpa memperdulikan kelanjutan dari aksi Reza.

...•••...

Mentari telah tenggelam beberapa saat lalu. Mengharuskan bulan untuk menggantikan tugasnya. Hal itu membuat hawa dingin mulai terasa menusuk kulit.

Viola melangkah santai selepas dari kamar mandi. Namun, seseorang mengadang langkahnya dengan ekspresi tidak bersahabat.

"Lo Viola?" tanyanya.

"Iya. Kenapa, Kak?" Viola tahu bahwa gadis di hadapannya ini adalah senior. Terlihat dari jaket yang dikenakan—khusus untuk pengurus OSIS.

"Jangan mentang-mentang lo adiknya Raka, lo bisa kecentilan, ya, di sini."

Viola mengerutkan kening. "Maksud Kakak? Aku nggak paham."

Gadis berjaket warna navy bertuliskan SMA BHANERA itu mengangkat jari telunjuknya tepat di depan muka Viola. "Jangan cari sensasi. Apalagi dengan acara tembak-menembak yang cowok lo lakuin tadi. Inget! Ini sekolah! Dan lo harus tahu, Reza itu udah gue tandain. Jadi, lo jangan coba-coba nerima dia."

"Dea!"

Suara dari arah belakang gadis bernama Dea itu membuat Viola pun mengalihkan pandangan. Gadis itu melangkah menuju tempat Viola dan Dea berdiri.

"Lo ngapain di sini? Dicari Raka, tuh."

"Eh!" Gadis itu terkesiap saat menangkap kehadiran Viola. "Viola, 'kan? Adiknya Raka?"

Viola tersenyum canggung. "Iya."

"Raya."

Uluran tangan gadis berambut sebahu itu segera Viola balas. "Viola."

"Yuk, De! Udah ditunggu yang lain." Raya menyeret pergelangan tangan Dea. Hingga Dea pun harus melenggang dari hadapan Viola. Tatapan tajamnya masih mengintai Viola. Terpampang jelas sarat akan peringatan di balik manik mata itu.

Viola baru akan kembali melangkah, namun sebuah suara bariton sukses membuatnya terlonjak kaget.

"Dari cerita Reza, Dea itu kakak pembina gugus dua yang naksir dia."

"Afkar? Ngagetin aja, sih!" pungkas Viola sesaat setelah berbalik badan untuk menghadap Afkar.

Afkar terkekeh. "Nggak takut sendirian di sini?"

"Kenapa harus takut?"

Afkar mengedikkan sebelah bahunya. "Biasanya, kan, cewek takut gelap."

Mendengar jawaban Afkar, Viola tergelak. "Gue lebih takut sama masa depan ketimbang gelap."

"Mau bareng ke kelas?" tanya Afkar. Enggan meneruskan topik yang semula dibahas.

"Boleh," jawab Viola.

Mata Afkar bergerak liar seiring langkah kakinya dengan Viola, mencari objek lain yang bisa membuat keterpakuannya pada gadis itu lenyap. Sebenarnya, tujuan awal Afkar ingin menemui Viola adalah untuk membahas tentang Reza.

"Uummm ... Vi?"

"Ya?" Viola menoleh ke sisi kiri. Ia mendapati Afkar tengah menatapnya.

"Soal Reza ...."

Langkah Viola terhenti. Ia menatap lurus ke depan. Enggan mengalihkan pandangan pada pria di sebelahnya. "Gue nggak mau ngasih dia harapan. Udah cukup. Ternyata sikap gue yang berusaha baik ke semua orang berakibat salah paham."

Afkar memutar kedua bahu Viola. Hingga gadis itu kini berdiri menghadap ke arahnya. Namun, Viola hanya menatap dada bidang Afkar. "Lo udah punya cowok?"

Viola menggeleng. "Udah, ah! Gue udah ditunggu Ina sama Riri."

Afkar menatap lurus ke arah punggung Viola yang semakin menjauh. Ia menghembuskan nafas berat. Mengapa susah sekali mengungkapkan perasaan?

Tapi, jika dipikir-pikir lagi, Afkar sendiri belum yakin akan perasaan yang tersirat dari dalam hatinya saat dekat dengan Viola. Apa iya Afkar benar menyukai gadis itu?

Apabila Afkar memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya pada Viola, maka Afkar merasa bahwa dirinya adalah orang paling egois sedunia. Bagaimana tidak? Sahabatnya sendiri menyukai Viola. Ditambah lagi, Afkar akan membuat Viola bingung, 'kan?

Afkar kembali mengembuskan nafas berat. Baiklah. Keputusannya sudah bulat. Ia akan memendam perasaan ini sambil memastikan kebenarannya. Meski, entah sampai kapan.

...•••...

"Awh!" Viola meringis kesakitan saat sisi tajam pisau di genggaman tanpa sengaja menggores jari telunjuknya.

"Kenapa, Vi?" tanya Ina panik. "Ya ampun, Vi! Berdarah!"

"A-ambilin obat gue, Na! Cepet!"

"Oke! Lo tunggu sini. Tahan!"

Viola merasakan sakit yang teramat-sangat bersarang di kepalanya. Keringat dingin mulai membanjiri pelipisnya. Tanah tempatnya berpijak seolah menyedot habis energi dalam raga Viola. Seluruh sendi kakinya terasa lemas. Viola beringsut dengan kedua telapak tangan yang menangkup kepalanya. Kedua kelopak mata gadis itu tertutup rapat untuk menghalau rasa sakit.

Please, jangan sekarang, pinta Viola dalam hati.

"Vio! Hey! Lo kenapa?!"

Viola membuka sedikit kelopak matanya. Ia dapat melihat wajah Afkar yang tampak panik.

Afkar mendekap Viola. Tangan kekarnya menepuk-nepuk pipi Viola agar gadis itu tetap membuka mata. "Vio! Jangan merem! Please!"

Dengan jantung yang berdegup kencang, Afkar membopong tubuh Viola menuju UKS. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan Ina yang tampak menggenggam sebuah botol kaca dan air mineral. Ina memutuskan untuk mengikuti Afkar dan Viola. Melihat pria yang ia suka menggendong sahabatnya sendiri, membuat Ina merasa dadanya sesak.

Bukan saatnya lo cemburu, Na! Ina menerka kecemburuannya sendiri.

Sesampainya di UKS, Ina segera meminumkan obat milik Viola. Melihat sahabatnya mulai membaik, Ina pun bernapas lega.

"Hati-hati dong, Vi," ucap Ina saat melihat Viola usai meminum obatnya.

"Vio! Yaampunnn ... Kenapa bisa gini, sih?!" Suara Riri yang baru datang segera menggema di ruang UKS. "Lo nggak apa-apa?" Riri mengusap peluh di dahi Viola.

Viola mengulas senyum pada bibirnya yang pucat. Pertanda bahwa ia baik-baik saja.

"Sebenernya Vio kenapa?" Suara bariton Afkar menginstrupsi mereka bertiga. Lelaki itu mengamati tiga gadis di hadapannya secara bergilir. Melihat ketiganya diam, Afkar kembali bersuara, "Nggak ada yang mau jelasin?"

"Oke, gue permisi." Afkar melenggang tanpa mengizinkan Viola, Ina, maupun Riri untuk kembali bersuara.

...•••••...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!