|9.| Pelipur Lara

Viola menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Ia baru saja usai mandi dan mengenakan pakaian olahraga warna abu-abu-marun—khas SMA BHANERA—dan minum obat untuk pagi hari, tentunya. Wajah oval yang dilapisi sedikit bedak tabur membuatnya tampak lebih segar. Namun, ia tidak mampu menyembunyikan matanya yang sembab akibat menangis semalaman. Bahkan, saat kedua sahabatnya sudah tertidur pulas, Viola hanya tidur sekitar 3 jam sejak semalam. Itu pun seperti hanya memejamkan mata, sebab pikirannya tidak mengizinkan kelopak mata Viola terpejam dengan tenang.

Untung saja Viola membawa kacamata bening bergagang cokelat tua dari rumah. Gagangnya lumayan tebal, jadi bisa sedikit menyamarkan matanya yang sembab.

"Vio!!! Buru!!! Udah setengah tujuh, nih!" Teriakan Riri dari balik pintu membuat Viola menghela nafas sejenak. Ia menarik kedua ujung bibirnya dengan sengaja, bermaksud meyakinkan diri, bahwa Viola siap untuk kembali menjalani hari.

"Iya!" jawab Viola yang kemudian keluar dari kamar mandi.

Viola menyambar tas ransel miliknya. Riri dan Ina sudah menunggu untuk segera berangkat ke sekolah. Begitu melihat mobil Riri siap melaju, Viola segera membuka pintu mobil sisi kiri bagian belakang.

"Udah semua, nih? Nggak ada yang ketinggalan, 'kan?" tanya Ina.

"Udah," sahut Viola.

Tiga detik berikutnya, mobil Riri melesat membelah jalanan Kota Pahlawan.

"Eh, Vi!"

Viola yang semula fokus pada ponselnya kontan mendongak saat suara Ina memanggilnya.

"Apa?" tanya Viola.

"Itu kacamata minus?"

Viola memegang gagang kacamata yang membalut kedua matanya dengan jari-jari tangan kanan. "Ini? Nggak, kok."

"Lumayan, sih. Nggak lihatan," celetuk Riri yang membuat Viola kembali teringat akan kejadian semalam. Saat ia kembali menjadi sosok gadis yang rapuh sebab bayangan masa lalu.

"Eh, sorry," sambung Riri dengan nada menyesal. "Gue nggak bermaksud—"

"Nggak apa, Ri. Santai aja." Viola tersenyum tipis.

...•••...

Sorak sorai penonton yang antusias akan pertandingan futsal antar gugus begitu terasa memekakkan di telinga Viola. Gadis itu mendengus. Rasanya, ia ingin hengkang saja dari tempat ini. Suara-suara yang menggema, bagaikan pisau tajam yang menusuk-nusuk gendang telinga Viola tanpa ampun.

Viola beranjak dari duduknya, namun Ina segera mencekal pergelangan tangan Viola. "Mau kemana?"

"Kelas. Di sini berisik," jawab Viola.

"Eitsss!!!" Riri yang duduk di sebelah kiri Viola segera menarik pergelangan tangan gadis itu, hingga Viola mau tidak mau kembali menyentuhkan pantatnya dengan kursi penonton.

"Sebentar lagi gugus gue main, nih!" lanjut Riri dengan senyuman bangga.

Pertandingan futsal akhirnya sampai pada babak semifinal. Hanya tersisa gugus 1, gugus 2, gugus 3, dan gugus 4. Berikutnya, pertandingan futsal gugus 2 melawan gugus 4 akan segera dimulai. Gugus 3 sudah tanding lebih dulu melawan gugus 1, dan yang lanjut ke babak final adalah gugus 3.

Viola memutar bola mata malas. Ia terpaksa harus berdiam diri di tempat ini untuk beberapa saat ke depan. Saat-saat yang menyiksa, tentunya!

Selama pertandingan, skor yang diperoleh selalu seimbang. Hampir saja akan terjadi seri, bila gugus 2 tidak mencetak gol di detik-detik terakhir.

"GOLLLL!!!"

Viola spontan menutup kedua lubang telinganya dengan telapak tangan. Ah! Viola sangat-amat membenci suara bising seperti ini.

Jika Viola sibuk menghalau suara teriakan orang-orang di sekitarnya agar tidak menggapai gendang telinga, Riri yang duduk duduk di samping kirinya mengerucutkan bibir. Riri kesal, karena gugusnya—gugus 4—kalah satu point dengan gugus 2.

Tepat pukul dua belas siang, semua manusia yang semula memadati area lapangan futsal mulai berhamburan. Waktu istirahat telah tiba. Para murid tentu memanfaatkan jam istirahat ini untuk mengisi kembali tenaga mereka yang sempat terkuras.

Tidak terkecuali dengan Viola, Ina, dan Riri. Suara dentingan logam dan kaca yang bersentuhan menyelimuti udara kantin SMA BHANERA. Tiga sahabat itu duduk di sebuah meja berbentuk bundar yang berhadapan dengan kedai kopi.

Viola yang sibuk melahap tahu dari semangkuk bakso terlihat santai. Ia kembali menampilkan aura kepercayaan diri yang semalam sempat tenggelam, namun tetap mengenakan kacamata dengan tujuan semula.

"Guys." Viola bersuara dengan mulut yang masih sedikit terisi. Gadis itu mengunyah dan mendorong makanan untuk meluncur ke kerongkongan. Kemudian, Viola menyeruput es teh manis di hadapannya sebanyak dua tegukan. "Gue ke toilet bentar, ya."

Ina yang melihat Viola tampak melangkahkan kaki dengan terburu-buru lantas berkata, "Pasti kekenyangan, dah, tuh bocah."

"Of course!" sahut Riri. "Orang dia nggak makan apa-apa dari kemarin. Sibuk mikirin mantan."

Riri dan Ina sama-sama kembali melahap hidangan mereka masing-masing. Mengenai Viola, biarlah gadis itu mengurus dirinya sendiri.

Sementara itu, di toilet wanita, seorang gadis berambut panjang dan mengenakan kacamata bergagang cokelat sedang berbincang dari hati ke hati dengan pantulan dirinya sendiri di hadapan cermin.

Niatnya ke toilet dari awal memang hanya untuk buang air kecil. Tetapi, tanpa ia duga, keheningan kembali membawa hatinya terpental jauh dari raga.

Viola tertunduk dalam. Ia melepas kacamata dan meletakkannya di samping wastafel. Viola benci. Gadis itu merasa serba salah. Ia tidak suka tempat ramai, tetapi tempat sepi malah lebih menyiksanya.

Viola mengangkat kepala. Ia menatap kembali dua kelopak matanya yang tampak sangat menyedihkan. Padahal, di kantin tadi, ia sudah merasa lebih baik.

"Aku harus gimana?" lirih Viola.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Viola menampar-nampar kedua pipinya. Berharap agar kobaran semangat dalam jiwanya dapat terpancing muncul ke permukaan. Gadis itu menarik kedua unjung bibirnya selebar mungkin. Tangannya bergerak untuk membasuh muka dan mengenakan kacamatanya kembali.

Viola menghela napas. "Move on, Vio! Move on!" ucap Viola untuk dirinya sendiri.

Sekali lagi, Viola tersenyum. Lalu, kakinya mulai melangkah keluar dari area toilet. Baru saja selangkah gadis itu keluar, sebuah tangan kekar terasa mencekal pergelangan tangannya.

Viola tersentak. Ia menoleh ke belakang dengan gerakan cepat. "Afkar? Ngapain lo di sini?"

Afkar mengamati gadis di hadapannya dengan seksama. Tadi, ia baru saja selesai dari toilet, namun gendang telinganya menangkap sebuah suara gadis yang tengah terisak. Afkar yang memang dasarnya baik pada semua orang, memutuskan untuk menunggu. Yang Afkar tidak duga adalah, gadis itu adalah seorang Viola Senia Mahrito. Gadis yang semalam ia cari-cari.

"Malah diem! Ini tangan gue lepasin!" Sentakan Viola membuat Afkar tersadar.

"Lo kenapa?"

Viola yang ditanya begitu segera memasang tampang sok polos. "Kenapa apanya?"

"Lo kenapa?"

Viola diam. Ia menatap Afkar dengan kening berkerut.

Afkar berdecak sebal saat melihat Viola hanya diam. Jari-jemarinya dengan lancang melepas kacamata Viola.

"Lo apaan, sih? Balikin!" teriak Viola sambil berusaha meraih kacamatanya yang berada jauh di atas. Tinggi tubuhnya yang memang tidak seberapa dengan Afkar, membuat gadis itu kewalahan.

"Vio! Diem!" sentak Afkar. Kedua telapak tangannya mencengkram erat dua bahu Viola, agar gadis itu diam di tempat. "Lo kenapa?"

"Lo aneh!" tukas Viola.

Afkar mengunci kedua bola mata berwarna cokelat terang milik Viola. Lelaki itu tidak mengizinkan matanya sendiri untuk berkedip barang sedetik pun.

Afkar menghela nafas berat. Ibu jarinya kanannya mengusap lembut bagian bawah mata Viola yang bengkak. Sedangkan, tangan kirinya memegang kacamata Viola. "Lo bisa nyembunyiin jendela hati lo di depan orang lain. Tapi, nggak di depan gue. Lo pernah dengar, 'mata adalah jendela hati yang paling jujur'? Gue lihat itu sekarang di mata lo, Vio. Sekali lagi gue tanya. Lo kenapa? Gue nggak suka lihat lo kayak gini, Vi."

Dinding tinggi menjulang yang sempat Viola bangun, kini hancur seketika. Hatinya terasa seperti pakaian basah yang sedang diremas-remas. Cairan bening yang semula tertahan, kini terjun bebas. Viola membenamkan wajahnya di dada bidang Afkar. Ia tidak peduli meski beberapa pasang mata telah memusatkan pandangan padanya.

Afkar terkejut. Ia tahu Viola sedang terpuruk, namun tidak menyangka bahwa gadis itu begitu rapuh. Hingga membutuhkan seseorang sebagai sandaran. Telapak tangan kanannya secara otomatis menjalari rambut panjang Viola. Kedua sudut bibirnya terangkat, meski—jujur saja—jantungnya berdebar cepat sekarang.

Viola melerai pelukannya. Ia menghela nafas untuk menetralisir emosi yang sedang bergejolak hebat. "Sorry, gue ... gue ...."

Afkar meraih dagu Viola. Membuat gadis yang semula tertunduk itu kembali menampilkan wajahnya. Afkar memasangkan kembali kacamata yang sempat ia sita di mata Viola. Terlukis senyum tulus di bibirnya. "It's okay. Lo bisa cerita sama gue. Tapi, nanti. Setelah pertandingan futsal ini. Oke?"

Tidak ada yang bisa Viola lakukan selain mengangguk. Tanpa sadar, sebuah bulan sabit terbentuk di bibirnya.

Afkar menepuk-nepuk pelan puncak kepala Viola sebelum meninggalkan tempat. Viola yang diperlakukan seperti itu hanya bisa berdiri mematung. Hingga sesaat kemudian, bibirnya kembali melukis senyum lebar.

Afkar telah berhasil menyingkirkan separuh rasa sakit yang semula bersarang di hati dan pikirannya. Sekali lagi, Afkar berhasil meruntuhkan rasa sakitnya, meski secara perlahan.

...•••••...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!