|7.| Lala

..."Mencintaimu itu ibarat liburan dadakan, pasti."...

...•...

...•...

...•...

Sorak sorai para penghuni SMA BHANERA menggema ke seluruh sudut ruangan. Beberapa detik yang lalu, kepala sekolah meresmikan bahwa Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah tahun 2023 resmi ditutup. SMA BHANERA memang mengambil jatah MPLS hanya selama tiga hari. Tidak seperti sekolah sederajat lain yang melakukan kegiatan MPLS selama empat hari. Hal ini sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Sebab, hari keempat akan diadakan kemah bersama di sekolah.

Kemah ini tidak termasuk dalam kegiatan MPLS, karena hanya berisi hiburan semata. Tidak ada tugas yang harus dilakukan siswa. Mereka hanya akan menikmati apa yang ada. Misalnya, pentas seni api unggun yang boleh diisi oleh siapa saja. Meskipun kemah yang diadakan hanya berisi hiburan, tetapi seluruh siswa kelas X diwajibkan ikut. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan. Dengan tujuan, agar siswa baru bisa akrab lebih cepat. Bisa dibilang, makrab atau malam keakraban.

Terik matahari terasa tepat berada di atas kepala. Kegiatan hari ini telah usai. Namun, para siswa kelas X belum diperkenankan pulang, karena akan ada pengumuman mengenai apa saja yang harus disiapkan untuk besok. Sementara itu, para murid diberi jeda waktu selama 30 menit.

Tidak seperti kedua sahabatnya, gadis berambut panjang yang duduk pada kursi di bawah pohon rindang itu lebih memilih untuk menetap di sana. Viola enggan jika harus berdesakan dengan kerumunan orang di kantin. Ia lebih suka berdiam diri di luar ruangan sembari menikmati angin sepoi-sepoi.

Kepalanya bersandar pada bangku dengan posisi menengadah. Matanya terpejam. Tidak ada secuil ekspresi yang tampak di wajah cantiknya. Setiap orang yang melewati Viola, mereka akan melihat gadis itu seolah tertidur dengan kedua lubang telinga tersumpal earphone dan ponsel di genggaman tangannya.

Seolah merasakan ada seseorang yang mengusik ketenangannya, Viola sontak membuka mata, menegakkan tubuh, dan menoleh ke sisi kiri.

"Hai, sorry, gue ganggu, ya?"

Benar dugaan Viola, seorang cowok bertubuh jangkung berada di sana. Ia menatap Viola dengan sarat sedikit menyesal.

Viola tersenyum kikuk. Ia melepas satu earphone pada telinga kirinya. "Ada apa?"

"Lo masih inget gue?"

Pertanyaan itu kontan membuat kening Viola berkerut. Manik matanya menjelajah ke setiap inci wajah lelaki itu.

Hingga satu menit berlalu, Viola masih belum mengingat siapa pemilik wajah di sampingnya ini.

Lelaki itu terkekeh. "Udah gue duga, lo nggak inget sama gue."

"Hehe." Viola kembali tersenyum canggung. Gadis itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Viola salah tingkah.

"Gue Reza."

Mata Viola sontak terbuka lebar. Kerutan pada dahinya seketika menghilang. Seolah lampu neon baru menyala di dalam otaknya.

Viola tersenyum. "Oh, yang ketemu di koridor dekat toilet waktu itu, ya? Yang dari gugus empat?"

Reza mengangguk sambil tersenyum puas. "Yup!"

"Ada apa nyamperin gue?" tanya Viola.

"Boleh minta nomor WA lo nggak?" pinta Reza to the point.

Kedua alis Viola bertaut. "Buat apa?"

"Gue lihat lo di IG punya olshop, ya? Nah, kayaknya lo lebih update di WA. Siapa tahu, kan, gue mau beli apa gitu."

Reza mengucapkan kata demi kata dengan lancar. Ia memang sudah stalking sejauh itu. Hanya nomor WhatsApp Viola yang belum ia dapatkan.

"Eh!" seru Reza, tersadar bahwa dirinya terkesan sudah stalking terlalu jauh. "Gue terkesan stalking banget, ya?" Reza mendadak salah tingkah.

Viola yang melihat hal itu pun hanya tersenyum ramah. "Sini, handphone lo."

"Beneran?" tanya Reza memastikan.

Viola mengangguk. Langsung saja Reza menyerahkan ponsel yang semula berada di dalam saku kemejanya.

Tak lama setelah Viola mengembalikan ponsel Reza, ponsel Viola bergetar.

"Itu nomor gue," ucap Reza. "Save, ya."

Viola mendongak untuk menatap wajah lelaki itu. "Of course."

...•••...

Di tempat lain dalam area SMA BHANERA, Afkar sedang duduk termangu tak jauh dari tempat Reza dan Viola berbincang. Tepatnya, lima belas meter di depan Reza dan Viola. Afkar menatap kedua anak manusia itu dengan perasaan yang ia sendiri tidak mengerti artinya. Yang jelas, ini pertama kalinya Afkar merasakan perasaan aneh ini.

Lagi-lagi, satu pertanyaan besar terbit dalam benak Afkar. Mengapa Viola bersikap dingin hanya pada dirinya? Apa yang salah dengan Afkar? Dengan orang lain, Viola menjelma menjadi gadis yang ramah dan murah senyum. Sedangkan dengan dirinya, Viola menjadi sosok yang dingin dan cuek. Gadis itu seolah membangun tembok pembatas yang begitu luas, agar Afkar tidak mampu menembusnya.

"Hai." Sapaan berupa suara dan tepukan pelan di bahu kirinya membuat Afkar menoleh.

"Eh, elo, Na."

Ina memposisikan diri duduk tepat di samping kiri Afkar. "Lagi lihatin apa?"

Afkar tersenyum tipis. "Nggak, kok. Ada apa lo ke sini?"

"Nggak boleh, ya, gue ke sini?"

"Eh!" Afkar tersentak. "Bolehlah."

Ina tersenyum. "Udah makan?"

"Belum, sih. Kenapa emang?"

"Mau makan bareng nggak?"

Afkar tampak berpikir sejenak. "Iya, deh, yuk! Laper gue."

Afkar dan Ina segera beranjak menuju kantin. Tanpa sepengetahuan Afkar, Ina mengedipkan sebelah mata ke seseorang di balik cagak; Riri.

Riri yang menangkap kode dari Ina pun tersenyum sambil mengangkat kedua ibu jarinya.

...•••...

"Yuk, masuk, Kak!" Caca menyeret pergelangan tangan Viola dengan riang.

Afkar sendiri heran, mengapa Caca bisa seakrab itu dengan Viola? Padahal mereka baru bertemu tadi pagi.

Viola duduk di sofa ruang tamu kediaman Ghanie. Afkar dan Caca sedang ke kamar masing-masing untuk mengganti pakaian. Tinggallah Viola sendiri dengan manik mata yang menjelajah liar ke seisi ruangan.

Viola berdiri. Beberapa foto di atas nakas yang letaknya dua meter dari pintu masuk, entah mengapa membuat Viola tertarik.

Kedua ujung bibir Viola terangkat. Menampilkan senyum tulus yang entah sejak kapan bersembunyi dari permukaan.

"Permisi, Non. Mau minum apa?"

Viola menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster bermotif batik sedang berbicara padanya.

"Nggak—"

"Bi Ipah nggak usah nawarin Kak Vio minum! Biar Caca aja!" Caca berteriak dari arah kamarnya. Gadis itu tahu apa yang akan dilakukan Bi Ipah ketika sedang ada tamu di rumah.

"Permisi, Non," pamit Bi Ipah yang dibalas senyuman ramah oleh Viola. Gadis itu kembali mengamati deretan foto berbalut pigora yang semula menyita perhatiannya.

"Kak!" Suara Caca membuat Viola menoleh ke arahnya. Gadis kecil itu sudah mengganti pakaian seragam merah-putihnya dengan kaos berkarakter kartun Melody dan celana legging seperdelapan warna pink.

Viola tersenyum. Ia melangkahkan kaki menuju tempat Caca yang sedang meletakkan sepiring kue kering di atas meja.

"Kakak mau minum apa?" tanya Caca.

"Air putih aja," jawab Viola sambil tersenyum ramah.

"Gue heran—" Suara bariton dari arah belakang sofa membuat Viola terkesiap. Gadis itu menelan ludah. Mendadak gugup saat manik matanya bersitatap dengan Afkar yang telah berpakaian kasual. "—kenapa lo bisa bersikap ramah ke orang lain, sedangkan ke gue nggak?"

Afkar duduk di depan Viola. "Se-nggak suka itu lo sama gue?"

"Hhhmm ... gue ... gue ...."

Viola bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sikapnya yang terkesan berbeda memang memiliki maksud. Tapi, sangat tidak mungkin untuk Viola mengatakan yang sejujurnya. Untuk sekarang.

"Hellowww!!!" Afkar menjentikkan jari, membuat Viola sedikit terlonjak kaget. "Malah bengong."

Viola hanya tersenyum canggung. Menunjukkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

Tiba-tiba, ponsel Viola yang berada di genggamannya berdering.

Raka Senio's calling.

"Bentar, ya. Gue angkat telepon dulu," ucap Viola yang dibalas anggukan oleh Afkar.

Viola segera beranjak dan menuju teras.

"Ha—" Belum sempat Viola mengucap satu kata, Raka sudah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan bernada sengit.

"Hallo? Vio? Kamu di mana, sih? Kenapa nggak langsung pulang? Ini mama nyariin. Main ke mana kamu? Bukannya langsung pulang, terus siap-siap buat kemah besok, ini malah main-main. Di mana Vio? Jawab!"

"Kak!" Viola membentak. Indra pendengarannya terasa panas akibat celotehan kakaknya. "Gimana Vio mau jawab kalau Kakak ngomong terus?!"

"Ya udah, jawab. Di mana kamu?"

Viola mendengus. "Di rumah Afkar."

"Ngapain di sana? Udah buru pulang. Kakak tungguin!"

'Tut!'

Viola memandang layar ponselnya dengan tatapan kesal. "Idih. Nggak jelas! Dasar Raka posesif!"

"Kenapa, Vi?" Suara Afkar membuat Viola cepat-cepat menetralisir ekspresi kesal pada wajahnya.

Viola menggeleng. "Nggak apa-apa. Cuma gue disuruh balik sama mama." Dan Kak Raka yang nyebelin!

"Ya udah, habis ini gue antar lo. Pamit dulu sama Caca, ya? Dia nungguin lo di dalam."

Viola mengangguk. Ia kembali masuk ke rumah Afkar dan berjalan mendekati Caca yang tengah asyik memainkan iPad miliknya. Bocah itu tampak serius memasak nasi goreng untuk para pelanggannya.

"Kak, sini, deh. Aku baru download game seru, lho!" seru Caca sembari menatap Viola dengan mata berbinar.

Viola duduk di samping Caca. Tangannya refleks mengusap lembut rambut pendek Caca. "Kakak mesti pulang sekarang."

Caca sontak menyingkirkan iPad-nya. "Kenapa? Kan, Kakak baru nyampe sini," rengek Caca.

Viola tersenyum lembut. "Lain kali, Kakak main lagi, ya?"

"Bener, ya?"

Viola mengangguk. "Iya."

"Ya udah," pasrah Caca sembari mengerucutkan bibir mungilnya.

Afkar yang sudah siap dengan kunci motor di genggaman, segera mengajak Viola untuk pulang.

"Ca, Kakak pergi dulu, ya? Ada Mang Tejo sama Bi Ipah di belakang kalau kamu butuh apa-apa," ucap Afkar sesaat sebelum meninggalkan adiknya dengan para ART di rumah.

"Iya!"

...•••...

"Thank's, ya, Kar."

Afkar tersenyum sembari menaikkan kaca helmnya. "Sama-sama, gue langsung balik, ya?"

Viola membalas dengan anggukan ringan dan seulas senyum.

Setelah motor Afkar hilang dari pandangan, Viola membuka pagar dan masuk ke rumahnya dengan langkah santai. Namun, langkahnya seperti direm mendadak saat ia menginjakkan kaki di teras.

Setangkai bunga tulip putih tergeletak di samping cagak. Mata Viola menjelajah ke segala arah. Siapa tahu, ia menemukan siapa orang yang mengirim bunga tulip ini.

Viola meraih bunga itu. Matanya menyipit saat menemukan secarik kertas.

Sorry, Lala.

-Dariku

Viola tertegun. Dia tahu. Viola tahu siapa pengirim bunga tulip putih ini. Sebab, hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan sebutan 'Lala'.

...•••••...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!