|14.| Ditolak, nih?

Minggu pagi yang lumayan cerah. Jika dalam keadaan normal, mungkin Viola akan segera bangkit dari tempat tidur dan jogging bersama sang kakak. Sayangnya, Viola menolak ajakan Raka untuk jogging bersama sejak 2 hari terakhir.

Jam dinding di kamar Viola menunjukkan pukul sepuluh pagi. Gadis itu merasa lapar. Seingatnya, ia makan terakhir adalah saat sarapan kemarin—sebelum papanya pergi ke Jakarta untuk urusan bisnis.

Dari pada merepotkan orang lain dengan dirinya yang tiba-tiba pingsan karena kelaparan, Viola yang masih berpakaian piama warna abu-abu polos itu memutuskan untuk menuju meja makan.

Sesampainya di meja makan, Viola membuka tudung saji yang ternyata kosong.

Gadis itu mendengus.

"Lapar?" Viola menoleh ke arah tangga. Manik matanya bertubrukan dengan manik mata milik sang kakak.

Viola menarik kursi dan mengempaskan pantatnya ke permukaan kursi dengan malas.

"Tadi, subuh, mama udah berangkat kerja," ucap Raka yang kini telah duduk di samping kanan Viola. Penampilannya sungguh berbeda dengan sang adik. Raka telah rapi dan wangi. Lelaki itu menyalakan ponsel sebelum kembali berucap. "Para ART, kan, libur kalau Minggu. Mama nggak sempat masak. Jadi, mama suruh Kakak ajak kamu makan di luar aja. Itu, sih, kalau kamu mau."

Viola diam. Tatapannya kosong. Raganya memang ada, namun jiwanya terbang entah kemana.

"Udah, nggak usah mikirin mantan lagi," celetuk Raka yang membuat Viola segera menatapnya dengan tatapan siap membunuh.

"Sok tahu!" tukas Viola.

Raka merogoh saku celananya. Kemudian, ia memutar tubuh sembilan puluh derajat. Manik matanya menghunus indra pengelihatan Viola yang tampak dirundung pilu.

"Kakak emang tahu, Viola!" ucapnya tegas.

"Tolong bawain!"

Raka mencibir malas. Dengan enggan, ia membawa barang-barang miliknya dan Viola yang semula berada di bagasi mobil.

Dua tas ransel, yang tentunya sama-sama berat. Raka menyampirkan kedua tas itu ke bahu kanan dan kirinya. Dua pundak kokoh Raka kontan terasa seperti menanggung batu raksasa.

Raka memasuki rumah dengan nafas ngos-ngosan. Namun, sebuah kertas yang tampak kusut menyita manik mata Raka. Pria itu lantas menurunkan kedua tas yang semula membebani pundaknya.

Please, Lala, maafin aku.

-Your Love.

Tulisan dalam kertas itu membuat kening Raka berkerut. Pria itu kembali menatap permukaan meja. Rupanya, ia melewati benda lain. Setangkai bunga tulip warna putih.

"Calvin," gumam Raka—menyebut nama Si Pengirim—dengan rahang mengeras.

Viola terkesiap saat melihat benda yang berada di genggaman Raka.

Bego! Kenapa nggak gue buang?! Gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam hati.

"Jadi, ini alasan kamu susah move on sebenarnya? Kenapa kamu nggak pernah cerita ke Kakak?" cecar Raka dengan nada kecewa.

"A-aku...."

"Lupakan!" Raka menghembuskan nafas berat. "Sekarang, kamu mandi. Kita cari makan di luar. Sekalian jalan-jalan. Buruan!"

"Tap—"

"Nggak ada tapi-tapi!"

"Iya," ucap Viola pasrah.

...•••...

"Afkar? Bangun, Nak."

Suara lembut nan belaian di kening Afkar membuat lelaki itu mau tidak mau harus menyibakkan selimut dan membuka mata. Hal yang menyambutnya di Minggu pagi ini adalah senyuman ramah sang ibu.

"Kenapa, Ma?" tanya Afkar dengan suara khas orang bangun tidur.

"Tolong belanja ke supermarket, ya? Sama Sella. Itu, kakak kamu udah siap di bawah."

Afkar mendengus. "Kenapa nggak Mama aja sama Kak Sella?"

"Mama, kan, mesti nganter Caca kerja kelompok di rumah temannya. Sekalian arisan di sana. Ibu teman-temannya Caca, kan, teman arisan Mama juga."

"Ya udah. Aku mandi dulu."

Afkar melihat pantulan dirinya yang begitu berantakan melalui cermin. Semua itu akibat ulahnya sendiri semalam.

'Brak!'

'Prang!'

"Arghhh!!"

'Tok tok tok!'

Nafas Afkar memburu. Seharian ini, Viola tidak ada kabar sama sekali. Bahkan, ponselnya mati. Hal itu sungguh membuat Afkar frustasi. Laki-laki itu terus uring-uringan.

Mata elangnya menghunus pintu kamar yang baru saja berbunyi. Mata Afkar bersitatap dengan mata Caca begitu ia membuka sedikit pintu kamarnya.

"Kakak lagi ngapain, sih?"

Afkar berdecak kesal. Sedang asik melampiaskan emosi, adiknya itu malah mengganggu. Untung Caca adalah adiknya. Jika bukan, mungkin Caca sudah habis di tangan Afkar.

'Brak!' Afkar membanting pintu kamarnya. Membuat Caca terlonjak kaget.

"DISURUH MAMA MAKAN!"

Afkar malas menghiraukan adiknya. Ia hanya ingin melampiaskan segala emosinya sekarang. Atau, sesuatu yang tidak diinginkan pasti akan terjadi.

"Lo bikin gue gila, Vi."

...•••...

"Kamu mau nonton apa?" tanya Raka pada gadis di sebelahnya.

"Terserah," jawab Viola tanpa mengalihkan pandangan dari poster-poster film yang sedang tayang di bioskop. Sebenarnya, Viola menolak ajakan Raka saat cowok itu pertama kali mengucap kata 'bioskop', namun Raka memaksa. Menurut Raka, Viola harus mencoba berbaur dengan suasana ramai untuk sesekali.

"Film romance, gimana?"

Manik mata Viola menghunus tajam pada Raka. "Nggak! Kakak mau aku makin sedih gara-gara nonton film itu?"

Raka menghela nafas sejenak. "Film horror aja kalau gitu, ya?"

"Nggak. Aku takut," balas Viola cuek.

"Film action?"

"No! Nggak suka."

"Komedi?"

"Nggak. Nggak sesuai sama suasana hati."

Mendengar jawaban sang adik yang selalu berkata 'tidak', membuat Raka naik pitam. Pria itu segera meraih pergelangan tangan Viola, dan menyeretnya keluar dari gedung bioskop.

"Lah, nggak jadi nonton?" tanya Viola yang langkahnya masih diseret oleh sang kakak.

"Nggak. Kita pulang."

Viola mencebik kesal. Padahal, ia sudah susah payah mengumpulkan mood baik untuk bisa menginjakkan kaki di gedung bioskop. Tadi, Raka yang memaksa, sudah tahu Viola benci keramaian. Sekarang? Raka juga yang membatalkannya begitu saja.

Plin-plan banget, sih. Pantes jomlo.

Viola mengerahkan seluruh tenaganya untuk berhenti melangkah. Kemudian, ia mengempas cengkraman tangan Raka.

"Kenapa?!" sungut Raka.

Setelah beberapa saat, Viola menjentikkan jari. Gadis itu tersenyum lebar, seolah lampu neon baru saja bersinar di atas kepalanya.

"Kak, kita belanja, yuk!" seru Viola sambil menarik-narik ujung kaos hitam Raka, layaknya anak kecil yang meminta permen lolipop.

"Belanja?" tanya Raka heran. Pasalnya, ia tahu Viola sangat enggan jika berada di tengah-tengah keramaian nan suara berisik. Belanja? Yang benar saja! "Kamu serius?"

"Iya. Mama-papa, kan, lagi nggak ada. ART juga pada libur. Daripada nanti kita keluar lagi buat cari makan, mending sekarang kita belanja. Sekalian, buat persediaan di rumah."

"Gitu?"

Kepala Viola manggut-manggut dengan antusias. Melihat mood adiknya membaik, Raka segera menggunakan kesempatan yang ada. Persetan dengan Viola yang membenci keramaian. Mungkin, adiknya itu ingin suasana yang berbeda.

Sesampainya di supermarket lantai dasar, gerakan Viola begitu lihai memilah barang-barang yang akan dimasukkan dalam trolly. Sementara, Raka hanya mengekor dan sesekali membantu Viola mengambil barang yang tersusun di atas.

"Vi, Kakak ke toilet bentar, ya?"

"Jangan lama-lama."

"Iya."

Sepeninggalan Raka, Viola mendorong trolly yang hampir penuh menuju area buah dan sayur. Gadis itu mendengus kala melihat susu yogurt berjejer di bagian nomor dua teratas.

Manik matanya mengunci pergerakan sang target. Viola sedikit melompat untuk meraih yang ia butuhkan. Namun, hasilnya nihil. Meski demikian, Viola tidak menyerah. Gadis berpakaian sweeter pink pastel itu terus berusaha.

"Kasihan banget, sih, lo."

Viola mematung saat mendengar suara bariton di sebelahnya. Suara itu datang bersamaan dengan sebuah tangan kekar yang mengambil barang incaran Viola. Dan, suara itu, tidak asing di telinga Viola.

Gadis itu menoleh. Bola matanya membulat sempurna saat menangkap sosok Afkar yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Nih, punya lo." Afkar mengulurkan yogurt milik Viola. Dengan cepat, Viola menyambarnya.

"Thank's," ucap Viola sambil cepat-cepat enyah dari Afkar.

"Kayaknya—" Viola menghela nafas saat menyadari aksi kaburnya berakhir sia-sia. "—lo belum nyalain handphone sejak pulang dari kemah."

Viola tetap mendorong trolly-nya dengan langkah cepat. Ia menulikan telinga dengan segala suara yang ada. Banyak hal yang belum bisa Viola ceritakan pada Afkar. Tentang rasa aneh yang muncul tiap kali matanya menangkap Afkar bersama Ina, tentang Calvin, dan tentang alasannya tidak mengaktifkan ponsel.

Langkah Viola terhenti begitu merasakan sebuah tangan kekar mencengkeram erat lengannya.

"Kenapa lo menghindar dari gue?" tanya Afkar sembari mengunci manik mata Viola. Tatapan tajamnya tidak mengizinkan Viola untuk mengalihkan pandangan ke mana pun.

"Gue ... gue...." Viola gelisah. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Gadis itu hanya berharap agar sang kakak cepat datang dan ia selamat.

"Vi." Jari-jari Afkar menyapu lembut kening Viola. Membuat jantung gadis itu berpacu dua kali lebih cepat. "Lo beneran menghindar dari gue?"

"Ng...." Hah! Viola merutuki lidahnya yang terasa kelu di saat seperti ini.

"Kalau lo berubah kayak gini gara-gara kejadian waktu selesai kemah, gue minta maaf. Tapi serius, gue nggak ada hubungan apa-apa sama sahabat lo."

Afkar meraih telapak tangan Viola. Sedangkan Viola, ia hanya bisa pasrah saat telapak tangannya mendarat di dada bidang Afkar.

"Lo bisa rasain ini?" Afkar mengamati setiap inci wajah Viola. Gadis itu, kini mulai terbawa suasana. "Dua hari. Cuma dua hari, Vi. Tapi, lo nyaris bikin gue gila. Gue udah coba ke rumah lo puluhan kali. Kenapa lo nggak mau nemuin gue? Vio, gue sayang sama lo."

Hati Viola terasa mencelos. Matanya pun berkaca-kaca. Kalimat terakhir yang keluar dari bibir Afkar, sukses memporak-porandakan batin Viola. Di satu sisi, Afkar sering kali hinggap dalam benak Viola. Tapi di sisi lain, bayangan Calvin tidak mengizinkannya untuk melangkah maju.

Viola melepas paksa genggaman tangan Afkar. Ia mengusap jejak air mata yang merembes lewat pipi dengan gerakan kasar. "Sorry, gue mesti cabut."

Untuk menghindari Afkar lebih cepat, Viola berlari kecil. Gadis itu terus berlari sambil meraih ponsel di sakunya.

"Halo, Kak. Kita pulang sekarang. Aku udah otw ke parkiran."

Dengan ini, aksi belanja yang Viola susun berakhir GATOT, alias gagal total!

Sementara sosok lelaki yang Viola tinggalkan menatap nanar ke arah gadis itu menghilang. Afkar tersenyum miris. "Gue ditolak nih?*

...•••...

Raka menoleh ke arah Viola saat mobilnya telah terparkir rapi di teras rumah. Adiknya itu terus melamun selama dalam perjalanan pulang. Berulang kali Raka bertanya, berulang kali pula ia tidak mendapat jawaban.

"Vi, sebenarnya ada apa, sih?"

"Tadi aku ketemu Afkar." Viola turun dari mobil. Enggan pembicaraan ini terus berlanjut.

Raka sendiri tahu, dua hari ini, Afkar beberapa kali datang ke rumah untuk Viola. Tetapi Viola tidak pernah bersedia menemui Afkar. Jangankan menemui Afkar, Viola hanya keluar kamar jam makan dimulai. Sisanya, entah apa yang Viola lakukan di dalam kamarnya. Raka pun tahu, Viola sengaja mematikan ponsel.

Sementara itu, hati Viola kembali terasa diremas saat bunga tulip putih—lengkap dengan secarik kertas—menyambut kedatangannya.

Kalau kamu mau, temui aku di taman dekat rumah kamu jam 7 malam ini.

-Your Love

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!