|8.| Siap Memastikan

..."Bagaimana seseorang bisa berjalan jika langkahnya tertahan?"...

...•...

...•...

...•...

Mood Viola benar-benar buruk kali ini. Pasalnya, ia baru saja berdebat dengan sang kakak. Alasannya klise—menurut Viola, sebab gadis itu melewatkan jadwal check up-nya Rabu kemarin. Salahkan Raka yang terlalu sibuk akhir-akhir ini, membuat Viola tidak tahu harus minta tolong siapa untuk menemaninya. Lihat, 'kan? Hari Rabu sudah lewat 2 hari, tetapi Raka baru menegurnya hari ini.

Malam ini, Viola dan Ina bermalam di rumah Riri. Riri yang meminta. Karena rumah Riri yang paling dekat menuju sekolah dan kedua orang tuanya sedang dinas di luar kota, jadi Riri meminta kedua sahabatnya untuk menemani. Mereka akan berangkat ke sekolah bersama dari rumah Riri besok.

"Gimana misi PDKT lo sama cowok yang namanya Afkar-Afkar itu?" tanya Riri sambil menyenggol lengan Ina—bermaksud menggoda.

"Sukses, dong!" seru Ina. "Dari sore tadi gue chattingan mulu sama dia."

Riri terkekeh. "Bagus, deh. Gue juga lagi deket sama cowok soalnya."

"Siapa?" Jiwa kepo Ina membara seketika. "Wah! Kok lo nggak cerita-cerita ke gue sama Vio, sih?"

"Ini." Riri memperlihatkan layar ponselnya yang terpampang foto seorang pria di hadapan Ina.

Bibir Ina sontak menganga saat melihat foto itu. Sebagai seseorang yang berjiwa kepo tingkat dewa, Ina tahu betul siapa lelaki itu.

"Anjir, Ri! Ini, kan, sahabatnya Afkar!"

"Hah? Masa?" tanya Riri heran.

"Iya! Namanya Alfa, 'kan?"

"Lah, iya bener."

"Iya! Dia, tuh, sahabatnya Afkar. Jadi, si Afkar ini punya dua sahabat cowok, namanya Alfa sama Reza. Bisa kebetulan gini, ya, kita?" jelas Ina dengan semangat membara.

"Gila lo stalking jauh banget, Na!" balas Riri.

Ina hanya tersenyum nyengir.

Kemudian, mata Riri melirik ke suatu tempat. Seseorang yang berada di sebelah kanan Ina. Mereka memang sedang duduk santai di atas kasur Riri sekarang. Dengan posisi Ina yang berada di tengah-tengah.

Ina dan Riri saling pandang sejenak, lalu Ina mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Viola. Sahabatnya itu sejak tadi hanya diam dan melamun.

"Vi ...." Ina menggenggam pergelangan tangan kiri Viola perlahan.

Viola tersentak kaget. Seolah gerakan Ina merupakan suara bom yang baru saja meledak.

"Lo kenapa, Vi?" tanya Riri dengan kening berkerut.

"Iya," sahut Ina. "Lo ada masalah? Coba lo cerita ke kita."

Viola diam. Gadis berpakaian kaos lengan panjang warna kuning itu ingin sekali mencurahkan apa yang kini berkecamuk dan menyesakkan batinnya. Namun, pita suaranya seolah tercekat. Tidak ada satu kata pun lolos dari bibirnya yang bergetar.

Dinding pertahanan yang Viola bangun dengan susah payah, akhirnya runtuh juga. Viola terisak dengan kepala yang masih tertunduk.

Kedua bahunya—pelan tapi pasti—mulai berguncang.

"Eh ... kok, nangis, sih, Vi?" Ina yang merasa bingung dengan sikap Viola, berinisiatif merengkuh tubuh sahabatnya itu.

"Ssttt ...." Riri turut mendekat. Ia mengusap-usap bahu Viola yang terkena udara bebas. Berharap agar Viola dapat menyerap ketenangan yang Riri sampaikan lewat sentuhan. "Nggak apa-apa kalau lo belum bisa cerita sekarang, Vi. Lo bisa cerita ke gue atau Ina kapan pun lo siap cerita."

Ina mengangguk. Membenarkan ucapan Riri. "Iya. Lo nggak sendirian, Vio."

...•••...

"Guys, kali ini gue serius. Gue mau nembak cewek waktu kita kemah besok!"

Ucapan bernada serius dari Alfa, entah mengapa membuat kedua sahabatnya malah tergelak.

"Eh gue serius, ya. Demi Tuhan ini!" sungut Alfa yang merasa kesal dengan Afkar dan Reza.

"Emang siapa, sih, ceweknya?" celetuk Reza di sela-sela gelakan tawanya.

Kali ini, mereka sedang nongkrong di ruang tengah rumah Reza. Sudah jangan ditanya lagi bagaimana keadaan rumah Reza sekarang, seperti kapal pecah.

"Nih!" Karena kesal, Alfa memutuskan untuk memamerkan foto gadis yang ia maksud.

Alfa memperhatikan ekspresi kedua sahabatnya. Reza melongo. Sedangkan Afkar tampak cuek. Dengan cepat, Alfa menyahut kembali ponselnya.

"Nyaho' lo, Za!" tukas Alfa. "Nggak percaya, sih, sama gue."

"Enggak!" sahut Reza cepat. Ia tidak terima dengan kesimpulan Alfa barusan.

"Enggak apa?" sahut Alfa.

Reza menatap Alfa lekat-lekat. Detik berikutnya, Reza menonyor kepala sahabatnya itu. "Dia itu sahabat dari cewek yang lagi gue deketin, bego!"

"Emang lo lagi deketin siapa?" timpal Afkar yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.

"Viola."

Jawaban Reza membuat Afkar menegang. Afkar memang sudah menduga bahwa jawaban itu yang akan meluncur dari mulut Reza, namun ada rasa aneh yang kembali bergejolak dari dalam batinnya. Afkar seperti merasa tidak rela. Ia mendadak ingin marah.

"Woy!" teriak Alfa. "Gue nggak mau tahu, ya! Kalian berdua harus bantu gue buat nembak Riri besok."

"Gua balik dulu." Afkar beranjak dari tempatnya. Tanpa menghiraukan kedua sahabatnya yang kini saling pandang dengan tatapan heran.

"Itu bocah kenapa?" tanya Alfa.

Reza hanya mengedikkan kedua bahu sebagai jawaban.

"Ngomong-ngomong, siapa, tuh, cewek namanya? Ri ... Rima? Rili?"

"Riri!"

"Nah! Dia mau gitu sama lo?"

"Ngeledek lo, ya!" Alfa melempar botol berisi air ke arah Reza.

"Sakit, bego! Ada airnya ini!"

"Lo, sih!"

"Tapi, serius, Al. Riri mau sama lo?" Reza memicingkan mata. Menatap Alfa dengan tatapan menyelidik. "Jangan-jangan, lo guna-guna, ya, anak orang?! Ngaku lo!"

Mendengar tuduhan kurang ajar dari Reza, Alfa melotot. "Sembarangan lo! Cabut, gih, dari sini. Males gue lihat wajah lo mulu."

"Ini rumah siapa?"

Alfa nyengir. Ia baru sadar bahwa ini bukan rumahnya. "Ya, maap."

...•••...

Di tengah-tengah fokusnya mengendarai motor, pikiran Afkar melayang bebas di udara. Berpindah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Yang harus segera ia temukan jawabannya sekarang adalah kepastian dari apa yang ia rasakan terhadap Viola.

Entahlah, Afkar sendiri belum tahu pasti. Apakah perasaan ini adalah bagian dari rasa penasaran, atau ... cinta?

Afkar menggeleng cepat. Berusaha mengenyah bayang-bayang Viola dari otaknya. Afkar benar-benar harus segera mencari titik terang. Sebelum semuanya terlambat dan keadaan menjadi runyam.

Afkar menghentikan motornya di depan pagar sebuah rumah mewah; rumah Viola. Ia harus menemui gadis itu sekarang.

"Kar, gue takut."

"Ada gue di sini."

"Diem!"

"I love you."

Lagi-lagi, sekelebat detik-detik pasca kecelakaan itu mampir. Membuat Afkar mendadak berhenti melangkah, sebab merasakan denyutan di kepalanya. Tangan kanan Afkar meraih cagak. Cowok itu mengatur nafas sejenak, kemudian kembali melangkah masuk. Afkar sendiri bingung, mengapa sekelebat ingatan itu muncul tiap kali otaknya dipenuhi oleh Viola?

Seorang ART yang memang sudah pernah melihat Afkar segera mempersilakan tamu majikannya masuk.

Sesampainya di ruang tamu, seorang pria bertubuh jangkung yang tingginya sedikit di atas Afkar tampak sudah menunggu kedatangannya.

"Ada apa lo ke sini?" tanya Raka to the point.

"Gue mau ketemu Vio, Bang."

"Vio lagi nggak di rumah."

Kedua alis Afkar kontan bertaut saat mendengar ucapan Raka. "Emang dia ke mana?"

"Nginap di rumah temennya."

"Ina? Atau Riri?"

Raka menatap Afkar dengan tatapan menyelidik. "Riri. Lo kenapa kepo banget sama adek gue? Mau apa?"

Afkar mengulas senyum. "Nggak kenapa-napa. Kalau gitu, gue balik, ya, Bang? Permisi."

Raka hanya melihat punggung Afkar yang semakin menjauh dengan tatapan heran. "Ada apa sebenarnya?"

Sementara itu, Afkar yang sudah kembali menaiki motornya, tidak langsung menyalakan mesin. Ia malah menarik ponsel dari saku celana jeans-nya.

Afkar mendial nomor Viola dan mendekatkan layar ponsel ke telinganya dengan perasaan campur aduk. Antara bingung dan was-was. Bingung mengapa dirinya bisa melakukan hal sejauh ini hanya karena Viola, dan was-was sebab gadis itu tidak kunjung mengangkat teleponnya.

Afkar memutuskan untuk mengirim pesan melalui aplikasi WhatsApp setelah panggilannya yang kali ketiga dan tidak terjawab.

^^^Me:^^^

^^^Gue perlu ngobrol sama lo. Please, angkat telepon gue.^^^

Lelaki berjaket kulit warna cokelat itu menghembuskan nafas berat. Ia memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Kemudian, mulai menyalakan mesin motor dan meninggalkan tempat. Jika memang belum hari ini, Afkar harus berbicara dengan Viola besok. Empat mata.

Tanpa Afkar sadari, ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Orang itu melukis senyum penuh makna saat kepulan asap knalpot motor Afkar menerpa kulit wajahnya yang terbalut masker hitam.

"Jadi bener ternyata," gumamnya.

...•••...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!