..."Hidung memang kadang kidding."...
...•...
...•...
...•...
"Ini apa?" tanya Raka dengan tatapan tajam yang menghunus manik mata Viola. Dapat Raka lihat ekspresi adiknya yang terkejut. Dan hal itu membuat emosi Raka kian mendidih.
"I-itu .... "
"Ini—" Raka mengangkat kertas berukuran 4×8 di genggamannya ke arah wajah Viola. "—Kakak bawa."
"Tap—"
Suara Viola tertahan sebab Raka melenggang dari kamarnya dengan meninggalkan jejak berupa suara pintu berdebam.
Tapi, detik berikutnya, pintu kamar Viola kembali terbuka. "Jangan lupa minum obat!"
'BLAM!'
Gadis itu mengalihkan pandangan pada ponselnya yang bergetar. Nama Afkar terpampang jelas di sana. Di saat seperti ini, haruskah Viola menerima telepon dari Afkar? Tapi jika tidak, gadis itu merasa segan sebab dirinya sudah berjanji tadi. Baiklah. Viola menghela nafas sebelum mengangkat telepon itu.
"Halo?" Mendengar suara bariton dari seberang sana, membuat Viola yang semula ingin unjuk suara malah berakhir mengurungkan niat.
"Halo? Vio?" Suara itu kembali terdengar.
"Y-ya?"
****! Viola mengumpat dalam hati. Gadis itu merutuki dirinya sendiri, sebab tidak sanggup mengendalikan suaranya yang pasti terdengar aneh.
"Vio?"
Ia lagi-lagi menghembuskan nafas berat. "Hm?"
"Lo kenapa?"
Viola mencoba tersenyum. Meski ia tahu bahwa Afkar pun tidak dapat melihatnya. "Nggak apa-apa."
"Kok, suara lo kayak orang habis nangis?"
Viola terkekeh dengan suaranya yang terdengar sumbang. "Gue tadi habis nonton film. Biasa, gue baperan orangnya."
"Oh."
Terjadi keheningan barang sesaat. Viola tidak fokus pada obrolannya dengan Afkar, sedangkan Afkar di seberang sana sedang bingung akan membicarakan apa. Sejujurnya, cowok itu hanya ingin mendengar suara Viola.
"Besok, gue jemput, ya?" Viola yang mendengar suara Afkar dari ponsel di permukaan daun telinganya itu sontak menautkan kedua alis.
"Vi?"
"Iya."
"Boleh?"
"Kalau lo nggak keberatan, sih. Soalnya biasa gue bareng Kak Raka."
"Besok gue jemput ke rumah lo, oke?"
"Oke."
...•••...
'Ding dong!'
Suara bel yang menggema di seluruh penjuru kediaman Mahrito. Membuat gadis dalam balutan seragam putih abu-abu yang semula tengah menikmati sarapannya melengok ke arah pintu utama.
"Kayaknya Afkar udah datang," ucap Viola sambil meletakkan sendok dan garpu yang semula berada di dalam genggaman telapak tangan kanan-kirinya.
"Afkar?" Suara Raka terdengar bergumam. Lelaki yang duduk di hadapan Viola itu masih bersikap sok cuek terhadap adiknya. Tanda bahwa Raka belum melupakan kejadian semalam.
Erland—papa mereka—sudah berangkat kerja sejak setengah jam yang lalu. Sedangkan Hima—istri Erland—sedang menghadiri acara arisan dan berangkat sekitar 15 menit lalu. Mereka memang jarang di rumah. Jadi, tinggallah Raka dan Viola di meja makan yang luasnya cukup untuk sepuluh orang itu.
"Iya." Gumaman Raka rupanya terdengar oleh Viola. Namun, Raka hanya melirik adiknya sekilas. Ia masih ingin memberi adik nakalnya itu sedikit hukuman.
Tepat setelah itu, Mbak Ona—salah satu ART di rumah mereka—menghampiri meja makan dengan langkah agak terburu-buru.
"Non Viola, ada yang nyariin."
Viola mengangguk. Ia meraih tas ransel warna abu-abu-putih di sebelah kursi yang ia duduki dan mengaitkan kedua talinya ke pundak. Gadis itu menyeruput susu yang tinggal setengah hingga tandas.
"Hari ini Vio bareng Afkar. Duluan, ya?"
Tanpa menatap atau sekadar melirik ke arah Raka, Viola segera melenggang meninggalkan meja makan. Raka masih berusaha tidak peduli, ia kembali melahap nasi goreng di hadapannya.
Sementara itu, Viola yang telah sampai di teras rumah merasa heran, sebab bukan Afkar yang ia temui, melainkan seorang mas-mas dengan seragam orange dan sebuket bunga tulip putih di rangkulan lengannya. Violah menduga bahwa mas-mas itu adalah seorang kurir paket.
"Mbak Viola?" tanyanya saat melihat gadis berseragam SMA keluar dari rumahnya.
"Iya?"
"Ini ada kiriman untuk Mbak Viola."
Viola menerima buket bunga tulip tersebut dengan alis bertaut. "Dari siapa, ya, Mas?"
"Saya hanya bertugas sebagai kurir, Mbak. Bisa tanda tangan di sini?"
Viola mengambil alih pena ke genggamannya dan melakukan apa yang mas-mas itu minta.
"Makasih, ya, Mas," ucap Viola sesaat sebelum mas-mas itu menghilang dari pandangan.
Viola mengamati buket bunga yang ia bawa dengan berselimut rasa penasaran. Bunga tulip putih. Kenapa mesti bunga tulip? Apa maksudnya? Apa pengirimnya tahu bunga tulip adalah bunga favorit Viola? Tapi, tahu dari mana?
Siapa pengirimnya? Tidak ada nama seseorang yang tertera di sana. Apakah Viola memiliki pengagum rahasia? Menurutnya, itu berlebihan. Viola bukan artis yang memiliki banyak penggemar. Ia hanyalah seorang tokoh utama dalam novel. Atau, ini kiriman dari salah satu costumer online shop-nya? Tapi, untuk apa?
Viola menegakkan tubuh. Melepas tautan pada kedua alisnya sesaat setelah kesadarannya kembali. Gadis itu membawa bunga di genggamannya masuk ke rumah dan menuju kamar. Ia meletakkan buket bunga itu di sudut ruangan tempat bunga-bunga tulip lain tertata. Viola memang sedang mengoleksi bunga tulip. Khususnya, warna putih. Melambangkan Viola adalah gadis yang cinta damai.
Raka sudah tidak terlihat di meja makan. Tapi, bisa dipastikan bahwa lelaki itu juga belum berangkat ke sekolah, sebab mobilnya belum keluar pagar. Mungkin, Raka sedang berada di kamarnya untuk mengambil sesuatu yang tertinggal.
Ponsel Viola bergetar, nama Afkar terpampang di layar ponsel itu.
"Iya. Iya, ini gue keluar. Oke, tunggu bentar."
Sambungan terputus. Viola memasukkan kembali benda pipih yang semula berada di genggamannya ke dalam tas.
Namun, langkahnya terhenti saat melihat sepucuk kertas di sela-sela tangkai bunga tulip tadi. Lagi-lagi, kabut penasaran kembali menyelimuti Viola. Dengan kening berkerut, ia meraih sepucuk kertas itu dengan teliti.
-Bunga tulip; melambangkan permohonan maaf yang begitu dalam.
Dariku,
Untukmu.
"Apaan, sih?" Viola meletakkan kembali kertas putih itu ke tempat semula. "Nggak jelas banget."
Langkah Viola melenggang pergi dari kamarnya dengan santai. Dengan segenap usaha, Viola berusaha melupakan perkara bunga tulip misterius itu.
"Hai." Suara bariton bernada lembut disertai senyuman hangat menyambut Viola begitu gadis itu selangkah keluar pagar.
"Hai." Viola membalas dengan tersenyum tipis. Namun, manik mata Viola menatap sosok lain berdiri tepat di samping motor Afkar.
"Yuk!"
Viola mengangguk. Ia berjalan menuju motor Afkar dengan tatapan tidak lepas dari seorang gadis kecil yang usianya sekitar tujuh tahun.
"Wah!!! Kakak cantik banget!" Gadis kecil berpakaian seragam merah-putih—khas SD—itu tersenyum lebar menatap Viola.
"Hai, Kak. Kenalin, aku Caca." Gadis kecil itu berucap dan mengulurkan telapak tangan sebelum Viola sempat mengeluarkan suara.
Viola segera menampik ekspresi terkejut dari wajahnya dengan seulas senyum manis. "Hai, Caca."
Viola beralih menatap Afkar yang sudah siap dengan helmnya. "Ini bisa bertiga?" tanya Viola sembari menerima helm dari Afkar.
"Bisa. Caca, kan, kecil. Nggak apalah kalau dijepit bentar." Afkar terkikik geli. Sementara Caca memasang wajah cemberut. "Ayo naik!"
Sesuai perintah Afkar, Caca segera naik motor kakaknya, diikuti Viola di belakang.
"Nama Kakak siapa?" tanya Caca pada Viola saat motor Afkar telah melaju dengan kecepatan sedang.
Viola tersenyum dan mengarahkan pandangan hingga manik matanya dengan Caca bersitatap sejenak. "Viola."
Caca manggut-manggut. "Oh ... Kak Viola ...," gumam bocah itu.
"Vio aja," sahut Viola.
"Oke." Caca kembali mengangguk. "Kakak pasti pacarnya Kak Afkar, ya?"
"Bukan!"
"Bukan!"
Afkar dan Viola terdiam sembari saling tatap penuh canggung lewat kaca spion. Mereka sama-sama tertegun akibat jawaban yang keluar dari mulut secara bersamaan. Afkar dan Viola mendadak salah tingkah.
"Tuh, kan! Jawabnya aja barengan!" celetuk Caca sambil cengengesan.
"Turun, Ca!" Suara Afkar terdengar memerintah.
Caca mengalihkan pandangan ke sekitar. Rupanya, motor Afkar telah terhenti di depan gerbang sekolah Caca. Gadis kecil itu kontan mengerucutkan bibir.
"Yah!" Caca mendengus. "Padahal Caca masih pengin ngobrol sama Kak Vio."
Viola yang mendengar gerutuan Caca segera menoleh ke belakang. "Nanti kita ngobrol lagi, oke?"
"Emang nanti kita bakal ketemu?" tanya Caca dengan suara lesu.
"Ya ... ya .... Ng—"
"Iya!" Afkar memotong ucapan Viola yang terdengar bingung. "Udah sana, Ca. Keburu telat, lho."
"Beneran nanti Caca ketemu Kak Vio?!" seru Caca dengan mata berbinar dan senyuman lebar.
"Iya," jawab Afkar. Lelaki itu melirik ke arah Viola yang ia sadari tengah melayangkan tatapan heran padanya.
"Oke!" Caca turun dari motor dengan riang.
"Sampai ketemu lagi, Kak Vio!" Caca melenggang pergi sembari melambaikan tangan. Viola pun membalasnya dengan melakukan hal yang sama.
Viola menatap Afkar dengan sarat penuh tanya saat motor Afkar kembali melaju. "Tadi itu beneran?"
Afkar melirik Viola sejenak. Lelaki itu tersenyum penuh makna dengan pandangan lurus ke depan. "Boleh, kan?"
Kali ini, Viola bingung harus menjawab apa. "Hhhmmm ... gimana, ya?"
"Please, Vi. Tadi gue udah janji sama Caca. Lo tega lihat dia sedih? Dia cuma pengin ngobrol sama lo nanti."
Viola menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal. "Ya udah, deh," balas Viola pasrah. Dan jawaban itu menerbitkan senyum berjuta makna di bibir Afkar.
Berguna juga ternyata itu bocil.
...•••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments