Steven menatap dua orang wanita yang sedang menatapnya. Melody dan Dini. Ia heran, kenapa dua dokter ini masih ada di ruangannya. Padahal satu persatu orang sudah pergi. Ia mulai merasa risih dengan tatapan keduanya. "Kenapa kalian berdua melihatku seperti itu? Apa kalian pikir aku hantu?" ucapnya.
"Ah... Aku hanya tidak percaya dengan yang terjadi hari ini. Apalagi mendengar cerita tentangmu dari Dokter Melody," ucap Dini saat sadar dari lamunannya. Ia memijat pelipisnya yang terasa pening.
"Tidak perlu dipikirkan jika itu membuatmu pusing, Dini."
"Tapi kau benar-benar membuatku terkejut. Apa kau ini sebenarnya seorang dokter dulunya? Kau terlalu jenius untuk hal berbau kesehatan," tutur Dini mengungkapkan isi pikirannya sedari tadi.
Steven bisa melihat betapa Dini mempertanyakan dari mana kemampuannya itu. Ia membangunkan dirinya untuk duduk. Kemudian menarik nafas dalam. "Aku juga tidak tau. Tiba-tiba saja aku merasa sangat familiar dengan alat-alat kedokteran. Bahkan aku bisa mendiagnosa penyakit pasien hanya dengan melihat kondisi tubuhnya," tuturnya menjawab pertanyaan Dini.
"Tapi itu tidak masuk akal. Kecuali kau sudah mengingat identitas aslimu," tuduh Dini yang diangguki Melody.
Steven menatap kedua wanita itu bergantian hingga fokusnya menatap wajah Melody. "Apa kalian tidak ada pekerjaan lain lagi? Terutama anda, Dokter Melody. Kenapa tidak keluar? Apakah anda masih ada urusan dengan saya?" ucapnya sejenak mengalihkan pembicaraan. Sehingga Dini juga ikut menatap Melody membenarkan ucapan Steven.
"Ah, itu— aku— eh saya, hm... hanya ingin mengetahui keadaan anda lebih lanjut, Tuan Steven. Bagaimana pun anda masih pasien saya," jawab Melody gugup seraya meremas tangannya dibalik jas putihnya. Ia tidak ingin keluar meski diusir secara halus oleh Steven. Karena ada sesuatu yang masih mengganggu otaknya.
"Ck... Dokter Melody, sejujurnya saya merasa curiga dengan anda. Apakah sebenarnya anda ini mengenal Steven? Sesekali saya mendengar anda memanggilnya dengan panggilan akrab," selidik Dini mengungkapkan pemikirannya yang menggangu sedari kemarin.
"Itu—"
"Sudahlah Dini... Jangan menanyakan hal aneh seperti itu," potong Steven cepat. Membuat Melody menghela nafas.
"Tapi, Stev. Aku benar-benar merasa ada teka teki di sini. Ini membuatku penasaran. Dan kau—" Dini menunjuk Steven. "Sejauh mana ingatanmu itu muncul? Hm?" tanyanya.
"Aku sudah mengatakannya. Aku hanya ingat kemampuanku yang tiba-tiba saja muncul. Selebihnya aku tidak ingat. Apa kau masih tidak percaya? Apa kau ingin aku memaksakan ingatanku?" jawab Steven dengan wajah jengah.
"Huh, baiklah. Maaf karena terlalu banyak bertanya," ucap Dini dengan wajah tidak puas. Namun ia harus berhenti memaksakan pertanyaannya pada Steven.
Mendengar itu, Steven menatap Melody. Begitu pun dengan Melody. Mereka saling tatap hingga nada dering ponsel Dini mengalihkan perhatian mereka.
Ting.... Ting.... Ting.... Ada telpon genting~
Dini yang medengar itu segera mengangkat teleponnya. Sementara Steven memperhatikan ekspresi Dini yang berubah saat melihat panggilan telepon itu. Bahkan ia melihat Dini sesekali menjauhkan telepon itu dan mematikannya dengan kesal. "Siapa?" tanyanya penasaran.
"Maaf, Steven. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Istrimu itu berbuat hal nekat lagi. Dia memecahkan kaca mobil mantannya karena emosi," ucap Dini panik membuat Steven mengerutkan keningnya. "Aku harus menyusul anak itu. Bisa-bisanya dia menuduh mantannya sebagai penculikmu," tambah Dini segera mengambil tas dan langsung pergi tanpa menunggu jawaban Steven.
Kini di ruangan itu menyisakan Melody dan Steven. Mereka saling pandang hingga Steven memutuskan pandangannya.
"Aku tidak tau siapa kau, Dokter Melody."
"Steven... hm— maksudku, Tuan Steven."
Steven menampilkan wajah datar. Mata hitamnya yang tajam, menatap lawan bicaranya. "Wajahmu mirip dengan seseorang yang ku kenal dimasa lalu," ungkapnya membuat Melody menatapnya dengan mata membola.
"Apa itu artinya, kau sudah mengingat semuanya? Kau ingat masa lalumu?" tanya Melody ragu.
"Menurutmu?" balas Steven.
"Kau mengingatnya!" tukas Melody.
"Kau seorang dokter. Seharusnya lebih pintar dari pasienmu," ucap Steven tajam dengan senyum smirk.
"Tapi kenapa kau tidak mengatakannya pada Dokter Dini?" tanya Melody heran.
"Aku hanya tidak ingin orang lain tau kalau aku sudah sembuh sepenuhnya," jawab Steven.
"Ah, maaf jika aku berbicara informal. Tapi aku terlalu nyaman berbicara seperti itu padamu, Steven."
"Tidak apa-apa, Dokter Melody."
"Jadi... sejak kapan ingatan tentang masa lalumu mulai muncul?"
"Saat aku sadar dari tidurku tadi. Yah, setelah mengobati anak itu." Steven menjawab jujur. Ia merasa Melody bukan orang berbahaya untuknya. Jadi ia dengan percaya mengatakannya. Ia memang sudah tau siapa dirinya yang sebenarnya. Ia ingat setelah menyelamatkan cucu kakek itu, ia mendadak pingsan karena kelelahan dan kepalanya yang sakit. Ia merasa pusing dengan ingatan yang menerobos otaknya. Hingga ia tidak tahan dan jatuh pingsan.
"Jadi kau juga ingat wajahku yang mirip dengan masa lalumu itu?" tanya Melody terkejut.
"Yah... Kau sangat mirip dengan—Maudy," ucap Steven menatap dingin Melody.
"Hahaha..." Melody bukannya terkejut, justru malah tertawa.
Hingga membuat Steven keheranan. Kenapa wanita di depannya justru tertawa? Lama ia perhatikan hingga tawa Melody mereda.
"Oh, Astaga... Maaf karena aku tertawa. Aku hanya merasa bahagia karena kau mengenaliku. Hm... Maksudnya mengenali saudara kembarku," ucap Melody dengan senyum merekah.
Justru membuat Steven bingung. "Kau saudara kembar Maudy?"
"Yah, dan aku sering bertukar peran dengannya. Itulah mengapa aku mengenal dirimu," ungkap Melody yang membuat mata tajam yang menatapnya itu melebar.
"Jadi, kau—" kini Steven merasa tidak bisa berkata-kata. Ia sulit mencerna kebenaran yang baru saja ia dengar. "Yang aku bawa menjadi partnerku berlibur di kapal?" lanjutnya bertanya tentang masa lalunya.
"Aku Melody. Dan tentu saja yang kau ajak adalah Maudy. Saat itu aku tidak bertukar peran. Karena Melody berkata dia ingin menikmati pelayaran. Tapi aku tidak menduga jika kapal itu justru kecelakaan," tutur Melody.
"Yah... Kecelakaan kapal itu membuatku terdampar di pantai. Dan terjebak ni—" (ucapan Steven terputus melihat ke arah pintu)
BRAK!
Seorang wanita paruh baya mendobrak pintu itu dengan kasar. Menatap Steven dengan wajah memerah penuh permusuhan. Mulutnya yang merah karena gincu tersenyum miring. Lalu berjalan dengan sepatu hilsnya yang menimbulkan bunyi karena beradu dengan lantai.
"Oh... Jadi kau di sini, menantu sampah! Berduaan dengan wanita lain, sementara anakku mencarimu susah payah sampai mengabaikanku! Jadi begini kelakuanmu! Benar-benar terkutuk! Sampah!" maki wanita paru baya itu yang ternyata adalah ibu mertua Steven. Wanita itu menatap Steven dan Melody bergantian. Ia meneliti wajah Melody yang memang sangat cantik sebagai dokter. "Pantas saja kau betah di sini! Ternyata karena kau berusaha menggoda dokter cantik ini."
"Nyonya—" ucap Melody yang langsung diputus Ros dengan melambaikan tangan di depan Melody.
Sementara Steven yang memang terkejut dengan kehadiran ibu mertuanya, berusaha menahan emosi dengan mengepalkan tangannya. Emosi karena tuduhan, hinaan dan cacian yang tiap kali ia terima. Ia mulai bertekad akan membuat semua orang menunduk padanya seperti yang ia lakukan pada Dr. Bromo yang sempat menghinanya. "Aku akan membuktikan padamu, Ibu. Kalau aku bukan menantu sampah!" batinnya mengeratkan tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🚨 𝕽𝖎𝖋𝖆'𝖎 🚨
Ow aku gak suka ros, tapi tanpa ros gak ada gregetnya memang
2023-10-11
0
🚨 𝕽𝖎𝖋𝖆'𝖎 🚨
ni apa nih. sukaanyaaaa isi nya bagus banget.
2023-10-11
0
🚨 𝕽𝖎𝖋𝖆'𝖎 🚨
Mau nada dering kek gini thor. donlod di mana 🤣
2023-10-11
0