"Minumlah," ucap Kakek Leon mempersilahkan Steven minum.
Steven yanh mendengar itu, tersenyum dan lekas mengambil cangkir yang berisi seduhan teh. Ia meminumnya dengan elegan. Dan itu semua tidak lepas dari perhatian Kakek Leon.
"Bagaimana keadaanmu, Ste—Ste—" ucap Kakek Leon terbata-bata. Berusaha mengingat nama cucu menantunya ini.
"Steven, Kek." Steven membenarkan penyebutan namanya saat mendengar Kakek Leon yang sepertinya lupa namanya. Ia meletakkan cankirnya, kemudian menegakkan tubuhnya yang saat ini duduk di sofa berhadapan dengan Kakek Leon.
"Yah... Steven. Bagaimana kabarmu? Kemarin Kakek melihatmu berteriak kesakitan sebelum pingsan," tutur Kakek Leon menanyakan kabar Steven.
"Seperti yang Kakek lihat sekarang. Keadaanku sudah lebih baik," balasnya sembari menelisik ruangan Kakek Leon yang penuh dengan senjata. Ia menatap senjata-senjata itu penuh minat.
Kakek Leon yang menangkap hal itu. Ia pun tersenyum seraya berkata, "Kau menyukai senjata?"
Steven yang ditanya sepert itu segera menjawab dengan gugup. "Ah... Itu– ya, Kek."
Senyum Kakek Leon kian merekah. Ia segera berdiri dengan kaki rentahnya mengambil salah satu senjata terdekat. Kemudian kembali mendudukkan dirinya di hadapan Steven yang hanya terhalang meja. Tangan keriput itu menyodorkan senjata yang kepada Steven. Membuat Steven melirik takjub.
Itu adalah sebuah belati kecil dengan ukiran sangat indah. "Ambillah..." ucap Kekek Leon karena Steven hanya melihatnya dan tidak mengambilnya.
"Tapi, Kek—"
"Itu untukmu. Jadi ambillah," potong Kakek Leon membuat Steven mengambil belati itu.
Steven menatap belati di tangannya dengan perasaan senang. "Apa benar ini untukku, Kek?" tanyanya memastikan seraya menatap Kakek Leon.
"Ya... anggap itu sebagai hadiah pernikahanmu," jawab Kakek Leon.
"Terima kasih, Kek."
"Bagaimana pun, kalian cucu kakek. Tapi kalian terpaksa harus menikah di rumah sakit, karena keadaan." Kakek Leon menampilkan raut wajah sesal.
Steven segera menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kek. Jangan berkata seperti itu," ucapnya lembut. Ia merasa jika Kakek Leon sungguh pria tua yang baik. Hanya saja Kakek Leon memiliki banyak penyakit.
Kakek Leon tersenyum melihat wajah tulus Steven ketika berbicara. "Tapi tenang saja. Kakek sudah memiliki rencana untuk mengadakan pesta pernikahan kalian saat waktunya memang pas," ucap Kakek Leon mengandung makna tersirat.
"Kakek tidak perlu memikirkan hal itu, Kek.Yang terpenting sekarang, Kakek harus sembuh dulu. Istirahat yang cukup dan mengonsumsi obat secara rutin sesuai rekomendasi dokter," balas Steven menampilkan raut khawatir meningat penyakit komplikasi jantunh yang dialami Kakek Leon.
Kakek Leon berdiri. Mendekatkan dirinya ke arah Steven yang masih duduk. Menepuk-nepuk pelan pundak Steven. "Kakek tidak salah memilihmu sebagai cucu menantuku," ucapnyaa tersenyum penuh arti. "Ambillah belati itu. Aku mendapatkannya dari seorang kenalan lama karena berharap saat bertemu kembali, aku akan mengembalikan belati miliknya."
Ucapan Kakek Steven justru membuat Steven mengerutkan keningnya bingung. "Maksud Kakek apa? Kalau ini milik orang lain, lalu mengapa Kakek memberikannya padaku?"
"Karena aku sampai kapanpun tidak akan bisa bertemu dengan pemilik belati itu lagi," jawab Kakek Steven cepat dengan air muka terlihat muram. "Maka jagalah belati itu. Karena itu sangat berharga bagi Kakek," tambahnya. Namun saat melihat Steven sudah berdiri dihadapannya, ia dengan cepat mengubah raut wajahnya dengan tersenyum.
"Kek... bolehkah aku memelukmu?" pinta Steven yang merasa perasaannya bergejolak.
Kakek yang mendengar itu, lantas melebarkan tangannya. "Tentu saja," ucapnya.
Steven langsung memeluk Kakek Leon erat. Entah kenapa, ia merasa perasaannya bergejolak. Ada rasa sedih dalam hatinya yang ia sendiri tidak tau dari mana asalnya. Ia juga merasa sangat merindukan seseorang. Tapi ia juga bingung itu siapa. Bahkan air matanya luruh begitu saja tanpa ia minta. Ia menutup matanya merasakan kehangatan di pelukan Kakek Leon. Pria tua ini benar-benar menerimanya. Menghapuskan kekhawatirannya tentang Kakek Leon yang juga akan menghinanya sebagai menantu sampah.
Kakek Leon mengelus dan sesekali menepuk pelan pundak lebar Steven. "Jadilah suami yang baik untuk cucuku, Steven. Meski kalian terpaksa menikah karena keadaan, tapi Kakek memilihmu karena takdir. Meski semua orang menolakmu, tapi ingatlah bahwa kau bukan pria lemah yang mampu ditindas. Kau pria bermartabat, Steven. Bukan sampah seperti ucapan mereka. Bangunlah Steven. Ubah takdirmu. Karena kau satu-satunya orang yang Kakek harapkan untuk menjaga—Clara," tuturnya memberi motivasi serta harapannya pada Steven.
Sementara Steven yang mendengar itu, merasa kepalanya mulai terasa sedikit sakit. Ia pun melepaskan pelukannya dari Kakek Leon. Menatap pria tua itu dengan mata merah berkaca-kaca. "Kakek.... Kau—" ucapannya terhenti kala melihat wajah Kekek Leon memucat.
Bugh
Steven panik melihat tubuh tua itu melemah dan ambruk. Namum sebelum Kakek Leon menyentuh lantai, ia dengan segera menangkap tubuh tua itu. "Kek... sadarlah... ada apa denganmu?" ucapnya panik seraya menepuk pelan wajah Kekek Leon yang sudah tidak sadar sepenuhnya. Tangannya dengan cekatan mengecek nadi Kakek Leon. Kemudian membuka kancing kemeja Kakek Leon untuk memeriksa organ vitalnya. Ia mendekatkan telinganya lebih dekat ke jantung Kakek Leon. Wajahnya mendadak semakin kalut saat merasakan detak jantung Kakek Leon melemah. Seolah ia sudah tau yang terjadi, ia segera bertindak sesuai nalurinya.
Namun baru saja Steven akan hendak bergerak, tiba-tiba pintu ruangan sudah terbuka lebar. Menampilkan banyak wajah di sana.
"Kakek!" teriak wanita itu yang merupakan istri Steven. Berlari cepat ke arah Steven dan Kakek Leon. Disusul di belakangnya ada Ben, Ros dan beberapa pelayan.
Clara dengan cepat memeluk tubuh Kakek Leon. Hingga membuat Steven sedikit tersingkir. Matanya menampilkan kesedihan yang begitu kentara. Ia berteriak panik, "Bawa Kakek segera ke rumah sakit!"
Semua pelayan bergerak dengan cepat. Mengambil alih Kakek Leon dan membopongnya menuju mobil. Mereka semua panik melihat keadaan Kakek Leon. Bahkan Ben dan Ros langsung menyusul mengambil mobil untuk pergi ke romah sakit. Mengabaikan kehadiran Steven.
Clara yang juga hendak menyusul kakeknya, mendadak terhenti di depan pintu. Ia berbalik menatap sosok yang bersama dengan kakeknya. Tangannya mengepal seraya berjalan mengjampiri Steven. Ia menatap Steven penuh amarah. Tangannya terangkat menunjuk Steve
"Apa yang kau lakukan?!" tuduh Clara menatap tajam Steven yang hanya diam membisu. Ia menarik kerah baju Steven. "KENAPA KAU DIAM?! JAWAB AKU STEVEN?! APA YANG KAU LAKUKAN PADA KAKEKKU?!" teriaknya menggoyang-goyangkan tubuh Steven yang tampak kaku.
Tak mendapatkan jawaban, Clara langsung mendorong tubuh Steven yang memang sudah lemah karena panik, tersungkur ke lantai.
Kepala Steven menabrak ujung meja hinggah merintih sakit. Ia memegang kepalanya. Namun matanya tetap menatap Clara dengan mata meredup berkaca merasa tertuduh.
"Akh..." teriaknya frustasi seraya mengusap wajahnya kasar sembari terisak. Ia juga tidak tega menatap mata Steven yang terlihat terluka karena tuduhannya. "Apa yang kau lakukan pada kakekku, Steven..." lirinya seraya memunggungi Steven. Ia menarik nafas dalam dan lantas berkata, "Aku tidak suka diammu, Steven! Jadi aku harap, kamu bisa menjelaskan kejadian barusan." Clara langsung berlari meninggalkan Steven yang ternyata kini menekan kepalanya yang terasa sakit.
Steven merasa pernah mengalami hal ini. Bayangan samar menyerbu kinerja otaknya. Ia memukul-mukul kepalanya hingga penglihatannya memburam. Ia tidak sanggup dan akhirnya matanya tertutup. Ia kembali tidak sadarkan diri.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Saidil M🍇
Aaa jangan buat clara salah paham... oh ya ampun. kalau bukan sama clara, siapa lagi dong? masa dia di musuhi semua orang
2023-10-05
1
Natadecoco
hingga merintih, jangan jangan steven udah muncul ingatannya
2023-10-04
0
Natadecoco
rumah sakit thor... kasian kakek leon
2023-10-04
1