Ruangan makan sudah bersih dari pecahan gelas yang berhambur di lantai. Para pelayan sudah membersihkan semuanya ketika Ros meninggalkan ruang makan. Tinggal Clara dan Steven yang berada di ruang makan itu.
"Jangan terlalu memikirkan ucapan ibu. Ia masih belum bisa menerima kehadiranmu yang baru saja menikah denganku," ucap Clara seraya membalut tangan Steven dengan perban.
"Tidak apa apa, lagi pula yang ibumu katakan memang benar bukan? Aku hanya pria malang yang kau temukan dalam keadaan yang tidak layak di pinggir pantai saat kau berada di pulau itu—"
"Apa yang bicarakan? Mengapa mengatakan hal seperti itu? Aku memang terpaksa menikah denganmu, tapi jaangan benarkan perkataan ibuku!" potong Clara berseru tidak terima dengan ucapan Steven. Ia seraya meletakkan jari telunjuknya ke bibir Steven.
"Terima kasih," ucap Steven dengan tulus seraya mengambil jari Clara, lantas ia mengusapnya lalu menciumnya dengan lembut.
Pipi Clara bersemu merah karena perlakuan lembut Steven. Ia langsung menarik tangannya dari Steven karena tidak ingin ketahuan. Padahal Steven sudah melihat semu merah di pipi istrinya itu. Dan itu sangat menyenangkan baginya. Seperti ada kupu kupu menggelitik perutnya. Apakah istrinya juga merasakan hal yang sama?
"Sebaiknya kita makan. Ayah pasti sudah menunggu kita di perusahaan," ucap Clara mengalihkan pembicaraan. Ia menyiapkan makanan untuk Steven dan dirinya.
"Baiklah. Tapi aku tulus berterima kasih padamu, Clara." Steven masih kekeh mengucapkan rasa terima kasihnya seraya mengambil makanan yang di siapkan Clara.
"Lagipula, untuk apa berterima kasih? Justru aku yang harus minta maaf karena membawamu ke dalam keluargaku," tutur Clara sedikit menyesal. Apalagi perlakuan ibunya yang tidak menerima kehadiran Steven. Ia menunduk sambil memakan sarapannya.
"Tidak apa-apa, bukankah kau hanya ingin ini berlangsung sementara?" ucap Steven santai. Namun membuat Clara sedikit tersentak melihatnya.
"Yah, hanya sementara." Clara bergumam seraya melanjutkan sarapannya. Ia merasa sedikit terganggu dengan ucapan Steven barusan.
Setelah mereka memakan sarapan, mereka pun lantas berangkat bersama ke perusahaan karena permintaan ayahnya Clara—Ben.
Di perjalanan, Steven dan Clara saling membisu. Mereka duduk saling berjauhan. Tidak ada yang memulai percakapan. Bahkan supir yang mengantar mereka merasakan kesunyian. Bukankah seharusnya pengantin baru itu terlihat romantis? Tapi yang dilihat sang supir tidak sesuai yang seharusnya. Dan ia akan melaporkan ini pada Tuannya.
Clara yang masih merasa hatinya tak tentu, memilih melihat ke arah jendela. Beda halnya dengan Steven yang menatap lurus kedepan dengan pikiran bercabang. Ia kembali membayangkan awal mula kejadian yang menimpa dirinya hingga terjebak dalam pernikahan terpaksa dengan Clara. Dimana ia bertemu dengan Clara pertama kali saat ia benar benar tidak berdaya. Mungkin bisa dibilang, Clara adalah penyelamatnya. Karena hanya Clara yang lihat saat ia kembali membuka mata setelah melalui masa krisis.
Flashback
"Tolong..." suara lirih Steven yang berada di pinggir pantai dengan pakaian yang penuh dengan darah, melilit tubuhnya. Kepalanya juga terluka namun Stevan masih terus berusaha mencari pertolongan saat kondisinya sudah diujung kematian. Mungkinkah akan ada yang menolongnya? Ia sedikit putus asa melihat dimana ia terdampar dengan keadaan yang memprihatinkan. Pulau ini nampak terawat, tapi tidak seperti berpenghuni. Pulau ini lebih mirip dengan pulau pribadi.
Steven berusaha merangkak ke dekat bebatuan besar di pinggor pantai. Ia melihat luka di sekujur tubuhnya akibat ledakan di tengah laut yang tidak terkira. Ia memegang kepalanya yang makin lama makin terasa sakit. Ia merasa sudah tidak bisa bertahan. Sambil melihat sekitar, ia masih terus bersuara. Tenggorokannya terasa kering meski sudah mengarungi lautan. Meski terasa sakit akibat ombak yang menghantamnya, ia merasa bersyukur karena sampai ke daratan meski harus dalam keadaan sekarat.
Ini sudah hampir masuk fajar. Ia berharap, akan ada seseorang yang melihatnya saat terang. Dan ia sangat berharap bisa selamat. Seketika saat matahari terbit sedikit, samar samar ia melihat seorang wanita yang tengah berlari ke arahnya.
"Clara!" teriak seseorang memanggil wanita yang berlari itu hingga membuat pergerakan ke arahnya berhenti.
"Clara," ucap Steven lirih menyebut nama wanita yang ia dengar dan sudah pasti akan menolongnya. Ia tersenyum sebelum akhirnya kesadarannya hilang sepenuhnya. Setidaknya ia bersyukur, Tuhan masih mengirimkan wanita itu untuk menolongnya.
Seorang wanita cantik yang hendak menikmati sunset, malah harus menemukan mayat laki laki di dekat bebatuan pinggir pantai. Menyelamatkan dan merawat pria itu tanpa peduli dengan identitasnya.
.
.
.
"Apa yang kau pikirkan, Stev?" ucap Clara membuyarkan ingatan Steven. Ia mengalihkan tatapamnya menatap Clara yang ternyata memulai percakapan dengannya.
"Aku hanya memikirkan tentang pertemuan pertama kita," jawabnya jujur.
Tapi justru jawaban jujur itu membuat Clara sedikit tersipu malu. Apakah suami sementaranya ini selalu memikirkannya?
"Untuk apa memikirkan hal yang sudah berlalu?" ucap Clara mengalihkan suasana.
"Aku hanya penasaran, kenapa aku tidak mengingat apa apa. Dan kenapa aku bisa terdampar di pantai saat itu," ungkapnya mengeluhkan sedikit pemikirannya pada Clara. Mungkin ada baiknya mereka membicarakan hal ini. Karena mungkin, ia akan mengingatnya secara perlahan.
"Jangan khawatir, kau akan mengingat semuanya. Tapi jangan dipaksakan. Itu akan membuat kepalamu kesakitan. Aku berjanji akan mencari tau lebih dalam tentang identitasmu, Stev."
"Ya, kau memang harus membantuku. Kita sudah sepakat untuk hal itu bukan?"
"Tenanglah, kau pasti akan mengingatnya perlahan. Tapi bersyukurlah karena di pakaian yang kau kenakan dulu, ada namamu tercantum dalam sebuah kartu," balas Clara mengingat kartu yang terselip di saku celana Steven yang justru sengaja ia buang agar tidak dilihat Steven. Dengan alasan hilang, Steven pun tidak menuntutnya untuk memberikan kartu yang tertera namanya itu.
"Yah, setidaknya dari namaku, kau bisa membantuku mencari tau identitas asliku."
"Hmm.... Seandainya tidak ada namamu, Kau tau apa yang akan terjadi?" tanya Clara yang tiba tiba memajukan kepalanya mendekat menatap Stevan.
Kening Steven mengeryit bingung. Apalagi melihat tingkah Clara yang sepertinya mencurigakan. Ia lantas berkata, "Memang apa yang akan terjadi?"
Clara menoel hidung Steven seraya berkata, "Mungkin aku harus memberimu nama Sapiiiiii.... Moooooo...."
Clara tertawa mengejek Steven. Hingga Steven ikut menarik hidung Clara. "Apa kau bilang? Kau ingin menyamakan suamimu dengan sapi?" ucapnya hingga membuat Clara minta ampun tapi masih tertawa. Ia menggelitik Clara hingga tawa nyaring memecahkan kesunyian di dalam mobil yang sempat terjadi tadi. Hingga gawa mereka terhenti ketila mobil juga ikut terhenti. Mereka pun segera keluar dan masuk ke perusahan karena Ben sudah pasti menunggu kehadiran keduanya.
Sementara Pak Supir hanya bisa bernafas lega saat menyaksikan pasturi itu bercengkrama. Sepertinya tidak ada yang harus ia khawatirkan. Tuannya pun pasti sudah menunggu kabar darinya.
.
.
.
"Bagaimana?" tanya pria bejas hitam pada seseorang yang ia telpon.
"Selalu awasi pergerakannya. Jangan sampai musuh mengenali!" perintahnya dengan tegas lalu dengan segera mematikan telponnya.
Pria itu menatap dan menggoyangkan gelas wine di tangannya. "Aset berharga harus di jaga. Tapi juga kadang harus dibuang karena membahayakan," ucapnya misterius seraya meminum winenya.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Saidil M🍇
smoga Clara bisa buat steven di terima
2023-10-11
0
Saidil M🍇
Tambah flashbacnya tor... masih ppenasaran asal mulanya jadi nikah
2023-10-02
0
Kiki.co.id
Ini musuh steven atau siapa sih?
2023-10-01
0