Clara memandangi Kakek Leon yang terbaring lemas di ranjang ruang rawat inap vip. Ia duduk di sofa bersama dengan ayah dan ibunya. Pikirannya entah ke mana. Hingga ia tersadar saat sang Ibu tiba-tiba bangkit dari duduknya.
"Aku harus memberi pelajaran pada menantu sampah itu! Pasti dia yang melakukan hal ini pada kakekmu," celetuk Ros pada Clara.
"Sudahlah, Bu. Aku yakin bukan dia yang melakukan itu," ucap Clara ragu. Ia hanya berusaha menenangkan ibunya.
"Tapi Clara, kau liat sendiri kan? Di ruangan kakekmu cuma ada suamimu itu!" seru Ros tidak terima.
Sementara Ben hanya bertopang dagu dengan menyilangkan kedua kakinya. Duduk dengan tenang di sofa itu tanpa mengambil pusing ucapan istrinya—Ros.
"Clara, jangan membela suamimu itu. Ibu yakin, kau juga pasti sepemikiran dengan Ibu! Iya kan?!"
"Tapi kita tidak bisa menyimpulkan tanpa bukti, Bu."
"Lihat, Clara! Lihat kakekmu terbaring lemah di ranjang pesakitan itu lagi! Dan saat itu kakekmu bersama dengan Steven. Menurutmu, buat apa pria sampah itu mendatangi kakekmu dini hari? Buktinya sudah jelas!" pekik Ros tertahan.
"Ibu! Sudahlah.... Jangan membuat keributan di ruang rawat Kakek. Sebaiknya kita tunggu Kakek sadar dulu," putus Clara. "Yah..." panggilnya pada Ben yang duduk di sampingnya.
"Kemarilah..." ucap Ben membuka kedua tangannya. Hingga Clara pun langsung menjatuhkan dirinya di pelukan sang Ayah.
Sementara Ros mendengus kesal melihat putri dan suaminya itu. "Ibu akan menunggu di luar. Panggil Ibu jika kakekmu sudah sadar," ucapnya seraya mengipas wajahnya dengan tangan. "Rasanya, di sini terlalu panas."
Ros langsung pergi meninggalkan Clara dan Ben tanpa menunggu jawaban mereka. Sementara Clara kembali mengingat perkataan dokter tentang keadaan kakeknya.
.
.
.
"Bagaimana keadaan kakek saya, Dok?" tanya Clara dengan raut wajah khawatir.
"Anda tenang saja. Tuan Leon dalam keadaan baik-baik saja sekarang," jawab Dokter itu tersenyum.
"Lalu mengapa kakekku bisa pingsan begitu?"
"Kakek anda meminum obat berdosis tinggi. Hingga mengakibatkan kesehatan jantungnya justru melemah. Seharusnya ia tidak mengkonsumsi obat dengan dosis yang tidak sesuai anjuran dokter. Hal ini justru menjadikan obat berubah menjadi racun bagi penggunanya," jelas sang Dokter yang mengenakan name tag bertuliskan Dr. Ruben.
"Lalu, kapan kakek saya akan sadar?"
"Tuan akan segera sadar. Kita hanya perlu menunggu. Untung saja, Tuan tidak terlambat di bawa ke rumah sakit. Hingga kami sebagai tim medis bisa menanganinya dengan cepat."
"Saya berterimakasih, Dokter Ruben. Kalau begitu... saya permisi akan ke ruangan kakek saya," pamit Clara.
"Jika Tuan sudah sadar, anda cukup menekan tombol merah di samping tempat tidur. Saya akan langsung memeriksa keadaan Tuan," ucap Dokter Ruben.
.
.
.
Sementara di ruang rawat lainnya, nampak Melody yang menatap sendu pasien yang ia tangani. Hanya ada merekan berdua di ruangan itu. Karena Dini yang mendadak ada urusan dan memintanya untuk memantau Steven.
"Clara..." lirih Steven dengan mata yang masih tertutup.
Mendengal ucapan Steven yang tidak terlalu jelas, membuat Melody mendekatkan kursinya lebih dekat dengan ranjang. "Steven?" panggilnya mencoba mengecek kesadaran pasiennya.
"Mel... Clara..." lirih Steven terlihat tidak nyaman dalam tidurnya.
Sementara Melody menegang di tempatnya saat sudah mendengar dengan jelas ucapan Steven. "Mel? Apa itu aku, Steven?" tanyanya. Namun yang ia ajak bicara justru kembali tertidur dengan tenang.
Jari telunjuk Melody bergerak menyentuh hidung Steven. "Kenapa kau tidak jadi sadar, Steven? Padahal aku ingin membalaskan perbuatanmu dulu padaku," ucapnya menggerakkan jarinya turun hingga ke dada Steven. "Apa yang ada di mimpimu, Steven? Apakah aku? Apakah kau menyebut namaku dalam mimpimu?" Ia tersenyum miris saat mengingat keadaan Steven.
"Tapi kenapa kau menyebut nama Clara? Siapa Clar—" ucapannya terputus kala melihat Dini yang ternyata sudah berdiri di depan pintu.
"Dokter Melody..." ucap Dini berjalan ke arah Melody dengan sesuatu di tangannya.
Melody segera menarik tangannya dengan wajah panik karena merasa tertangkap basah. Ia menarik nafas untuk mengontrol ekspresi wajahnya. "Ah... Dokter Dini, saya tidak menduga anda sudah kembali," ucap Melody canggung.
"Oh saya baru saja masuk. Maaf merepotkanmu, Dokter."
Melody yang mendengar itu tersenyum lega. Ia merasa bersyukur karena Dini tidak mendengar semua ucapan dan tingkahnya tadi. "Baiklah kalau begitu, saya permisi. Masih banyak yang harus saya tangani," ucapnya mengalihkan pembicaraan.
"Terimakasih, Dokter."
Melody segera beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkan ruangan itu. "Tunggu, Dokter." Suara Dini memanggilnya, tiba-tiba membuat Melody panik karena takut ketahuan.
Melody berbalik menatap Dini. "Iya?"
"Ini untuk anda," ucap Dini memberikan sebuah kotak makan. "Sudah hampir jam makan siang. Maaf menyita waktu anda," tambahnya tersenyum.
Melody mengambil kotak makan itu tanpa penolakan. Ia melakukan itu agar bisa cepar pergi dari ruangan itu tanpa harus berdebat.
.
.
.
Di ruangan Kakek Leon, nampak Clara yang begitu bahagia melihat pergerakan tangan kakeknya. Hingga mata pria tua itu terbuka.
"Kakek..." panggil Clara segera menghampiri kakeknya. Disusul Ben yang juga ikut mendekatkan diri.
"Aku akan memanggil Ibu. Ibu pasti senang karena Kakek sudah sadar," ucap Clara hendak pergi. Namun tangannya lansung dicekal Kakek Leon.
"Kenapa, Kek?" tanya Clara menatap Kakek Leon bingung.
"Biarkan ayahmu yang memanggil ibumu. Kau tetap di sini, Cucuku." Suara Kakek Leon terdengar sangat lemah.
Clara akhirnya mengurungkan niatnya untuk memanggil ibunya. Sementara Ben segera pergi dari ruangan itu setelah memencet bel pemanggil dokter.
"Clara..." panggil Kakek Leon lirih menatap Clara dengan wajah pucatnya.
Clara merapatkan tubuhnya mendekat karena merasa suara kakeknya terlalu kecil. Hingga ia kesulitan mendengarnya. "Iya, Kek. Clara di sini," ucapnya dengan bahagia karena kekeknya sudah sadar.
"Steven..." ucap Kakek Leon membuat Clara terdiam.
Clara menatap kakeknya seolah tidak mengerti kenapa kakeknya justru menyebut nama seseorang yang tidak ingin ia dengar namanya. Raut wajahnya berubah marah bercampur kesal. "Kenapa Kakek menyebut namanya?" ketus Clara.
Kening Kakek Leon membentuk lipatan. "Memangnya kenapa?" tanya Kakek Leon memastikan dugaannya.
"Tentu saja karena dia yang membuat Kakek bisa sampai pingsan. Aku tidak akan memaafkannya," ucap Clara penuh amarah.
Cletak
"Kakek!" pekik Clara tertahan saat merasakan tangan lemah kakeknya justru menyentik keningnya. Ia hanya bisa cemberut seraya mengelus keningnya.
"Kau ini kenapa menuduh orang tampa bukti?" ucap Kakek Leon ikut kesal dengan tindakan cucunya.
"Bukti sudah jelas, Kek. Aku melihatnya berada di tempat di mana Kakek pingsan. Aku bahkan melihat dia menyentuh tubuh Kakek," tutur Clara.
"Tapi itu bukan alasan yang konkret. Kau ini cucuku. Seharusnya jangan bersifat Impulsif dengan menuduh orang sembarangan tanpa tau kejadian aslinya. Kakek tidak mau tau, kau harus membawa suamimu itu ke hadapan Kakek. Kakek ingin bertemu dengannya," nasehat Kakek Leon memarahi cucunya itu.
Tapi tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan wajah panik supir pribadinya—Pak Supri. "Nona, suami anda tidak ada di kediaman!" ucapnya.
"Apa?"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
⋆⍣⃝కꫝena💯♡⃝ 𝕬𝖋🦄
makasih thor udah update hari ini banyakkk
2023-10-06
0
♡⃝ 𝓜𝓲𝓼𝓼 𝓐𝓭𝓮𝓵𝓲𝓪²²⁴🕊
alhamdulillah othor rajin up
2023-10-06
0
🚨 𝕽𝖎𝖋𝖆'𝖎 🚨
senengnya dua update. puas baca meskipun penasaran . jadi aku gift biar semangat update yah thore
2023-10-06
0