Steven terbangun dari tidurnya saat Dini datang dengan nampan berisi makanan dan obat-obatannya. Ini sudah pagi. Dan ia sudah merasa cukup baik saat ini. Terlebih ini sudah hari ketiga ia dirawat di rumah sakit. Hanya tidur, makan, dan tidur lagi.
"Makanlah dulu. Lalu jangan lupa minum obatnya," ucap Dini memberikan makanan itu.
Steven mengambilnya dan menelisik penampilan Dini yang sama seperti kemarin. "Kau akan pergi lagi?" tanyanya. Karena kemarin, Dini berpamitan pergi menemani Clara untuk mencari dirinya yang jelas-jelas ada di rumah sakit.
"Iya, begitulah. Kau tau? Clara tidak putus asa mencarimu. Dan Kakek juga menyuruhku menemaninya agar tidak membuat kegilaan. Ck, aku heran dengan Kakek. Kenapa Kakek tidak bilang saja yah, kalau kau di sini. Jadi aku kan tidak perlu repot menemaninya dari kemarin," gerutu Dini.
"Dini... Bukannya kau punya dua anak? Kenapa kau sibuk merawatku di sini dan mengurus Clara?" tanya Steven.
"Hehehe... Itulah tugasku. Aku memang bertugas merawat Clara. Nanti Kakek yang menggajiku," jawab Dini. "Anak-anakku kadang ikut bersamaku, Steven.Kadang juga bersama ayahnya. Lain kali, aku akan mengenalnya padamu."
"Bolehkah aku jalan-jalan keluar dari ruangan ini, Din? Aku ingin menghirup udara segar. Mungkin aku bisa ke taman rumah sakit," tanya Steven karena merasa bosan di kamar terus. Padahal ia sudah bisa berjalan. Mungkin ia bisa jalan-jalan ke taman rumah sakit, untuk menghilangkan rasa bosannya.
Dini sejenak berpikir. "Emm... Boleh deh. Lagian Kakek juga akan pulang hari ini. Jadi Clara gak mungkin melihat kamu di sini. Tapi kamu harus tetap hati-hati," jawab Dini yang diangguki Steven. "Kalau begitu aku pergi," pamitnya pergi.
Setelah kepergian Dini, Steven mulai memakan makanannya dan meminum obatnya. Kemudian bersiap pergi ke luar untuk menghirup udara segar. Kakinya bergerak keluar dari kamar dan berjalan melewati banyak orang.
Steven memperhatikan setiap orang yang ia lewati. Hingga ia akhirnya sampai di taman. Ia mendudukkan dirinya di kursi taman. Menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. "Ah... Akhirnya bisa menghirup udara ini," ucapnya sambil menutup mata. Ia merasa damai berada di taman. Kepalanya yang sering sakit, perlahan sudah tidak sakit lagi. Ia tersenyum tipis. Sangat tipis hingga jika ada yang melihatnya, orang itu tidak akan tau jika ia tersenyum.
Tak...tak...tak.... Suara langkah kaki di atas lantai, sedikit mengganggu pendengarannya.
Steven membuka matanya. Kemudian mencari sumber suara. Hingga ia bisa melihat di ujung koridor rumah sakit, terdapat seorang kakek tua dengan wajah panik sedang membopong seorang anak berlari ke sana kemari. Bahkan kakek tua itu terlihat membuat keributan hingga banyak perawat yang mulai menghampiri.
Kening Steven berkerut heran. Mengapa tidak ada yang menolong Kakek itu? Pikirnya. Ia pun mengikuti gerak hatinya untuk berdiri dan berjalan ke arah orang itu.
"Kenapa tidak ada yang menyelamatkan, Cucuku!" jerit kakek itu pada perawat di sampingnya.
"Maaf, Kek. Kita harus mengikuti prosedur rumah sakit. Cucu kakek harus menunggu terlebih dahulu, karena para dokter masih menangani pasien yang lain. Anda bisa meletakkan cucu kakek di brankar terlebih dahulu," ucap salah seorang perawat berusaha menenangkan.
Steven mengamati keributan itu. Kakinya sudah berhenti tidak jauh dari tempat kakek itu. Ia ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Sambil matanya memperhatikan kondisi anak yang digondong kakek itu.
"BAGAIMANA MUNGKIN TIDAK ADA SATU ORANG PUN DOKTER YANG BISA MENANGANI CUCUKU?! AKU SUDAH DARI TADI MELETAKKAN CUCUKU DI BRANKAR PESAKITAN SIALAN ITU! NAMUN APA YANG KU DAPAT? SELAMA 3 JAM KALIAN TIDAK BERTINDAK! PADAHAL BANYAK DOKTER YANG LALU LALANG, KESANA KEMARI. TAPI KENAPA? APA KARENA KAMI MISKIN?! HAH!" bentak Kakek itu dengan air mata di pipinya. Terlihat wajah tuanya sangat kecewa dengan prosedur rumah sakit. Padahal ia melihat banyak dokter yang senggang. Rumah sakit sepertinya membeda-bedakan seseorang menurut kasta.
"Kami minta maaf, Kek. Tapi itu sudah peraturan rumah sakit. Kalau anda tidak bisa menunggu, sebaiknya anda cari rumah sakit lain." Salah satu dokter datang dan mengatakan itu. Membuat sang Kakek semakin sedih. "Rumah sakit mana yang akan menerima orang miskin seperti kami, jika kaliam saja bersikap begini pada orang seperti kami..." lirih Kakek itu sungguh menyayat hati.
Sungguh kejam. Entah kenapa, kaki Steven bergerak menghentikan kakek itu yang akan berbalik meninggalkan rumah sakit. "Tunggu, Kek!"
Semua orang melihatnya. Berpikir kenapa seorang yang memakai baju pasien menghentikan kakek tua yang sudah membuat kegaduhan di rumah sakit. Bahkan dokter yang tadi tega berkata seperti itu, memandang Steven.
"Kenapa, Nak?" tanya Kakek itu pada Steven.
"Kalau tidak ada dokter yang mau membantu kakek, biar saya yang menangani cucu kakek itu." Steven menunjuk seorang pria yang berusia sekitar 9 tahun yang digendong kakek itu.
Sementara semua orang yang mendengar itu tercengang. Bahkan dokter tadi mulai tersenyum mengejek. Ia mencemoohnya sebagai orang gila. "Bagaimana mungkin, pasien menyelamatkan pasien," pikirnya.
"Apa kau yakin bisa, Nak?" tanya Kakek itu yang sepertinya sudah pasrah. Ia bersyukur ada yang memberikan tangan untuk membantunya.
Steven masih menatap intens pada anak itu prihatin. Entah mengapa, ia merasa memiliki kemampuan untuk mengobati anak itu. Ingatan kecil perlahan muncul mengisi otaknya. Namun sekarang kepalanya tidak sakit lagi ketika berusaha mengingat semakin dalam. Ia merasa tidak asing dengan suasana rumah sakit. Seolah rumah sakit memang tempatnya. "Aku yakin bisa," ucap Steven mantap membuat semua mata perawat dan salah satu dokter yang ternama Dr. Bromo terkejut.
"Kau jangan mengada-ngada! Bagaimana mungkin seorang yang memakai baju pasien, berusaha menjadi pahlawan. Dan berkata bisa mengobati orang?" seru Dr. Bromo dengan wajah sombongnya.
Steven baru saja ingin membalas ucapan Dr. Bromo. Tapi seseorang lebih dulu datang. Dan berkata, "Bukankah lebih baik seorang pasien yang berusaha membantu, dari pada seorang dokter yang hanya tau menghina tanpa mengobati pasiennya?"
"Dokter Melody!" ucap semua perawat terkejut dengan kehadiran wanita itu. Sementara Melody mengabaikan semua perawat dan berjalan ke arah Steven.
"Mari, Kek. Letakkan cucumu ke brankar ini," ucap Melody setelah mengambil brankar.
Kakek itu dengan patuh meletakkan cucunya di atas brankar. Kemudian Steven dan Melody mendorong brankar menuju ruang UGD. Tapi sebelum sampai, Steven mengucapkan sesuatu yang membuat Melody menatap Steven lebih dalam. "Terima kasih, Dokter Melody. Tapi aku benar-benar bisa mengatasi anak ini."
"Bagaimana mungkin, orang yang hilang ingatan bisa menangani pasien. Bukankah ucapan Dr. Bromo menjadi kenyataan?" batin Melody menatap Steven ragu.
Sadar dengan tatapan itu, Steven kemudian meneliti kembali anak di atas brankar itu. "Anak ini mengalami demam, ruam, mual, pembengkakan anggota tubuh dan perutnya kembung. Ini gejala penyakit nefritis interstisial. Nefritis interstisial ini terjadi akibat dampak dari alergi parah yang bersifat akut dan kronis. Selain itu, kondisi ini juga bisa disebabkan oleh reaksi buruk penggunaan beberapa jenis obat, seperti antibiotik dan obat antiinflamasi nonsteroid," jelas Steven membuat mulut Melody membola tekejut.
Melody terdiam dan tertinggal. Bahkan ia membiarkan Steven dan kakek itu mendorong brankar. "Oh astaga.... Dokter genius kembali..." gumamnya. yang menutup mulutnya tidak percaya. Setelah tersadar, ia pun langsung menyusul Steven.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
𝐀𝐝𝐦𝐢𝐧 𝐌𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭𝐨᷼𝐨𝐧
Kerennn
2023-10-08
0
♡⃝ 𝓜𝓲𝓼𝓼 𝓐𝓭𝓮𝓵𝓲𝓪²²⁴🕊
makin ke sini makin keren ..
lanjutkan aku menunggu kelanjutannya ya nanti aku gif kopi
2023-10-07
0
@✯⃟ 🕊ྂ༊ᶦᵇNona Admina M🍇🍷♡⃝
keren di sini menurutku ada konflik tapi tiba-tiba dia di situ karena konflik itu dia jadi ingat dia itu dokter jenius keren banget. lanjutt/Awkward/
2023-10-07
0