Di ruangan yang bernuangsa putih, Steven yang tertidur di ranjang karena pingsan akhirnya membuka mata. Ia menatap linglung orang-orang yang berada di ruangannya.
"Steven..." panggil Dini. "Akhirnya kau sadar. Leherku bisa dipenggal Kakek jika dia tau kau tidak sadarkan diri lagi. Kau ini bagaimana sih. Sebaiknya jangan terlalu memaksakan kondisi otak dan tubuhmu. Kau baru saja sembuh dari keracunan. Jangan sampai kau malah mengalami hal yang lebih parah," omel Dini.
Steven menatap mereka bingung. Bukan hanya ada Dini di ruanganya. Tapi ada Melody, Kakek yang cucunya ia selamatkan, dan Dr. Bromo?
Steven menyentuh kepalanya yang masih terasa sedikit sakit. Apalagi mendengar ocehan sepupu istrinya. Ia tidak mengerti kenapa semua orang ada di ruangannya. Karena yang terakhir ia ingat, ia begitu lelah menangani anak yang punya penyakit nefritis interstisial. Yaitu infeksi yang menyebabkan peradangan dan pembengkakan pada ginjal, tepatnya di antara tubulus ginjal. "Bisakah kau diam, Dini? Dan kenapa kalian semua di sini?" tanyanya pelan yang akhirnya bersua sambil menurunkan tangannya dari kepala.
Dini memanyukan bibirnya cemberut. Sementara Kakek yang cucunya ditolong Steven mendekatkan diri ke arah Steven seraya menyatukan kedua tangan di depan dada. "Nak... Kakek mengucapkan terima kasih karena kebaikan hatimu yang menyelamatkan cucuku," ucap Kakek itu dengan mata berkaca-kaca menahan haru.
Steven tidak menjawab. Pikirannya justru melayang memikirkan anak umur 9 tahun yang ia selamatkan. Matanya menatap Dokter Melody. "Bagaimana keadaan anak itu, Dokter? Apakah dia sudah sadar?" tanyanya pada Melody.
Melody mengangguk seraya berkata, "Dia sudah sadar. Dan sangat ingin bertemu denganmu. Tapi aku memintanya untuk tidak banyak bergerak dulu."
"Steven... Bagaimana mungkin kau bisa mendiagnosa pasien dengan cepat dan akurat?" celetuk Dini bertanya karena penasaran.
"Entahlah... Aku hanya mengikuti hati dan pikiranku," jawab Steven yang membuat Dini tidak habis pikir.
Steven kembali menatap kakek di sampingnya. "Kakek tidak perlu berterima kasih padaku. Ini semua berkat doa kakek pada cucu kakek. Hingga kami bisa menyelamatkannya," ucapnya dengan tangan yang bergerak melepas kedua tangan kakek itu yang menyatu.
"Kakek tetap berterima kasih padamu, Nak. Karena seandainya Tuhan tidak mengirimmu, Kakek tidak tau akan berbuat apa lagi dengan kondisi cucuku yang sudah krisis," tutur Kakek itu.
"Baiklah, Kek. Aku juga sarankan agar cucu kakek berhenti mengonsumsi obat yang jelas menjadi penyebab peradangan nefron. Jangan mengonsumsi obat pereda nyeri yang dijual bebas seperti aspirin, ibuprofen (Advil®, Motrin®), naproxen (Aleve®), atau obat lain yang dapat menyebabkan pengenceran darah seperti obat-obatan yang kakek beli dengan murah itu," ucap Steven membuat orang orang di sana makin terkejut dengan pengetahuan Steven tentang kedokteran.
Bahkan Dini yang memang sudah tau kondisi cucu kakek itu, terdiam di tempatnya. Ia tercengang dengan perubahan Steven yang awalnya tidak tau apa-apa, sekarang malah mengerti tentang pengobatan. Atau memang ia saja yang tidak tau kemampuan Steven seperti yang diceritakan Melody padanya saat Steven tidak sadarkan diri.
Sementara Dr. Bromo yang ada di sana semakin menunduk. Tidak sanggup menatap orang yang ia remehkan dan ia abaikan untuk ia tolong.
"Tapi, Nak. Kakek tidak punya uang untuk membeli obat-obatan mahal dan juga perawatan di rumah sakit terlalu lama," balas Kakek itu menampilkan wajah sendu.
Steven merasa iba dengan keadaan kakek itu. Orang miskin kebanyakan kesulitan berobat karena tidak memiliki uang.
Steven merasa masih beruntung. Karena saat ia sekarat, Tuhan berbaik hati mengirimkan wanita yang berkecukupan untuk menolongnya. Lalu bagaimana dengan nasib kakek di depannya jika mereka tidak bertemu?
Steven melirik ke arah Dini. "Dini..." panggilnya.
"Iya, Stev?"
"Apakah aku bisa menggunakan uang istriku untuk membiayai pengobatan cucu kakek ini?" tanya Steven justru membuat salah seorang di antara mereka terkejut.
Deg
"Istri?" gumaman pelan itu dari Dokter Melody.
"Tentu saja kau bisa menggunakannya, bahkan kau bisa menggunakan uangku juga. Karena kakek sudah berpesan padaku untuk memenuhi kebutuhanmu seperti anakku sendiri," jawab Dini yang ditambah candaan hingga melemparkan senyuman jailnya.
Steven menggelengkan kepala mendengar candaan Dini. Ia menghembuskan nafas lelah. Merasa tidak perlu menanggapi ucapan Dini. "Kakek sekarang tidak perlu memikirkan uang. Dokter Dini yang akan membantu Kakek," ucap Steven.
"Terima kasih banyak, Nak. Semoga Tuhan membalas semua kebaikanmu."
"Aku akan menemui cucu kakek nanti. Jadi tolong sampaikan padanya untuk istirahat yang cukup," ucap Steven.
"Baik, Nak. Sekali lagi terima kasih. Kalau begitu Kakek pamit—" ucapan Kakek itu di potong oleh Dr. Bromo yang sedari tadi hanya diam.
"Jangan pergi dulu, Kek. Karena saya ingin meminta maaf pada Kakek," ucap Dr. Bromo cepat. Ia menundukkan kepalanya pada kakek itu.
Kakek itu menatap Dr. Bromo seraya menghampirinya. Ia menepuk pundak Dr. Bromo seraya berkata, "Aku memaafkanmu anak muda. Tapi lain kali, jadikan ini sebagai pelajaran. Kau mungkin dokter berbakat. Tapi bakat itu tidak akan berkembang jika kau tidak mengasahnya dengan membantu orang lain. Sebagaimana tugas seorang dokter." Setelah mengatakan itu, Kakek itu pergi peninggalkan ruangan yang kini menyisakan Dr. Bromo, Steven, Dini, dan Melody.
Dr. Bromo kini menatap Steven. Kemudian menundukkan kepalanya sebagaimana ia meminta maaf pada kakek tadi. "Saya minta maaf juga pada anda. Maaf karena menghina dan meremehkan anda," ucapnya pada Steven yang kini menaikkan satu alisnya.
Steven menatap Dr. Bromo dengan heran. Bagaimana mungkin, pria sombong yang menghinanya kini datang untuk meminta maaf? Ia menatap Melody dan Dini mempertanyakan tindakan Dr. Bromo.
Seolah mengetahui keheranan Steven, Dini mendekat ke telinga Steven. Kemudian membisikkan sesuatu pada Steven. "Dia hampir dikeluarkan oleh pihak rumah sakit karena masalah kalian. Jadi dia minta maaf untuk menghindari itu. Karena jika dia minta maaf... dan kau memaafkannya, maka dia hanya kena sanksi skorsing," bisik Dini membuat Steven mengangguk paham.
Skorsing adalah menghentikan untuk sementara waktu (dari jabatan, keanggotaan suatu perkumpulan, dan sebagainya).
Steven menatap Dr. Bromo yang rela menunduk agar tidak dikeluarkan dari rumah sakit. Padahal pria itu tadinya begitu sombong saat menghinanya dan menghina kakek yang ia tolong. Beruntungnya, Kakek itu memaafkan kelakuan Dr. Bromo. Lalu bagaimana dengannya? Ia tersenyum tipis melihat kejadian ini. Satu persatu, orang yang menghinanya harus menundukkan diri padanya.
"Kalau permintaan maafmu tulus, aku mungkin memaafkanmu. Tapi apakah ada yang bisa menjamin? Kau tidak akan menghina orang lain lagi hanya karena jabatanmu yang seorang dokter? Kau terlihat tidak kompeten sebagai seorang dokter," ucap Steven tajam hingga membuat lawan bicaranya yang menunduk kini menatap Steven. "Tapi kesempatan kedua itu ada. Jadi tenang saja... aku akan memaafkanmu, Dokter Bromo. Seperti kata Kakek tadi, jadikan ini pembelajaran. Semoga masa skorsingmu menyadarkanmu untuk menjadi dokter yang lebih baik," sambung Steven.
Dr. Bromo tidak menduga hal itu. Ia pikir, Steven akan bersikukuh untuk tidak memaafkannya. Ia pun akhirnya semakin menundukkan kepalanya. "Terima kasih atas kemurahan hati anda. Saya minta maaf atas semuanya dan akan memperbaiki diri sebagai seorang dokter," ucap Dr. Bromo tulus. "Kalau begitu saya pamit, Tuan."
Steven mengangguk membuat Dr. Bromo mulai meninggalkan ruangan dengan perasaan kagum. "Dokter genius yang baik hati," batin Dr. Bromo.
.
.
.
Pengen up lagi? Komen yah😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Saidil M🍇
Udah bayangin Steven keren
2023-10-08
0
@✯⃟ 🕊ྂ༊ᶦᵇNona Admina M🍇🍷♡⃝
Aaa... thor Clara mana. masih kyk orgil kha
2023-10-08
0
𝐀𝐝𝐦𝐢𝐧 𝐌𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭𝐨᷼𝐨𝐧
cuma bisa bilang. ini keren. gue jadi tau ada penyakit kayak gitu dan saran dokternya
2023-10-08
0