Di dalam mobil, Steven hanya melamun. Entah mengapa ingatannya selalu bergulir pada kejadian antara pertemuannya dengan Clara saja. Ia benar-benar melupakan kejadian sebelum bertemu Clara. "Sudah satu minggu setelah aku pindah ke kediaman istriku. Tapi ingatan masa laluku belum juga muncul," keluhnya dalam hati.
Steven kembali mengingat kejadian saat ia tersadar setelah berusaha mengingat namanya. Bibirnya seketika tersenyum mengingat kenangan malam itu. Dimana ia mengetahui namanya. "Steven. Mungkin aku harus mengasah ingatanku agar ingatan lamaku perlahan muncul kembali," batinnya.
.
.
.
Flashback on
"Makanlah dulu," ucap Clara tersenyum manis di depan pintu, saat melihat Steven akhirnya sudah siuman kembali sedang terduduk di sandaran ranjang. Ia masuk membawa nampan berisi makanan berjalan ke atah Steven. Sudah pasti Steven kelaparan karena dua hari tidak sadarkan diri.
"Kau yang menolongku kan?" tanyanya saat melihat Clara menyodorkan makanan itu untuknya.
"Tentu saja. Menurutmu, siapa yang akan menolongmu jika bukan aku? Apakah kau melihat orang lain selain aku di sini?" ucap Clara tersenyum bangga bangga.
"Entahlah," balasnya singkat seraya mengambil piring yang berisi makanan itu. Ia memang hanya melihat Clara dari awal ia membuka mata. Bahkan tidak terlihat jika tempat yang ia tempati ini memiliki penghuni lain selain Clara.
"Makanlah yang banyak, Steven." ucap Clara yang sengaja menyebutkan nama pria itu untuk mengetes seberapa jauh ingatan yang hilang.
Steven tersentak dan menghentikan tangannya yang hendak menyuapkan makanan itu. Ia menatap Clara bingung. Apa tadi yang diucapkan wanita ini? Steven? Apakah itu namanya? Ia memang merasa tidak asing dengan nama itu. Tapi apakah itu namanya? Ia merasa benar-benar terlihat bodoh di depan Clara saat ini. "Kau bicara padaku, Clara?" tanyanya menyakinkan pemikirannya.
"Lalu menurutmu, siapa yang aku ajak bicara jika bukan padamu? Hantu? Mana ada hantu di dunia ini," balas Clara sedikit bercanda.
"Apa namaku Steven?" tanyanya mengernyitkan keningnya merasa ragu.
"Hehehe..." Clara tertawa kecil, menunjukkan wajah cantiknya yang terdapat satu lesung pipi di sebelah kanan pipinya. Ia menepuk pelan pundak Steven. "Itu jelas namamu, Steven. Kau tidak perlu memaksakan ingatanmu. Karena kata dokter, itu akan menyakitimu. Ingatan itu akan perlahan muncul kembali. Jadi tenanglah dan makanlah sekarang," jawab Clara.
"Tapi dari mana kau tau itu namaku? Meski aku merasa tak asing dengan nama itu, tapi aku sendiri melupakan namaku." Steven mengutarakan pertanyaan yang membuatnya bingung.
Clara mengangguk-anggukkan kepalanya mulai paham dengan kondisi Steven. Ia merasa Steven sama sekali tidak mengenali identitasnya. Itu artinya, rencananya bisa dengan mudah ia laksanakan. Tapi pemikiran Steven sepertinya sangat krisis. Bahkan dalam keadaan hilang ingatan pun, Steven banyak mempertanyakan banyak hal. Mungkinkah pria di depannya ini bukan sembarangan orang? Apalagi wajah Steven yang tampan. Tapi Clara menggeleng menepis pemikiran itu.
"Steven.... Aku tau namamu setelah menemukan kartu namamu yang terselip di saku celanamu. Itu satu-satunya petunjuk jika namamu adalah Steven. Kau benar-benar dalam keadaan kritis saat aku menemukanmu," ungkap Clara.
Setelah mendengar itu, Steven hanya mengangguk mengerti. Setidaknya ia mengetahui namanya siapa. Ia tersenyum ke arah Clara karena merasa beruntung diselamatkan oleh wanita cantik ini. Bahkan saat ia melupakan identitasnya, wanita itu masih mau merawatnya. "Terima kasih sudah menyelamatkanku, Clara. Kalau boleh tau, berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanyanya membuyarkan lamunan Clara yang merasa terpesona dengan ketampanan Steven.
"Dua hari," jawab Clara singkat seraya berdiri untuk menjaga jarak dengan Steven. Ia berjalan ke arah sofa. Mendudukan dirinya di sana dengan mata yang tidak lepas dari Steven yang mulai menyantap makanannya.
"Apa tidak ada orang di sini selain kamu, Clara? Apa orang tuamu tidak keberatan dengan keberadaanku di sini?" tanyanya merasa sangat aneh karena ia sudah sadar cukup lama tapi hanya melihat Clara. Bukankah saat ia kehilangan kesadaran, ia melihat orang lain?
"Tidak. Aku tinggal sendiri di sini."
"Kenapa kau tidak tinggal dengan orang tuamu?"
Clara menggaruk tengkuknya. Ia merasa sedang berbicara dengan anak kecil yang banyak bertanya karena keingintahuan. Bahkan ia merasa diintrogasi. "Kenapa dia cerewet sekali," gerutunya dalam hati. "Aku sedang berlibur saja," jawabnya asal.
"Ooo..." Steven mengangguk peham. "Apa kau memasak makanan ini sendiri, Clara? Ini sangat enak," ucap Steven lagi yang masih menikmati makanannya dengan lahap.
Clara yang mendengar hal itu merasa senang. Ia tersenyum seraya berkata, "Kalau enak, makanlah yang banyak. Lalu istirahat, ini sudah malam. Aku juga akan keluar."
"Kau akan pergi ke mana di luar?" tanya Steven menghentikan kunyahannya.
"Aku ada urusan di luar."
"Apa aku boleh mengelilingi villa mu ini?" pinta Steven yang merasa butuh berjalan jalan setelah tersadar.
Clara berfikir itu bukan hal yang buruk. "Boleh setelah kau meminum obatmu. Dan jangan terlalu lama, Steven. Kau membutuhkan waktu istirahat yang cukup."
"Baiklah... Aku akan meminumnya. Terima kasih," ucap Steven tersenyum seraya melanjutkan melahap makanannya.
"Aku pergi dulu," pamit Clara meninggalkan Steven yang memang sudah terlihat pulih dan tidak memakai selang infus lagi karena sudah dilepas Dini.
Setelah Steven meminum obatnya, ia lantas beranjak keluar kamar. Meneliti villa yang ia tempati. Ia menelisik ruangan yang ada di villa ini. Tidak lama, hanya beberapa menit ia mengelilingi dalam villa itu. "Hanya ada sofa kecil di ruang tamu. Dan satu kamar?" gumamnya berpikir.
Setelah melihat keseluruhan isi villa, ia menyimpulkan bahwa hanya ada satu kamar di sini. Villa ini terlihat kosong. Lalu Clara tidur di mana? Itu lah yang ia pikirkan. Mungkinkah Clara tidur di sofa kecil ini karena merawatnya? Bukankah itu membuat badan pegal, apalagi ia baru sadar setelah dua hari.
Steven memilih kembali ke kamar. Ia bisa melihat di dalam kamar yang ia tempati ada satu sofa panjang di dekat jendela. Ia berjalan ke arah jendela dan menyibak tirainya. Di balik jendela, ia bisa memandangi langit yang sudah menggelap di luar sana. Pandangannya terfokus pada hamparan laut yang penuh deburan ombak. Villa ini berada di dekat pantai. Ia lantas menutup kembali tirak itu seraya berjalan mundur dan mendudukkan dirinya di atas ranjang.
"Syukurlah aku selamat. Entah apa yang terjadi padaku hingga terdampar di pinggir pantai dalam keadaan mengenaskan. Tapi aku merasa beruntung kerena diselamatkan Clara," ucapnya tersenyum penuh haru. Ia mulai merebahkan tubuhnya ke ranjang memilih untuk beristirahat karena luka di tubuhnya yang masih terasa sakit.
"Jika aku mengingat identitasku nanti, aku akan membalas kebaikanmu Clara. Sekarang aku hanya bisa pasrah dengan ingatan yang hilang. Kuharap Clara mampu membantuku lagi," ucapnya seraya menutup matanya karena merasa sudah sangat mengantuk. Mungkin ini juga efek obat yang ia minum. Tak menunggu waktu lama, ia pun tertidur.
.
.
.
"Tuan, kita sudah sampai." Lamunan Steven buyar setelah mendengar ucapan Pak Supri.
Steven segera membuka pintu mobil dan lantas beranjak keluar. Ia bisa melihat kediaman yang besar di depan matanya. Kakinya perlahan berjalan memasuki kediaman Mayer. Saat sampai di dekat taman, ia melihat sudah ada Dini di sana bersama dengan Kakek yang duduk di kursi roda. Langkahnya terhenti ketika mengingat bagaimana Kakek jatuh sakit hanya karena kejadian waktu itu. Ingatan itu perlahan memenuhi otaknya.
.
.
.
BRAK
Pintu terbuka lebar menampilkan raut amarah pria paruh baya dan seorang kakek. Suara berisik itu terpaksa membangunkan dua pasang manusia yang sedang berpelukan dibalik selimut.
"Clara!!!" teriak sang Kakek sambil memegang dadanya yang terasa sakit. Sementara yang dipanggil segera terduduk dengan selimut yang menutupi dadanya yang tidak mengenakan pakaian sama sekali.
"Apa yang kalian lakukan?!" tambah pria paruh baya di samping sang Kakek penuh amarah. Apalagi melihat ayahnya kesakitan menyaksikan kelakuan cucunya yang kabur dari rumah selama seminggu ini.
"Nikahkan mereka, Ben!" putus sang Kakek yang memilih meninggalkan kamar itu karena tubuhnya melemas dan jantungnya berdenyut sakit.
"Kakek!" teriak Dini yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan sang Kakek yang mulai limbung.
.
.
.
"Aaaa... " teriak Steven merasakan nyut-nyut di kepalanya. Matanya berkedip menahan sakit dengan nafasnya tersengal. Bersamaan dengan ingatan dimana ia melihat Kakek mertuanya pingsan, Steven merasa ada ingatan lain yang mengusik otaknya. Menerobos hingga membuatnya mengerang kesakitan. "Akhhh..." erangnya.
Steven merasa melihat dirinya sendiri yang berlari menolong kakek-kakek yang bersimbah darah. Kepalanya terasa semakin sakit. Ia memengang kepalanya, berusaha untuk tetap sadar. Apakah ini karena ia terlalu banyak mengingat kejadian lampau? Tapi ingatannya hanya berputar tentang kejadian yang ia alami setelah hilang ingatan bukan? Ia terjatuh ke tanah hingga membuat semua orang sekitarnya mulai memperhatikan keberadaannya.
Samar-samar Steven mendengar seseorang meneriaki namanya. Sepertinya itu adalah dokter yang menanganinya penyakitnya. Tapi sebelum ia bisa melihat orang itu, kepalanya sudah terasa seperti dihantam batu. Hingga yang ia lihat hanya kegelapan.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
⋆⍣⃝కꫝena💯♡⃝ 𝕬𝖋🦄
beh jadi ini yang bikin keputusan... mereka kedapatan nganu yah tor
2023-10-02
0
⋆⍣⃝కꫝena💯♡⃝ 𝕬𝖋🦄
Kayaknya ini kakeknya yaang sakit yang di part 4 deh yang kata ben sakit makanya dia gak ke rumah karena ngurus kakeknya clara
2023-10-02
0
🦋⃟ℛ★🦄ᴢᴜʟᴀɪᴋᴀ🐣🦇ᴬ∙ᴴ N⃟ʲᵃ࿐
untung dia dapat kartu nama yah... hampir di kasi nama sapi betulan
2023-10-02
0