BHUK... BHUK...
"Aaaa..." teriak Steven seraya memukul dinding batu untuk menyalurkan semua emosinya hingga membuat tangannya yang terkepal mengeluarkan darah. Wajahnya memerah, ia membalikkan tubuhnya membelakangi dinding batu itu. Matanya memancarkan dendam yang mendalam saat mengingat hinaan demi hinaan yang ia dapatkan selama seminggu ini. Tidak hanya dari ibu mertuanya, para karyawan, bahkan sekarang ayah mertuanya yang terlihat baik di depan Clara.
Steven sekarang berada di delakang kantor. Tempat yang memang jarang di datangi orang kantor. Hanya ada ia di sana. Dan saat ini, ia menyandarkan dirinya di dinding yang terdapat bekas darahnya. "Cih, kalian menghina seolah kalianlah yang paling mulia." Nafasnya tersengal menahan emosi. Ia lantas mendudukkan tubuhnya ke lantai.
"Clara..." ucapnya menyebut nama istrinya seraya tersenyum miris. "Aku tidak akan lupa bagaimana aku pertama kali melihatmu dengan jelas," tambahnya menatap langit biru seraya mengingat kembali hari yang telah lalu. Dimana Clara pertama kali mengenalkan namanya. Matanya perlahan menutup mengenang moment itu.
.
.
.
.
Flashback On
Burung berkicau di balik jendela yang tertutup, namun dengan tirai yang sudah terbuka. Sang surya tampak menyilaukan ruangan yang memiliki suhu ruang adem karena ac. Di balik jendela itu, ternyata sebuah kamar dimana seorang pria tampan dengan berbalut perban di kepalanya terbaring di ranjang. Ia nampak mulai bergerak.
Pria itu adalah Steven. Ia membuka matanya perlahan. Namun cahaya matahari menyilaukan membuatnya sedikit mengerjap. Tangannya bergerak memegang kepalanya yang terasa ngilu. Badannya juga teras sangat sakit. "Asshhh," rintihnya saat berusaha untuk mendudukkan tubuhnya dan bersandar di sandaran ranjang.
Steven menatap sekelilingnya sedikit linglung. Terlihat lipatan di keningnya. Di mana sebenarnya ia sekarang ini? Ia sama sekali tidak mengingat apa pun. Dan saat ia mencoba mengingat, justru kepalanya terasa sangat sakit. Ia menutup matanya dengan masih bersender seraya menengadahkan kepalanya menghadap ke langit langit kamar. Setelah ia merasa agak baik, perhatiannya sekarang pada pakaian yang ia kenakan. Tangannya perlahan menyibak baju yang ia kenakan. Ia menatap luka bakar di tubuhnya dan beberapa bagian seperti bekas sobekan benda tajam. "Ada apa sebenarnya denganku? Bagaimana aku bisa mendapatkan luka sebanyak ini?" tanyanya pada dirinya yang sangat bingung.
Ceklek...
Pintu kamar itu terbuka menampakkan siluet wanita yang semakin lama semakin jelas. Steven mengalihkan perhatiannya ke arah pintu dan menutup kembali tubuhnya dengan selimut. Tatapannya semakin intens saat melihat dengan jelas sosok yang menampakkan wajah terkejut. Mata mereka saling bertatapan hingga wanita itu dengan tergesa gesa berjalan ke arahnya.
"Kau sudah sadar?" tanya wanita itu yang sepertinya terlihat lega mengetahui ia telah sadar.
Sementara Steven hanya mengangguk. Membuat wanita itu meneliti lukanya dari mulai kepalanya yang terbalut perban hingga akan membuka bajunya. Namun ia segera menahan tangan itu sebelum berhasil menyibak bajunya. Karena ia sangat tidak ingin memperlihatkan lukanya yang cukup mengerikan pada wanita ini. "Kau yang—" suaranya terputus saat ia melihat wanita itu justru dengan cepat mengambil gelas berisi air dan mengulurkan ke arahnya.
"Minumlah dulu. Kau pasti sangat kehausan," balas wanita itu setelah memberikan segelas air yang langsung diminumnya.
Tatapan Steven tidak lepas dari wanita itu. Bahkan saat ia minum dan setelah minum. Suaranya memang terdengar sangat serak. Mungkin itu yang membuat wanita di depannya langsung memberinya air. Entah sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Hingga terbangun di tempat yang asing dengan wanita cantik di depan matanya.
"Bagaimana perasaanmu? Apa masih sakit?" tanya wanita itu seraya mengambil gelas minum yang diserahkan Steven.
"Kamu siapa?" balasnya dengan balik bertanya.
"Hm... Clara. Namaku, Clara Elrumy Mayer." Clara memperkenalkan dirinya sambil menyodorkan tangannya ke arah Steven dan tersenyum manis.
Steven yang mendengarnya, tiba-tiba teringat sosok siluet wanita yang berlari ke arahnya saat ia terbaring mengenaskan di batu pinggir pantai. Matanya semakin menatap Clara. Ia bahkan mengabaikan tangan wanita itu yang masih menunggu uluran tangannya. "Kau—" lirihnya. Wanita itu yang menyelamatkannya. Ia sangat ingat mendengar nama itu diteriakkan sebelum ia menutup mata.
"Kau tidak ingin menyambut tanganku dan memperkenalkan namamu juga? Tanganku terasa pegal," keluh Clara yang membuyarkan lamunan Steven. Bibirnya mengerucut kesal melihat pria tampan di depannya itu.
Segera Steven menyambut uluran tangan itu sebelum ia menyinggung perasaan wanita yang menolongnya. "Aku—" ucapnya terputus ketika merasa melupakan namanya. Siapa namanya? Kenapa ia bisa melupakan namanya begitu saja? Bahkan kepalanya terasa ngilu saat ia berusaha mengingatnya. Hal itu membuat Steven menarik kembali tangannya dan menekan kepalanya yang lambat laun terasa semakin sakit.
"Akhhh..." jerit Steven.
Hal itu membuat Clara panik. Apalagi melihat bulir keringat sudah membasahi pelipis Steven. "Eh... Kau kenapa? Astaga...." Clara mencoba membaringkan Steven. Setelah berhasil, ia segera berdiri. "Tunggulah sebentar, aku akan memanggil dokter." Setelah mengatakan itu, ia berlari ke arah pintu dan berteriak. "Dini! Cepatlah kemari! Pria itu sadar dan kesakitan!"
Steven mendengar teriakan itu, tapi kepalanya justru membuatnya tidak bisa melihat apa yang Clara lakukan di sana. Hingga ia merasa seseorang datang bersama Clara dan menyuntikkan sesuatu di lengannya. Perlahan ia merasa sakitnya berkurang dan kesadarannya pun mulai menghilang.
.
.
.
Steven tersadar dari lamunannya saat seseorang menempelkan air dingin ke pipinya. Ia membuka matanya seraya melihat sebuah tangan terulur sedang menempelkan air mineral dingin di pipinya. Ia mendongak menatap sang pemilik tangan yang ternyata adalah Clara.
"Mengapa tertidur di sini? Apakah kau tidak punya kerjaan lain selain tidur? Kau bisa ke ruanganku jika ingin tidur," ucap Clara seraya berjongkok menyamakan dirinya pada posisi Steven.
Steven menarik nafas dalam sebelum menjawab, "Aku hanya merasa sedikit pusing. Mungkin karena tidak terbiasa berada di perusahaan." Ia beralasan seperti itu, karena tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana mungkin ia menghancurkan hubungan ayah dan anak? Ada baiknya ia menyembunyikan kejadian dimana ayah mertuanya menghinanya.
"Kenapa tidak bilang? Seharusnya kau ke ruanganku tadi. Sebaiknya minumlah dulu," balas Clara membuat Steven segera meminum air dingin yang diberikan Clara.
"Terima kasih," ucapnya. Sepertinya ia memang butuh air dingin untuk memadamkan emosinya. Tangannya dengan segera membuka air mineral itu dan langsing meminumnya.
"Sebaiknya kau pulang duluan dengan Pak Supri. Aku akan panggilkan Dini untuk mengecek keadaanmu," pinta Clara yang dibalas anggukan kepala Steven.
Steven merasa ia hanya bisa menurut saat ini. Dengan segera, ia berdiri dan berjalan untuk mencari supir yang akan mengantarnya pulang sesuai pinta Clara. Ia pun meninggalkan Clara sendiri di sana.
Sementara Clara melihat punggung lebar milik Steven yang lambat laun hilang dari pandangannya. Tangannya pun segera mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan pada Dini.
"Din, tolong periksa keadaan Steven di rumah." Setelah mengirimkan pesan, Clara menutup ponselnya. Ia mengingat kembali percakapannya terakhir kali dengan Dini.
.
.
.
Melihat Steven yang sudah tenang dan bahkan tertidur, Clara menunjukkan wajah khawatir. Matanya beralih ke sosok yang menyuntikkan cairan yang membuat pria yang tadi sudah tersadar kembali tidak sadarkan diri lagi. "Dini, ada apa dengannya? Kenapa kau membuatnya tidak sadarkan diri lagi," ucapnya pada wanita di samping Steven yang tengah mengecek luka Steven.
"Clara, ada yang harus ku sampaikan padamu." Dini mengalihkan tatapan serius ke arah Clara. Ia berdiri dan mengajak Clara duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat itu.
"Ada apa? Pria itu baik-baik saja kan? Apa aku melukainya?" tanya Clara yang takut jika sikapnya justru menyakiti pria itu.
"Justru aku bisa menarik kesimpulan dari ceritamu tadi," balas Dini.
"Apa maksudmu, Din?"
"Pria itu, hilang ingatan."
"What? Benarkah? Kenapa kau baru bilang sekarang? Berarti aku yang menyakitinya karena berusaha menanyakan namanya," ucap Clara merasa bersalah. "Seharusnya kau memberitahuku kemarin-kemarin," tambahnya menyalahkan Dini.
"Kenapa kau justru menyalahkanku? Bukankah aku berkata bahwa kita akan tau setelah pria itu sadar?" ucap Dini tidak terima disalahkan.
"Tapi tetap saja aku merasa bersalah. Kau ini kan dokter, kenapa harus menyimpulkan penyakitnya sangat lama? Bukankah kau sudah memeriksanya sendiri kemarin?"
Cletek
"Ck.... Aku memang seorang dokter. Tapi bukan berarti aku tidak membutuhkan pertimbangan untuk menyimpulkan penyakit pasienku yang masih tidak sadarkan diri," gerutu Dini seraya menyentil dahi sepupunya itu. Selalu saja sepupunya itu meremehkannya. Padahal ia yang selalu ada untuk sepupunya itu dari pada sahabat yang justru menusuknya dari belakang.
"Iya, iya. Kamu dokter yang sangat profesional," balas Clara mengelus keningnya. "Jadi, kapan pria itu akan sadar lagi?" tanya Clara seraya menatap pria yang terbaring dengan damai di atas kasur.
"Tidak akan lama lagi. Sebaiknya kau tidak menanyakan namanya lagi. Bukankah kita sudah tau namanya dari kartu yang ada di saku celananya itu?"
"Yah, Steven. Aku hanya penasaran dengan nama belakangnya. Kartu itu hanya penggalan nama saja. Aku bahkan tidak yakin, itu namanya." Setelah menemukan Steven di pinggir pantai, Clara dan Dini memang segera membawa Steven ke villa Clara. Mereka merawatnya di sana. Bahkan mereka sudah mengecek pakaian yang dikenakan Steven hingga menemukan kartu yang bertuliskan sepenggal nama Steven.
"Sekarang lupakan tentang pria itu," ucap Dini membuat perhatian Clara teralihakan pada tatapan serius Dini. Clara terdiam menunggu Dini melanjutkan ucapannya.
Dini menarik nafas panjang sebelum bertanya, "Pertanyaanku, sampai kapan kau akan bersembunyi di villa ini? Kau harus keluar, Clara. Buktikan pada Riyan kalau kau bisa hidup tanpa pria brensek yang taunya berselingkuh dengan sahabatmu itu." Ada sedikit emosi di setiap ucapannya. Ia tidak terima melihat sepupunya dikhianati oleh sahabat dan pacarnya.
"Kau tenang saja, Dini. Aku sudah memiliki rencana untuk mereka semua. Aku hanya perlu menenangkan diriku lebih lama di sini," balas Clara tersenyum penuh arti.
"Jangan bilang, kau akan menerima perjodohan yang dilakukakan Tante Ros antara kau dengan Om Bagaskara?" ucap Dini yang terkejut saat mengartikan senyuman Clara.
Plak
Clara dengan cepat memukul lengan Dini. "Kau ini bicara apa, Din? Aku mana mungkin mau dengan Om itu. Lagian itu juga alasanku masih di sini. Kabur dari permintaan Ibu dan Ayahku yang sungguh tidak masuk diakal," gerutu Clara.
"Sabarlah, Clara. Aku akan selalu mendukungmu asal kau tidak melakukan hal-hal di luar batas. Aku yakin kau bisa melewati semua ini." ucap Dini memberi dukungan.
Clara segera memeluk Dini karena terharu. "Terima kasih, Dini. Kau memang sepupuku yang terbaik. Sayang, kau sudah menikah. Mungkin aku akan menikah denganmu saja, jika belum."
"Jangan aneh-aneh, Clara. Aku masih wanita normal," kesal Dini melepaskan pelukan itu.
"Lagian aku heran kenapa Ayah dan Ibu lebih memilih menjodohkanku dengan om-om hanya untuk memajukan nama perusahaan," keluh Clara.
"Sudahlah, Clar. Tenangkanlah dirimu di sini selama mungkin. Aku pamit pulang dulu. Jika dia sadar, sebaiknya berikan obat yang aku sudah siapkan di dalam nakas itu," ucap Dini menunjuk nakas samping ranjang Steven.
"Huh, untung kau ada di sini saat pria itu sadar. Aku tidak akan tau seperti apa jika kau tidak ada." ucap Clara bersyukur akan kehadiran sepupunya itu. "Datanglah lagi nanti," tambahnya.
"Pasti. Aku pamit, Clara. Jaga dirimu," balas Dini yang di balas anggukan Clara.
Setelah kepergian Dini, Clara berjalan dan duduk di sisi kosong samping ranjang Steven. "Sadarlah, dan bantu aku. Aku sudah membantumu juga kan, Steven." Clara tersenyum penuh arti seraya mengelus kepala Steven. Ia sudah mempunyai susunan rencana di kepalanya. Entah kenapa ia sangat sedikit bahagia mengetahui pria itu kehilangan ingatan. Mungkin terlihat aneh, tapi sungguh ia merasa memiliki semangat hidup lagi setelah kehadiran pria itu.
.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ayunda😘
Setelah hilang ingatan, steven gak pecicilan yah wkwk
2023-10-02
0
Tita^S
Aku nunggu lanjutan flashba nya sampai alasan mereka kok bisa nikah
2023-10-02
0
Mulan Rindu🦋
untung up dua part.... lanjut thor semangat
2023-10-02
0