PdAS16. Tidak dapat izin dari ayah

"Ibu empat puluh limaan keknya, adik masih SMP." 

"Tapi kata dokter Kaf, kalau aku datang lagi artinya aku mau kalian untuk buka kasus tentang penculikan kau. . Bisa pulang aja, apalagi sampai diantar, aku udah terima kasih betul. Kau punya kehidupan lain, aku dan keluargaku juga," lanjutnya karena aku masih terdiam. 

Baiknya kembali ke setelan pabrik saja, seolah aku tidak pernah mengenal Rai dan sebelumnya. 

"Ehh, astaghfirullah…. Panik, Dek. Kirain ke mana." Kaf tiba-tiba masuk, kemudian mengusap-usap dadanya. 

Ia memiliki trauma aku pergi kembali. 

"Ada, Kaf. Ini Akandra rewel betul." Mama Aca masih menimang cucunya. 

Sepertinya bang Chandra tidak akan berhenti memiliki anak sampai ia mendapatkan anak perempuan.

"Tunggu infusan habis dulu." Kaf mendekati brankar Rai, ia sempat melirik ke arah uang pecahan lima puluh ribu yang masih tergolek di ujung brankar. 

"Nanti pulang diantar om Dendi." Kaf menoleh ke arahku, ia berjalan dan duduk di sampingku setelah mengecek selang infus Rai. 

"Loh? Kenapa? Katanya kita yang antar?" Aku langsung protes. 

"Ayah tak izinkan, Dek. Kau mungkin berani ngelawan ayah, tapi aku sih tak." Kaf menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. 

Oh, jadi itu alasannya. Ya sudah, aku lebih baik menurut saja. 

"Kasian ayah, Dek. Yang patuh, ayah lagi pusing," tambah mama Aca yang berdiri di ambang pintu. 

Mungkin, pikirnya aku akan merengek memaksa. 

"Iya, Ma." Aku mengangguk samar. 

Secanggung itu rasanya, ketika ada Kaf di sini. Boro-boro mau mengobrol dengan Rai, menoleh ke arah Rai saja Kaf langsung menyoroti wajahku. 

"Udah gitu aja ya, Rai? Nanti ada orang ke sini dan jemput kau untuk pulang. Kau punya barang yang ketinggalan di rumah orang tuanya Cani?" Kaf memainkan ponselnya. 

Ia tidak anteng di rumah, ia orang sibuk sebenarnya. Tapi sempat-sempatnya menghandle masalah Rai, padahal rumah sakitnya sendiri sedang butuh tenaganya. 

Rumah sakit tersebut dibangun dengan modal dari penghasilan usaha kakek dan nenek yang masih terus berjalan, ada yang dari hasil saham, ada yang dari usaha distribusi yang di Brasil, ada yang dari hasil ladang, ada juga dari anak-anaknya yang memberikan materinya untuk membangun rumah sakit tersebut. Tentu ada hitungannya dan pembukuannya, jadi hasil dari rumah sakit itu akan dibagi rata kembali.

Kaf hanya kepala rumah sakit, bukan pemiliknya. Meskipun begitu, tentu ada bisnisnya di sana. Terbukti dari ia menggandeng rumah sakit pakwa yang ada di Malaysia, pasti ini perihal kerja sama bisnis. 

Selebihnya, Kaf hanya pewaris orang tuanya. Belum lama ia memiliki titel dokter spesialis, jadi ia bisa dikatakan belum mapan dan baru mulai terjun ke dunia kerja. Apa yang membuat orang tuaku yakin padanya? Karena ia anaknya mau diarahkan dan mau belajar, meski ada drama takut resiko. 

Mentalnya benar-benar mental dokter, ia bukan berjiwa bisnis. Namun, sekelilingnya memaksanya untuk menjadi pebisnis karena harus melanjutkan usaha orang tuanya kelak. 

"Tak ada. Malah ini beberapa baju ayah Givan ada di aku." Ia menunjuk tumpukan baju yang ada di dekat bantalnya. 

"Oh, ya udah tak apa bawa aja. Kami pulang ya? Kau ati-ati dalam perjalanan." Kaf bangkit dan langsung menarik tanganku. 

Rasa tidak nyaman, risih, langsung menyelubungi ketika Kaf enggan melepaskan tangannya. 

"Eh, ini. Aku ada piutang sama Cani." Suara Rai menahan langkah kakiku. 

Kaf memandangku, kemudian ia melirik ke arah Rai. "Ini?" Kaf menunjuk uang di ujung brankar. 

Rai mengambil uang tersebut dan mengulurkannya pada Kaf. "Iya, makasih."

Bahkan, Kaf mempercepat gerakannya agar ia yang mengambil uang tersebut. Ia seolah tidak mengizinkan jika aku mengambilnya. 

"Oke, balik dulu." Kaf enggan melepaskan tangannya, ia tetap menggandengku untuk keluar ruangan Rai. 

Pasti hal ini cukup menunjukkan siapa Kaf untukku.

"Aku pengen beli mie ayam bakso ceker, Kaf." Mulutku seperti orang yang baru sembuh dari sakit, aku rindu semua jenis jajanan berat. 

"Iya, nanti dibelikan. Ini masih pagi, belum ada yang siap. Rehat makan siang nanti aku anterin ke rumah." Kaf menggiringku masuk ke dalam mobil, kemudian mama Aca menyusul masuk dengan Akandra yang sudah payah. 

"Tak ngerti lagi sama anak ini, doyan ngamuk di mana-mana. Menurut kau betul tak sih Akandra itu punya indra keenam dari kakeknya, karena keturunan." Mama Aca sampai berkeringat. 

"Aku pernah denger ceritanya, tapi udah diputus tali perjanjiannya, Ma. Jadi udah mentok di ayah aja, Insya-Allah tak akan sampai nurunin ke anak cucunya." Ayah kecil sampai berobat rutin untuk kondisi di luar kemampuan manusia pada umumnya itu. 

"Saran aja, Ma. Coba bawa dia cek kesehatan, kalau aku sampaikan takutnya bang Chandra tersinggung. Apalagi, bingung kan aku ngomongnya gimana. Karena ada beberapa penyakit yang silent killer gitu, Ma. Kelihatannya sehat, gejalanya ringan, tapi ternyata penyakit yang mematikan. Ya mungkin doyan nangis karena bawaannya begitu, tapi khawatirnya tuh dia ada ngerasa sakit di badannya." Mobil mulai berjalan keluar parkiran klinik. 

"Chandra sama Nahda itu kritis pikirannya, Barra aja keurus betul-betul masalah gizinya. Berobat ke mana-mana, cek ini, cek itu, eh tak taunya sih sembuh kalau ada temen yang suka bercanda kek dia. Herannya lagi, lima adiknya tak ada yang suka bercanda, wataknya pada keras-keras kek Givan. Duh, kaku hati yang jadi orang tuanya. Kau banyakin doa biar anak kau tak kek ayah kau, Dek. Ujian hidup betul itu."

Kaf tertawa lepas mendengar ocehan mama Aca. Aku tidak tersinggung juga, karena seluruh keluarga tahu bagaimana wataknya ayah. 

"Jadi kek papa aja gitu watak cucunya nanti?" timpal Kaf kemudian. 

"Ya tak betul juga, buat kaku hati lagi kalau udah ngambek. Kalau perempuannya bukan Mama, pasti kabur ngadepin adatnya papa kau itu. Dia yang buat kesalahan, kadang dia yang nangis duluan dan pindah kamar. Kau jangan tiru yang jelek-jeleknya, Kaf. Model Cani ditinggal tidur sendiri, bisa-bisa pulang langsung ke orang tuanya." 

Kaf tertawa lebih keras, mama Aca terlalu blak-blakan. 

"Aku bilang ke ayah, nanti aku bawa dia di tempat aku dinas. Kata ayah, jangan lah, siapa nanti yang ngelonin Cani. Jadi aku suruh nempatin rumah ayah di sini bareng, aku khawatir aku tak tidur-tidur karena disuruh terus."

Giliran mama Aca yang tertawa lepas mendengar penuturan Kaf. 

"Kau orangnya tak enakan, perhatian, ditambah mertuanya tukang atur. Mantap, Men." Mama Aca mengacungkan ibu jarinya sampai ke bangku depan. 

"Doain lah, Mah. Semoga aku bisa buat rumah sendiri di samping rumahnya pakcik Zuhdi, atau di samping masjidnya mangge Lendra tuh. Dari tabungan aku, aku usahakan mahar dan biaya nikah dari aku semua. Belum kepikiran rumah, karena memang belum sampai dananya."

Ooh, jadi begitu keadaan ekonomi Kaf. 

"Aamiin, pasti ada jalan kalau niatnya baik. Lagian kau yang nikah, kau yang kelonan, kau yang enak, masa iya biaya dari orang tua? Minimal, malu lah. Kau yang n****ot, orang tua yang bayar."

Apa??? 

Aku shock mendengar mulut mama Aca. Kaf malah seolah mendapat hiburan, ia tertawa lepas seolah itu adalah hal yang pantas dijadikan candaan. 

...****************...

Terpopuler

Comments

Ersa

Ersa

🤣🤣🤣

2023-11-07

1

Cahaya Perantauan

Cahaya Perantauan

waduhhh

2023-10-05

1

Edelweiss🍀

Edelweiss🍀

aduh mama Aca, ada Cani itu tolong difilter dong😂

2023-10-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!