"Kau jelek." Aku langsung menutup bagian mulutku dari luar cadar.
"Biarin! Kau pun bau, tak mandi-mandi." Ia malah meninggikan hidungnya dan memasang wajah jelek.
Aku terkekeh geli karena tingkahnya.
"Aku tak punya baju ganti." Aku tak mungkin tak berbusana di hadapannya, ia sih santai saja berlapis daun pisang di depanku juga.
"Mau pakai baju aku dulu? Nanti kalau baju kau udah kering, pakailah lagi."
Sebetulnya itu opsi yang sering ia tawarkan beberapa hari terakhir. Aku merasa diperhatikan, meski hanya hal seperti itu.
"Aku bercadar, kau tau sendiri." Auratku pasti tak tertutup rapat.
"Tapi kau garuk-garuk terus, udah menyerupai sesuatu karena makan pisang terus." Ia tertawa lepas.
"Coba yuk kita keluar tempat ini, barangkali kita nemu pasar. Aku butuh pakaian." Karena aku khawatir sudah sampai masa periode haidku, sedangkan aku tidak memiliki pakaian ganti.
"Apa aku harus punya keahlian mencuri? Aku tak pernah mencuri sebelumnya." Ia memutar tandan pisang, seperti mencari yang matang.
"Ya tak harus mencuri, kita kan bisa minta pakaian bekas." Aku menarik ranselku yang terdapat beberapa buku. Ingin meninggalkan buku-buku ini karena berat, tapi ini untuk keperluan kuliahku.
"Okelah, yang penting kita keluar dari pepohonan ini dulu ya?" Ia mengumpulkan pisang yang matang di dekatnya.
Aku selalu ikut di dekatnya, ketika ia mencari stok makanan. Karena aku amat takut dengan binatang apapun, aku tidak pernah bertemu binatang-binatang di alam terbuka seperti ini.
Rasanya serba takut jika menunggunya seorang diri. Pernah tinggal dekat sungai, didekati buaya. Pernah tinggal di tanah yang sedikit lapang, aku melihat kucing hitam besar lewat dari jarak yang jauh. Tinggal di pepohonan begini, ya rawan ular. Tinggal di tanah yang basah, malah banyak hewan seperti lintah dan pacet.
"Nih, dimakan. Kenyangin dulu perutnya, kau makin kurus sejak kesasar begini. Aku kasian sama kau, aku minta maaf ya?" Ia tersenyum manis, tapi di matanya nampak ada kesedihan.
"Kalau mau nangis, ya nangis aja. Kau pasti capek juga kan karena nyasar begini?" Aku mencoba datar, sayangnya tidak bisa.
Aku langsung merapatkan bibirku. Bibir yang bergetar ini memang bisa disembunyikan, tapi sayangnya mataku yang cengeng tetap akan terlihat.
"Kau yang malah nangis." Ia terkekeh geli dengan mengambil ujung kerudung panjangku.
"Nih, diusap air matanya. Kalau terus di dalam hutan begini, yang ada kita mati dimakan binatang buas. Aku harus berani ngambil resiko. Mungkin tak apa aku kena sama polisi, yang penting kau bisa pulang ke rumah lagi. Mungkin Chandani perlu sedikit jalan-jalan kan? Biar tau tentang dunia luar. Kehidupan kau pasti cuma tau tentang kamar dan sekolah? Mungkin lewat jalur kesasar bersama ini, kau jadi tau caranya bertahan hidup di hutan." Ia tetap mempertahankan senyumnya.
"Panggil aku Cani." Aku mengusap air mataku dengan ujung kerudungku.
"Iya, Cani. Unik namanya. Ayo makan dulu, mumpung baru terasa mataharinya. Banyak waktu untuk kita cari jalan, semoga tak malah makin jauh masuk ke dalam hutan." Ia celingukan seperti memperhatikan sekeliling.
Aku tidak mengerti, kenapa orang ayah tidak ada yang mencariku sampai ke sini? Katanya antingku dilengkapi dengan chip? Apa antingnya tidak bisa menjangkau jaringan karena berada di dalam hutan?
Aku langsung meraba antingku dari dalam kerudungku. Allahuakbar, ternyata kedua antingku tidak ada.
Aku diam, mencoba mengingat kapan antingku terlepas. Aku tidak boleh langsung menuduhnya, apalagi dalam keadaan begini. Yang ada, ia langsung tersinggung dan menikamku.
"Ini dimakan dulu, udah nangisnya. Kau udah terlalu banyak nangis di awal-awal." Ia menyodorkan pisang itu di depanku.
"Kenapa? Kau kehilangan sesuatu?" Dari pertanyaannya, sepertinya ia mengamati gelagatku.
"Pernah lihat anting aku jatuh? Anting melingkar kecil bermata hitam gitu." Si mata anting itulah yang ada chipnya.
"Aku tak pernah lihat apapun dari dalam pakaian kau. Apa kau pernah lepas anting itu?" Ia menyatukan alisnya.
"Bentar, aku ingat dulu." Aku mencoba mengingat aktivitasku jauh-jauh hari.
Sebelum aku rutin KKN, ayah pernah meminta anting tersebut untuk diganti chipnya. Kemudian, langsung diberikan lagi setelah pemasangan baru. Lalu, kira-kira aku sudah memasangnya belum ya di telingaku? Aku ingin sekali dicari dan ditemukan soalnya, karena pasti tidak amat berjuang untuk pulang ke rumah.
Ehh, aku baru teringat. Aku pernah melepas anting itu ketika melewati pemeriksaan metal detector. Saat itu aku sedang bersama Kaf dan mama Aca di sebuah tempat perbelanjaan alat-alat kedokteran.
Huft, ia laki-laki itu yang menggenggam antingku saat aku melewati metal detector.
Namanya Kafi Teuku Dhafir. Ia seorang dokter bergelar spesialis bedah umum dengan usia yang cukup muda, yakni di usia dua puluh enam tahun. Ia lulusan Malaysia semua, bisa dibilang pendidikannya sangat mulus karena ada tangan khusus yang menuntunnya. Sedangkan mama Aca adalah ibu sambungnya, karena ibu kandung Kaf sudah wafat.
Ketahuilah, aku sudah dikhitbah olehnya. Mungkin istilah dalam bahasa Indonesianya itu lamaran, sudah dijanjikan pernikahan juga, tapi kami tidak berpacaran.
Jika kalian tahu ayahku, mungkin rasanya sulit untuk mendapatkan restu beliau. Namun, karena Kaf itu keponakannya. Ayah hanya membutuhkan beberapa dokumen saja untuk mengurus perjanjian pra nikah dan perjanjian keluarga, karena ayah sudah tahu semua sifat baik dan buruknya laki-laki itu.
Ya sudahlah, jangan dibahas. Jodoh ya menikah bersama, tak jodoh ya kita menikah sendiri-sendiri. Aku tak pernah ambil pusing, toh yang sudah seranjang saja belum tentu menikah, apalagi yang hanya dikhitbah.
Tapi yang menjadi janjinya adalah, ketika ia berusia dua puluh delapan tahun ia akan melangsungkan pernikahan denganku. Ia tengah repot membangun rumah sakit milik keluarga, yang berada tak jauh dari jalan utama depan gang rumah kami. Rumah sakit itu partner besar rumah sakit pakdenya Kaf yang berdiri di Malaysia. Kaf pun satu-satunya kandidat yang akan meneruskan rumah sakit pakdenya itu, karena ia yang dipercaya oleh pakdenya.
Biasanya kami memanggil pakde tersebut dengan sebutan pakwa Ken. Namanya Kenandra, ia pun seorang dokter spesialis bedah umum juga. Ia pemilik rumah sakit bedah umum di Malaysia, sekaligus pakdenya Kaf.
Ya sudah, segitu saja tentang Kaf.
"Aku baru ingat, anting aku di sepupu aku," ungkapku kemudian.
"Jadi, kita pergi ambil anting itu dulu kah? Atau gimana?" Ia mengerutkan dahinya.
Gimana ya baiknya?
Tepok jidat.
"Heh, baiknya kita cari jalan keluar dari sini dulu lah. Baru kita langsung ke rumah orang tua aku aja, tak usah cari anting itu, anting itu ada di sebelah rumah orang tua aku." Aku reflek menepuk kakinya.
"Tuh, nanti dari rumah orang tua kau lanjut ambil anting ke rumah tetangga kau. Aku temenin deh." Ia bangkit dan bersiap mengangkat satu tandan pisang tersebut.
Ia tidak salah juga sih. Tapi kan sudah di rumah ayah, kenapa aku harus mencari anting agar dicari ayah?
Aku jadi berpikir.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ihda Rozi
emang gokil ya pemikiran outhor ini aku JD ikut mikir
2024-01-11
1
Mafa
ada ya begal baik gitu, full tato iya tp hatinya lembut kaya bang daeng lendra😁😁
2023-09-24
2
Mafa
caera jangan lupa up ya, aku masih setia nungguin
2023-09-24
2