"Ayah…." Aku memandang ayahku dengan gemetar.
Aku takut untuk berbicara, karena aku takut keceplosan dan menambah kekhawatiran orang tuaku. Sedangkan, aku tetap ingin semuanya baik-baik saja tanpa harus mereka khawatirkan tentang aku dan Rai.
"Udah, udah…." Ayah mengatur napasnya. "Gih keluar dulu, Kal. Ayah mau nemenin Cani tidur dulu, resep obatnya suruh ipar-iparnya aja yang nebusin." Ayah membukukan pintu kamar, secara tidak langsung menyuruh Kal untuk keluar kamarku dengan segera.
"Iya, Yah." Kal melangkah keluar kamarku.
"Ayah, aku…." Aku memandang ayah yang melangkah ke arah ranjangku, aku takut ayah menyudutkanku dan memarahiku.
"Yang penting sekarang kau baik-baik aja, Dek." Ayah merebahkan tubuhnya di sampingku, kemudian memeluk diriku.
Tiba-tiba aku teringat dengan laki-laki yang ikut pulang bersamaku. "Yah, apa Rai baik-baik aja? Dia sakit apa?" Aku menghadap tubuhnya dan merasakan aroma yang menenangkan dari ayahku.
"Dia baik-baik aja." Helaan napas ayah terdengar berat.
Apa kepulanganku dengan Rai menjadi beban pikiran untuk keluargaku? Rai amat baik, menurutku. Bahkan, ia tidak berani menyentuhku meski tengah bergurau seperti kebiasaan Kaf. Namun, semua orang berprasangka bahwa aku dan Rai seolah sudah seperti suami istri.
Memang mereka tidak menuduh seperti itu secara langsung, tapi semua yang mereka katakan seolah berbicara ke arah sana. Apa mereka pikir, aku bisa bertindak sehina itu dengan pikiran sadar?
Beberapa jam aku tertidur dan kembali untuk mengisi perut. Pikiranku hanya tertuju pada Rai, apa ia sudah diantar pulang atau diamankan oleh pihak kepolisian?
"Biyung, pengen nengok Rai," ucapku setelah menghabiskan makananku.
"Dia lagi istirahat, Dek. Tadi Kal ke sini, masukin obat lagi lewat infusannya." Biyung memberiku segelas air putih.
"Apa? Rai diinfus?" Aku tidak biasa mendengar hal ini, pasalnya ia terlihat amat sehat kemarin.
"Iya, perlukaan lambung katanya. Kalau perutnya kosong, dia malah ngerasa nyaman. Kalau perutnya terisi, dia ngerasa perutnya perih. Kalau dibiarkan kosong kan bahaya juga, kemarin dia udah tak makan-makan." Penjelasan biyung membuatku semakin penasaran untuk melihat keadaan Rai.
"Mana cadar aku tadi? Aku mau lihat Rai dulu." Aku celingukan dan bergegas untuk memakai penutup wajahku, sebelum akhirnya aku membuka kamar Rai.
Kaget? Jelas. Rai terlelap pulas, tapi om Vendra adik ayah yang menjadi anggota kepolisian bagian khusus ada di dekat Rai. Ayah pun ada di dalam kamar, sembari berbicara dengan nada yang amat lirih.
"Yah….," Panggilku lirih, ketakutanku menyeribung.
Aku sudah membayangkan Rai dalam kondisi yang seperti ini dan harus dipenjara karena kasusnya belum selesai.
Ayah dan om Vendra menoleh secara bersamaan ke arahku. Ayah berbalik menghadap adiknya, lalu berbicara dengan gerakan tangan juga. Om Vendra mengangguk-anggukkan kepalanya, entah apa yang ayah katakan padanya.
"Ayah…. Rai jangan dipenjara." Mohonku dengan suara bergetar.
Nanti bagaimana denganku jika Rai dipenjara? Jika ia pulang, mungkin kami masih bisa berkomunikasi. Ia pasti masih menjadi temanku.
"Shtttttt…." Om Vendra menaruh telunjuknya di depan bibirnya.
Ayah berjalan ke arahku. Kemudian ayah menutup pintu kamar yang Rai tempati dan menarikku pergi dari sana.
"Dipanggilkan tukang urut sekarang kah?" Ayah mengajakku berjalan keluar rumah.
Ayah mengalihkan pusat perhatianku. "Tak, Ayah. Tapi jangan penjarakan Rai." Aku mogok melangkah dan malah menangis sambil tertunduk.
"Hai…." Ayah membawaku duduk di ruang tamu.
"Tenang, Dek." Ayah mengusap-usap punggungku.
Aku tetap menundukkan kepala dan meluapkan ketakutanku lewat air mata. Aku tahu aku terlalu berlebihan, tapi hal ini tidak bisa ditahan.
"Kenapa berpikir Rai harus dipenjara?" Ayah menempelkan kepalanya pada kepalaku, kemudian ia menggoyangkan punggungnya ke kiri dan ke kanan. Sehingga membuat posisiku ikut bergerak seirama seperti gerakan ayah.
"Dia DPO." Aku menjawab dengan napas yang tersengal-sengal.
"Hmm, tuh tau. Makanya jangan suka sama Rai, Dek."
Aku langsung melihat wajah ayah. Aku tidak mengakui hal itu, tapi kenapa ayah mengatakan hal seperti itu?
"Kau udah pulang, kau utuh dan kau baik-baik aja. Rai udah mengakui siapa dirinya dan kesalahannya, jadi hubungan antara penculik dan korban sudah selesai karena korban sudah dikembalikan." Ayah tersenyum lebar.
Tangannya terulur, jemarinya menghapusi air mataku. Aku masih diam, aku mendadak gagu untuk menyelamatkan nama Rai di depan ayah, karena Rai sendiri yang malah buka mulut tentang siapa dirinya.
"Dia tak nyulik aku, dia butuh teman untuk survive di alam bebas." Aku memegangi cadar bagian mulutku, aku jadi bingung kenapa aku malah berbicara seolah membela Rai.
"Oke, jadi kalian sekarang berteman? Kau punya kehidupan, Rai punya kehidupan sendiri. Berteman boleh sampai batasnya aja, selebihnya jangan berharap bahwa dia pasangan hidup kau. Dia udah Ayah anggap jelek, meskipun jujur sekalipun. Bukan karena dia DPO, bukan karena dia calo angkot, tapi karena dia mencuri anak gadis Ayah."
Aku menelan ludahku. Aku tidak tahu aku menyukai Rai atau tidak, tapi ucapan ayah seolah melumpuhkan kesenangan dalam hatiku. Aku senang bisa kembali ke rumah dan merasakan kehangatan keluarga lagi, tapi dengan kembali ke rumah aku kini tidak akan bisa mendapatkan kelembutan dan kenyamanan dari Rai lagi.
Rasanya amat kecewa mendengar penuturan ayah itu.
"Rai bakal menyerahkan diri sebagai DPO selama ini, tapi dia pengen diberi waktu dulu."
Aku masih terdiam menikmati rasa yang sesak dan tidak aku mengerti ini. Aku hanya bisa mendengarkan semua ucapan ayah, menyimak dan menyimpulkan sendiri tentang semua yang sudah aku dengar dari ayah.
"Dia pengen sehat, dia pengen kerja dulu selama satu bulanan. Dia pengen kirim uang ke keluarganya dan kirim surat, barulah dia menyerahkan diri ke kepolisian."
Aku hanya bisa menelan ludahku kembali. Ini bukan hal baik, meski aku tahu Rai tetap bebas selama beberapa waktu. Karena apa? Karena setelah itu kami tidak akan bertemu karena ia harus menjalani masa hukuman.
"Nanti malam dia dioper ke klinik, kalau setelah habis infusan yang ini dia belum ada perubahan. Mungkin dia bakal kerja kasaran jadi kuli angkut di toko material, karena kerja kasaran permintaan dia dan dia ngerasa sanggup."
Aku tiba-tiba tersenyum di balik cadarku. Setidaknya, aku masih bisa memiliki waktu untuk menikmati kebersamaan berteman dengan Rai.
"Jangan berpikir kalian bakal bersama, Dek. Ayah takut sama laki-laki yang nama Rai itu, Ayah takut dia bawa pergi kau lagi. Sementara, kuliah kau cuti dulu. Kau harus tetap di rumah sama biyung, kau tak boleh keluar rumah tanpa izin Ayah. Setelah dia sehat, dia bakal nempatin satu kamar penginapan. Ayah takut kalau dia tetap di sini, Ayah trauma kau dibawa kabur." Ayah menggenggam tangan kananku.
Selama beberapa hari terakhir, aku dan Rai mencoba saling menghangatkan meski hanya dengan menggenggam jemari satu sama lain. Aku tidak tahu pasti bagaimana perasaanku padanya, tapi aku merasa ingin tetap ia selalu bisa menghangatkan jemariku di kemudian hari.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ra2
naluri Ayah dek cani
gmn g langsng nebak wong perlakuanku ke Rai bikin orng terdekatmu heran
2023-10-01
2
Ra2
cani kan baru pertama kali juga kenal & bisa deket langsng secara fisik dg cowo baru kali ini JD wajarlah cani merasa nyaman
2023-10-01
2
Edelweiss🍀
Cani yg gak pernah tersentuh laki2, meski Kaf sekalipun dia selalu jaga jarak. Sekalinya sdh bersentuhan dia langsung merasa nyaman🥺🥺🥺
2023-09-30
2