Aku cekikikan sendiri, bukan karena lucu melihatnya mengangkat satu tandan pisang. Hanya saja, aku merasa lucu sendiri karena arah pikirannya. Ia ingin menemaniku mengambil antingku di sebelah rumah orang tuaku. Andai saja ia paham jika sudah di rumah ayahku, aku tidak memerlukan anting itu lagi.
"Jalan di depan, Can. Biar aku jagain." Ia menoleh ke arahku.
Ia tidak sadar dengan kalimatnya yang membuatku cekikikan.
"Siapa Can?" Aku bangkit dan memakai ranselku.
"Kau, Cani kan? Can, Cantik." Ia menaik turunkan alisnya.
"Hmm, macam tau aja kalau aku ini cantik?" Aku melewatinya dan berjalan di depannya.
"Berarti jelek," celetuknya ringan sekali.
"Heh! Sembarangan! Aku cantik lah." Aku menoleh ke belakang memberinya tatapan tajam.
Ia tertawa geli. "Iya itu juga keknya, orang matanya aja kek sedih aja, kek ngantuk aja."
Kok ia suka meledek sih? Baru kali ini ada yang mengatakan mataku sedih dan ngantuk. Padahal, jika sudah rebahan di tak jauh darinya aku langsung terlelap. Aku tidak kurang tidur kok meskipun kesasar begini, tetap bisa tidur lelap karena merasa ada yang menjagaku dan merasa aku aman terus.
"Mataku bagus! MasyaAllah tabarakallah." Aku memuji diriku sendiri dengan mengedipkan mataku beberapa kali.
"Masa? Ya udah deh bagus betul, masyaAllah tabarakallah." Ia memamerkan giginya, kemudian membenahi beban di pundaknya itu. "Ayo lanjut jalan, lihat ke depan. Ati-ati melangkah," lanjutnya kemudian.
Aku tahu alasan pisang itu dibawa, karena itu persediaan makanan kami. Mencari makanan di rindangnya pepohonan tentu tidak mudah, karena semua daun belum tentu bisa dimakan. Lagi pula, aku tidak bisa makan daun juga.
"Aku kangen pengen makan nasi." Aku mengoceh agar tidak terasa sudah berjalan jauh.
"Iya, nanti aku belikan rendang juga. Aku usahain pakaian ganti untuk kau juga, tapi sabar ya? Aku harus kerja dulu, dapat uang, baru bisa kasih yang kau mau." Ia meladeni celotehan mulutku.
"Sama air putih kemasan botol yang dingin juga," tambahku kemudian.
"Iya siap, Can." Napasnya terdengar ngos-ngosan.
"Kau nanti ikut pulang aja ke rumah, kau kerja di sana aja. Nanti aku tak akan bilang kau culik aku, aku bakal bilang kau seseorang yang antar aku pulang." Aku menoleh dan kembali melihat ke depan.
Namun, tiba-tiba aku bersimpuh di tanah.
"Aduhhhhh…." Aku merasa sakit pada bagian pergelangan kaki kau.
"Ya ampun, Can. Udah dibilang suruh lihat jalan, masih aja tengak-tengok." Ia membanting satu tandan pisang tersebut dan bergerak untuk meluruskan kakiku.
"Sakit." Aku merengek saat kakiku diluruskan olehnya.
"Maaf ya? Maaf nih aku pegang kaki kau." Ia memegang pergelangan kakiku yang sakit.
"Ayo ke rumah sakit aja." Aku takut kakiku kenapa-kenapa.
"Ayo, tapi ke arah mana?" Ia menarik-narik kakiku.
Rengekanku hilang, aku tersadar kembali bahwa kami berada jauh di dalam ladang entah hutan. Intinya pepohonan rindang tak beraturan.
"Apa boleh kaos kakinya dibuka dulu? Bukan masalah baunya, tapi takut ada yang luka. Banyak ranting tajam soalnya ini." Ia menunjuk beberapa batang ranting di dekat kakiku.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Maaf ya?" Ia menarik kaos kaki hitamku.
"Utuh, tak apa-apa." Ia menaikan lagi kaos kakiku.
"Coba bangun." Ia bangkit dan mengulurkan kedua tangannya.
Aku langsung meraih tangannya, kemudian mengangkat tubuhku. Aku bisa berdiri, tapi kakiku amat linu sekali.
"Sakit jalannya." Aku merasa seperti pincang.
"Hmmm…." Ia melirik tandan pisang itu.
"Aku coba gendong ya? Tapi cuma sampai sakit di kakinya hilang." Ia meraih tandan pisang tersebut.
"Pisangnya diambil satu-satu, dimasukin ke tas aja. Tasnya aku gendong depan, kau gendong belakang." Ia langsung bekerja untuk memetik satu persatu pisang tersebut.
"Apa tak berat?" Aku mencoba duduk kembali.
"Kau kurus, cuma keberatan pakaian aja." Ia suka sekali meledek.
"Biarin." Aku langsung manyun, meski aku tahu ia tidak akan melihatnya.
"Kalau lihat pohon pinus, bilang ya? Biasanya pohon pinus bergerombol dan biasanya dijadikan tempat wisata atau camping. Barangkali kita bisa keluar dari jalur itu." Ia mengumpulkan pisang yang sudah ia petik di dekat kakiku.
Kami belum ada sepuluh langkah dari tempat awal.
"Iya." Aku memberikan ranselku dan membuka resletingnya.
"Keadaan kau kek gini, aku makin mikir untuk cepat sampai keluar hutan aja. Udahlah dipenjara seberapa lamanya, yang penting perut kau bisa kenyang dikasih makan orang tua kau, orang tua aku pun biar tak suudzon tentang aku aja. Aku berjuang ngilang dari polisi, nanti dikiranya udah dipenjara. Aku sebenarnya tak mau dipenjara, aku mikirin nafkah untuk mereka." Ia langsung memasukkan pisang yang sudah dipetik itu ke dalam ranselku.
"Memang kau tak punya orang tua, sampai kau yang nyari nafkah?" Aku terus melanjutkan pekerjaan untuk memetik pisang.
Ada air minum juga di ranselku. Ini air minum yang didapat dari pohon, ia katanya tahu bahwa air itu aman. Aku sudah pasrah, entah aman tidaknya aku tetap meminumnya. Untungnya, aku punya botol plastik air mineral kemasan besar di dalam ransel saat tragedi begal terjadi. Tadinya botol air itu aku isi dengan buah ciplukan dan kersen, buah itu banyak di tempat KKN dan aku suka dengan buah itu.
Saat aku kecil, aku selalu mencari buah ciplukan dan kersen bersama kakekku. Sayangnya kakekku sudah lama wafat dan aku baru merasakan makan buah itu lagi saat di tempat KKN, makanya aku sampai memungutnya.
"Aku punya ibu, dia satu-satunya orang tua aku sekarang. Ayah wafat sejak aku kecil, ibu pedagang gado-gado di rumah. Aku punya adik perempuan juga, dia masih SMP kelas tiga sekarang. Dia lagi butuh banyak biaya menjelang kelulusannya."
Jadi dia anak yatim? Masih disebut yatim tidak ya meski ia sudah dewasa? Aku tidak pesantren sih, jadi tidak tahu ilmunya. Saat SMP, aku pernah merasakan tembok pesantren juga. Sayangnya aku tidak betah, rasanya sibuk sekali, banyak kegiatan, tidak seperti di rumah.
"Kau bisa kerja di ayah." Aku memperhatikan wajahnya.
Ia sepertinya seseorang yang tulus. Ia tulus bekerja untuk keluarganya.
"Ayah kau? Memang ayah kau punya apa? Dia pedagang di pasar?"
Aduh, apa ya ayahku itu? Bukan pedagang juga sih.
"Ya maksudnya, kerja di sana." Aku lebih memilih tidak menerangkan, karena malah jadi lama lagi mengobrolnya.
"Ayo bangun." Ia memakai ranselku di dadanya, setelah kami sudah memilih pisang yang siap makan.
Pisangnya kecil-kecil dan semuanya tidak matang rata, bahkan ada yang masih sangat kecil dan hijau.
"Aku beneran gendong?" Aku berusaha berdiri dengan kakiku kembali.
"Iya, sampai nyeri kakinya mendingan. Kau tak boleh sakit ya? Aku bingung harus gimana, aku bingung mau bawa kau berobat ke mana-mana." Aku melihat kekhawatiran di matanya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Mafa
jhat krn kepept ya,
namanya siapa nih kak nisa penculiknya,
aku yg terlewat baca atau emang blm ada ya
2023-09-24
2
YL89
tp romantisnya,prhatiannya kyk Bg Daeng lendra,,11 12 la☺☺☺,,,Terdaeng2 Q kk nis!!
2023-09-23
1
Edelweiss🍀
tidak pesantren tp Cani bisa istiqomah bercadar itu hal yg luar biasa😌😌
2023-09-23
1