"Tenang aja, Yah. Aku tak mikir jauh kok." Aku berusaha meyakinkan ayah tentang hatiku lewat senyumanku.
"Maaf, bukan maksain kau untuk mau sama Kaf. Kan dari awal Ayah serahkan keputusan ada di kau, kau sendiri yang nerima. Jangan sampai nyakitin Kaf, Dek. Karena Ayah bakal lebih-lebih ngerasa bersalah sama papa Ghifar."
Bagaimana aku bisa menolak? Sedangkan ayah terlihat mendukung hubungan ini. Bukan karena tidak ada kandidat lain, tapi karena persaudaraan ayah dan orang tua Kaf yang membuatku menjadi tidak enak untuk menolaknya.
"Aku tak keberatan tentang itu, Yah. Aku tak mikir untuk ganti calon suami, toh katanya juga Kaf pengennya lebih cepat." Aku hanya ingin pikiran ayah tenang dari ketakutannya akan aku dibawa kabur kembali oleh Rai.
Meski sebenarnya, aku takut juga jika lebih cepat memiliki gelar istri. Bukan karena aku tidak sanggup menjadi ibu rumah tangga, tapi aku takut dengan kegiatan ranjang. Apalagi laki-lakinya Kaf, yang bertubuh tinggi dan gagah berisi. Pasti ia berat sekali saat menindihiku, sedangkan berat badanku lebih kurangnya hanya lima puluh kilo. Sedangkan berat badan Kaf sepertinya delapan puluh kilo, entah kurang atau lebihnya.
Huh, aku jadi merinding memikirkan hal itu. Mana kan, tidak ada aktivitas ranjang pun ia nampak sekali gemas denganku. Apalagi jika aku sekamar dengannya dan harus tahan dengan permainannya, sepertinya aku akan bersembunyi di dalam kamar mandi kamarku untuk menghindarinya.
"Kau siap? Ayah belum mau, Dek. Ayah trauma sama kejadian kakak kau, sampai tiga kali bolak-balik KUA gara-gara pernikahan dini. Kalau bisa, ya sedang lah dua tahun lagi."
Melamun sudah, ditambah pun aku jadi teringat drama rumah tangga saudara-saudaraku. Nanti bagaimana caranya aku menghadapi ujian rumah tangga kami? Apa bisa aku tak mengadu pada ayah? Apa bisa aku menyelesaikan permasalahan rumah tangga hanya dengan suamiku saja? Karena jelas, setiap rumah tangga pasti diberi ujiannya.
"Lihat nanti aja ya, Yah?" Aku merengkuh lengan ayah dan menyandarkan kepalaku.
"Ada om kau di sini, Ayah ngormatin dia dulu ya? Tak apa kan sama biyung dulu? Belanja online, bahas makanan. Jangan dulu hubungin teman-teman kau, tak usah hubungi pihak kampus juga, biar jadi urusan Ayah. HP kau masih ada kan?"
Aku cepat mengangguk. "Ada, Yah. Di tas ransel itu, entah rusak atau tak HPnya karena lama kehabisan baterai." Ditambah lagi ponsel itu pernah terendam air, pernah juga basah, jatuh terbanting dan didesak persediaan makanan.
"Ya udah nanti lagi ngurus HP kau, pinjem HP biyung dulu aja. Gih, Ayah ada urusan penting sama om kau."
Aku pergi lebih dulu dari hadapan ayah, aku menuruti kegiatan yang ayah ingin aku melakukannya. Memang belanja online dan membahas makanan yang bisa dikirim ke rumah itu membuat rileks dan senang, tapi pikiranku tetap terbagi dengan Rai.
Tapi jika dipikir, Rai kan ibaratnya penjahat. Lalu, aku seolah merasa nyaman dengan penjahat. Apa karena kami memiliki waktu bersama yang cukup lama, sehingga terjalin ikatan emosional di antara kita? Atau, karena memang Yang Kuasa membuat perasaanku campur aduk?
Berbicara dengan ayah tentang dilema ini, tentu bukan hal yang baik. Karena ayah tadi seolah memberi wejangan, agar aku tidak mengembangkan harapanku pada Rai.
"Biyung, pinjem HP untuk nelpon Kaf apa boleh?" Aku mencoba mengalihkan pikiranku pada laki-laki yang katanya harus jadi suamiku nanti.
Daripada terus berkabung tentang Rai melulu, takutnya aku malah semakin berharap lebih untuk bisa merasakan kenyamanan yang lebih lama dengannya. Aku jadi khawatir diri ini nekat.
"Boleh, Dek." Biyung tengah menghitung uang tabungan yang baru dibagikan pihak sekolah adik-adikku.
Biyung orang yang berada saja, ia tidak pernah menabung banyak untuk di sekolah. Bayangkan saja, sehari hanya tiga ribu untuk menabung. Lalu, sisanya tujuh ribu untuk jajan persatu adikku di sekolah.
"Hallo, Kaf." Aku langsung membuka suaraku, begitu panggilan telepon tersambung.
Loh? Kenapa panggilan telepon langsung dimatikan kembali olehnya? Apa jangan-jangan ia tengah sibuk?
Ehh, tak taunya ia langsung melangsungkan panggilan video. Aku langsung menerima dan memasang wajahku yang hanya terlihat mata dan alis saja di depan layar telepon ini.
"Kaf…," ucapku, karena hanya terlihat seperti objek yang tidak jelas.
Ia tidak kunjung menjawab, apa ia tengah dalam kondisi yang merepotkan?
"Kafi…," panggilku menyebut nama jelasnya.
Apa ini? Objek berubah seperti kulit manusia.
"Apa itu?" Aku mengernyitkan dahiku.
"Hallo, assalamu'alaikum, Sayangku, Cintaku, calon beban hidupku…," teriaknya lepas, sampai aku menjauhkan layar ponsel yang aku genggam karena kaget.
Ya ampun, ternyata itu hidungnya yang tinggi dan besar. Kekehan gelinya bertambah jelas, sembari wajahnya yang semakin terlihat utuh. Maksudnya, tidak hanya hidungnya saja seperti tadi.
"Alhamdulillah, Adek Cani ingat aku." Kegembiraannya tersampaikan sekali dengan nada bicaranya.
"Ke sini bawa sate kambing ya? Kasih acar." Aku menggosok hidungku dari dalam penutup wajahku.
"Oke siap, berapa tusuk? Dua cukup tak?" Gigi putih tulangnya terlihat rapi.
"Kurang dong, satu kepala sepuluh tusuk lah." Aku merasa biasa saja pada Kaf, maksudnya tidak ada rasa yang aneh.
Entah karena dari kecil aku sudah terbiasa akan hadirnya.
"Ck, mana ayah banyak makannya lagi." Kaf menghela napasnya.
"Ayah anti olahan daging kambing, Kaf. Ayah sate ayam aja. Kau kapan ke sini? Katanya masih di jalan?" Aku masih ingat keterangan yang Kal berikan.
"Heem, masih di jalan. Udah telpon ayah tuh, katanya besok aja. Soalnya, paling malam sampai sana. Besok nanti sekalian sama mama dan papa, siap-siap ya pikirin maharnya?" Kaf menaik-turunkan alisnya.
Apalagi ini, Ya Allah?
"Ck, kalau mau recok jangan semua ditarik biar aku ngeladenin deh." Aku berpikir ia hanya ingin mencari perhatianku saja.
"Tak percaya lagi. Kalau aku berubah, malah kau yang panik nanti. Aku dibilang recok terus." Ia melirik ke arah lain, seolah ia tidak cocok dengan ucapanku.
Tapi jika tengah melirik begini, Kaf terlihat menawan. Hidungnya tinggi, terlihat kokoh karena bervolume. Maksudnya, besar. Rahangnya tegas, matanya bulat tapi tidak terlalu besar. Kelopak matanya berlipat, ia seksi jika mengerlingkan matanya. Tapi sayangnya, aku benci jika ia berlaku genit.
"Udah dulu ya?" Aku bingung juga ingin membahas apa, ia terlihat tersinggung dengan ucapanku barusan.
"Iya, malam nanti aku pulang dan titipkan sate kambing untuk kau. Aku tak akan maksa ayah, besok aja aku datangnya. Ini aku masih di jalan, kau di rumah aja ya jangan pergi-pergi lagi?" Ia tersenyum kembali.
Melihatnya tersenyum, agak sedikit berkurang rasa tidak enak karena aku menyinggungnya tadi.
"Oke, oke." Aku melihat ke arah biyung yang bertopang dagu dan memperhatikanku dengan seksama.
Video call, tidak memakai headset lagi. Ya sudah, biyung pasti mendengar jelas apa yang Kaf katakan.
Tapi jika benar besok Kaf datang dengan orang tuanya dan langsung menetapkan tanggal pernikahan kami, bagaimana?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Hi Dayah
kaf belum datang kerumah cani kah?😅
2023-10-02
2
Edelweiss🍀
hidung tinggi besar, kok aku mikirnya bukan hidung ya🤣🤣🤣
2023-10-01
3
Edelweiss🍀
kau tak tau aja lagi Can🤭🤭 coba kalau udh rasa. ketagihan kau🙈🙈
2023-10-01
3