PdAS5. Sampan

Setelah berjuang tiga hari menyusuri satu bukit ini, akhirnya aku mendengar adzan Subuh yang sangat menggema. Aku langsung berjingkrakan, aku amat girang sampai tidak sadar memeluk Rai. 

"Aduh, Can." Ia memejamkan matanya dan bergidikan. 

"Kenapa? Kau sakit?" Aku menyadari wajahnya yang sedikit berubah. 

"Tulang pada linu rasanya." Ia meringis, kemudian berjongkok. 

"Rai, jangan mati dulu. Novelnya baru mulai, Rai." Aku ikut berjongkok di depannya, kemudian membingkai wajahnya. 

Ia memejamkan matanya, kemudian meregangkan otot lehernya. "Keknya kecapean aja, kita banyak jalan ketimbang istirahat soalnya." Ia mencoba bangkit, dengan tangannya bertumpu pada lutut seolah dalam posisi ruku. 

Aku berdiri tegak lebih dulu. "Kau bisa jalan? Itu ada sampan, biasanya ada orangnya. Kita minta antar ke tambak, karena aku kenal beberapa orang." Aku menarik pergelangan tangannya, agar ia berdiri tegak. 

"Ini masih gelap, belum ada orang aktivitas, Can." Ia mengucek matanya. 

"Kita optimis aja." Aku memberinya semangat, meski aku yakin ia tidak melihat senyumku. 

"Ayo, kita jalan ke arah sampan itu." Ia menunjuk satu perahu yang terikat pada tali yang berujung ke sebuah pohon. 

"Assalamu'alaikum…. Permisi…." Aku celingukan melihat sekeliling yang merupakan ladang basah.

Semacam sawah bisa dibilang, lalu ada pijakan untuk mencapai danau. 

"Tak ada orang-orang, Can. Duh, aku kedinginan betul." Ia memeluk dirinya sendiri dan mengusap-usap lengannya. 

"Mau aku peluk?" Aku menghadang jalannya. 

Ia menatapku sinis. Kemudian, ia menggeleng cepat. Aku terkekeh geli, kemudian menggosok kedua telapak tanganku dengan cepat dan menempelkannya ke pipinya. Aku melakukannya berulang, sampai aku merasa area wajahnya sedikit hangat. 

"Keknya aku perlu punya baju dari kain lebar kek kau, Can. Untuk antisipasi kalau tersesat lagi." Ia menggosok kedua telapak tangannya, kemudian menggenggam jemariku. 

Kami melakukan berulang, di depan sampan yang sepertinya tidak ada pemiliknya ini. 

"Sambil duduk, bisa? Kaki aku linu karena dingin." Ia menunjuk sebuah saung seperti tempat untuk berteduh di sawah. 

Kami semangat berjalan menuju tepian danau, karena aku melihat jejeran lahan basah ini. Ini adalah tanah yang diurus oleh manusia, aku yakin ada yang rutin datang mengurus ladang basah ini. 

"Kau sambil makan ya? Kita masih nyimpen beberapa jambu air kan?" Aku berbalik badan dan melihat jalan setapak untuk menuju ke sebuah saung. 

"Masih sekitar enam buah. Kita harus ketemu orang hari ini, karena kita tak punya persediaan makanan lagi." terdengar giginya bergemeletuk. 

Kenapa orang meninggalkan sampan? Atau memang ada seseorang yang tengah menjaga lahan basah ini? Atau memang sampannya sudah rusak? 

"Bentar-bentar." Aku mengamati sampan lebih dekat. 

"Aku kedinginan banget, Can." Ia merapatkan tubuhnya padaku. 

"Hmmm…." Tanganku meraih ujung sampan ini. 

"Tak ada dayungnya, Can." Ia menahan bahuku. "Awas, licin." Ia seperti menarik bahuku. 

"Iya." Aku segera bangkit. 

Jam berapa ya orang-orang mulai beraktivitas? Sudah tidak terdengar adzan Subuh, berarti sudah mulai pagi. Mungkin karena tidak ada dayungnya dan mesinnya, jadi sampan ini ditinggal begitu saja. 

"Can, dingin betul." Ia menggosok kedua telapak tangannya dan mengekori aku. 

Aduh, bagaimana ya caranya agar ia sedikit merasa hangat. Aku lahir di daerah yang dingin begini, jadi sudah sedikit toleransi dengan suhu yang cukup dingin begini. Entah karena aku memakai pakaian yang tidak tipis, sehingga cukup dirasa hangat ke tubuh dengan lapisan pakaian ini. 

"Sini, sini." Aku sudah duduk di saung, kemudian langsung meraih tangannya. 

Aku menggosokkan kedua telapak tanganku, kemudian menempelkan pada kulitnya berulang kali. Hanya cara ini yang bisa aku lakukan sejak tiga hari yang lalu. 

"Punggung aku, Can." Ia merapatkan tubuhnya padaku. 

Aku mengangguk, kemudian aku memasukkan tanganku ke dalam hoodienya. Aku menggosok-gosok punggungnya, seperti dalam posisi saling berpelukan dari depan. 

"Kau kuat, Rai?" Aku khawatir dengan kondisinya. 

"Udah mulai lebih hangat, udah tak kek tadi." Ia bersandar di bahuku. 

"Setelah sampai ke rumah, kau harus cek ke dokter." Ia memeluk dirinya sendiri, meski dagunya berada di bahuku. Tangannya tidak berada di punggungku. 

"Kau juga, nanti aku bilang ke orang tua aku." Karena aku merasa ia yang yang amat kelelahan. 

Ia mengalah denganku soal air minum, ia mengalah denganku soal makanan. Saat kakiku terkilir pun, beberapa kali ia membantuku berjalan atau menggendongku. 

"Kau mau bohongin orang tua kau dengan cerita apa? Aku ngerasa kau tak bisa bohong." Aku menggeser letak kepalaku. 

Ada gelenyar aneh saat suaranya berada di dekat telingaku. Meskipun pakaianku rapat, hembusan hangat dari napasnya terasa sekali. 

"Biar aku pikirkan nanti, yang penting kita pulang ke rumah dulu." Aku melepaskan punggungnya. Aku mulai menempelkan telapak tanganku di jemarinya dan wajahnya lagi. 

Aku mendengarnya menghela napas. "Tapi konsekuensinya aku dibui." Wajahnya nampak murung. 

"Kau ceroboh, tapi kau baik. Kau bawa aku pergi, kau pun usahakan aku kembali ke orang tuaku. Aku berterima kasih, karena tak semua orang bisa beruntung kek aku. Aku tak tau gimana caranya nolongin kau, tapi aku pasti minta bantuan ayah kalau kau benar sampai ditangkap polisi. Kalau keluarga kau tak dapat kabar apapun dari kau, aku minta alamat rumah kau aja, nanti aku yang kasih kabar untuk mereka misalkan kau dipenjara. Aku janji, aku tak akan buka suara kalau kau yang bawa aku pergi. Aku kembali dengan selamat pun, itu sebuah keberuntungan besar. Mungkin aku harus sedikit berterima kasih sama penjahat ini, biar kau tak makin lama dihukum di penjara." Aku menempelkan telapak tangannya ke kedua pipinya, aku membingkai wajah lesunya. 

"Aku minta maaf, Cani. Aku tau aku salah, tapi aku merasa tenang sejak bawa kau pergi. Aku jadi punya teman untuk berpetualang." Ia tersenyum manis. 

Aku terkekeh kecil. "Setidaknya, kita masih hidup." Mengingat nol sekali ilmu kami tentang alam. 

Intinya, kami harus menjauhi suara binatang apapun. Kami pernah mendengar suara kucing seperti terjepit, lalu di balik pohon yang tumbang kami dikejutkan dengan ular kobra yang mekar. Untungnya, kami masih sempat untuk menjauhi binatang itu. Dari situ kami tahu cara ular menjebak mangsanya. 

"Ada suara mesin perahu." Ray mengangkat telunjuknya ke atas dan tersenyum sumringah. 

Aku diam sejenak mendengar suara yang lamat-lamat itu, sampai aku girang karena mendengar suara mesin perahu juga. Aku langsung bangkit dan meluaskan pandanganku ke arah danau, akhirnya aku melihat aktif manusia yang tengah menebar jaring. 

"Cek…. Pak…. Tolong…." Aku berseru dengan melambaikan kedua tanganku, aku mencoba mengambil perhatian mereka. 

Semoga saja mereka mendengar suaraku, semoga saja suaraku menembus mesin perahu tersebut. Aku ingin segera ditolong, kemudian diantar pulang ke ayahku. 

Aku rindu panutanku, aku rindu kehangatan keluargaku. 

...****************...

Terpopuler

Comments

Red Velvet

Red Velvet

Lebih dari binatang buas, aku takut ketemu setan dihutan😭😭😭

2023-09-26

2

Red Velvet

Red Velvet

belum juga selamat udh mikir bakalam tersesat lgi aja 😅

2023-09-26

2

Red Velvet

Red Velvet

Sampai 3hari mencari jalan menuju lokasi terdekat, gak kebayang tuh badan pasti remuk rasanya

2023-09-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!