PdAS6. Tambak bang Chandra

"Cek tolongin kami, tolong antar kami ke tambak bang Chandra." Aku menyatukan kedua telapak tanganku di depan dada. 

"Adek nih kenapa pagi-pagi ada di sini?" Ia mengatur dan mematikan mesin perahunya. 

"Kami tersesat, Pak," aku Rai dengan lemas. 

Ia tidak baik-baik saja, aku yakin kondisinya tengah lemah sekarang. 

"Tambak bang Chandra jauh, di seberang sana." Ia menunjuk arah lurus ke depan kami. 

Jadi bukit yang tadi kami lewati menjadi pemandangan tepat di depan tambak bang Chandra. Namun, memang jaraknya cukup jauh. 

"Cek, kami minta tolong diantar ke tambak bang Chandra. Nanti di sana diganti uang minyak." Aku paham ia keberatan dengan bahan bakar perahunya. 

Belum tentu perekonomiannya bagus, ia pun sedang berusaha untuk mencari nafkah. Jangan sampai dengan membantuku, ia malah tidak membawa rezeki ke rumah, karena uangnya malah untuk membeli bensin. 

"Adek dari kapan udah di sini? Kesasar sejak kapan?" Ia berpegangan pada perahu yang tidak bertuan itu. 

"Panjang ceritanya, Cek." Aku tidak mau membuka rasa penasaran orang tentang aku yang dinyatakan hilang kemarin. 

"Lempar talinya ke sini, Cek." Rai membantu pemilik perahu itu, agar perahunya menepi dan kami bisa naik. 

"Can, kau naiklah lebih dulu. Pijak ini." Rai membantuku dengan memegangi tanganku. 

"Ati-ati, Dek." Pemilik perahu membantuku juga. 

"Duduk sebelah sini, biar seimbang, Dek." Pemilik perahu menunjuk titik yang harus aku duduki. 

"Ayo, Bang." Giliran pemilik perahu membantu Rai untuk naik dan duduk. 

Perahunya bukan perahu besar, mungkin perahu ini hanya muat lima penumpang saja. Tapi pemilik perahu membawa perahu ini seorang diri, entah tujuannya untuk mencari ikan atau hal lain. 

"Saya cuma punya teh manis hangat." Pemilik perahu mengambil sebuah termos kecil dan memberikan padaku, padahal Rai lebih dekat dengannya. 

"Makasih, Cek." Aku membuka tutup termos tersebut, kemudian memberikan pada Rai. 

Rai jelas lebih membutuhkan. Ia tengah dalam kondisi kedinginan dan ia sangat lemah. 

"Buat kau aja." Rai menggeleng saat aku menyodorkan ke mulutnya. 

Perahu mulai berjalan dan mesinnya mengganggu pendengaran. 

"Rai, kau mau antar aku ke ayah kan? Kau harus bertenaga biar kuat menghadapi kenyataan." Kenyataan bahwa ayah bisa saja mengamuk dan mengintimidasi dirinya. 

"Kenyataan apa? Hufftttt…." Rai meraih termos kecil ini. "Biar aku mau minum, kau ini ada aja mulutnya." Ia menempelkan bibir termos ini ke bibirnya. 

Aku terkekeh kecil. Aku tak akan mengatakan apapun, sampai ia nanti tahu sendiri. Yang terpenting, aku ingin ia tetap baik-baik saja dan kuat sampai mendapat pertolongan medis. Setidaknya, aku amat bersyukur karena bertemu dengan manusia dan ada yang membantu kami

"Adek rumahnya dekat tambak bang Chandra?" Suara pemilik perahu terdengar lamat-lamat, karena tersamarkan dengan suara mesin perahu. 

"Nanti minta antar ke bilik istirahatnya cek Hendrik ya, Cek? Saya kenal dia, tapi rumah Saya jauh dari tambak bang Chandra, Cek." Aku tak mungkin mengatakan bahwa aku adalah keluarga bang Chandra. 

Karena selebaran informasi tentang aku hilang itu pasti tersebar di mana-mana. Sedangkan aku ditemukan dengan laki-laki, aku tak mau mengundang asumsi orang bahwa aku lari dengan pacarku. Nanti nama besar ayah bisa rusak, nanti nama besar almarhum kakekku bisa tergerus opini masyarakat. 

"Oh siap, Dek." Pemilik perahu itu mengangguk. 

Semoga cek Hendrik memiliki uang untuk membayar uang minyak pemilik perahu ini, agar ia senang karena sudah membantu kami. 

"Can, minumlah." Rai menyodorkan termos kecil itu padaku. 

Aku melihat isinya, sinar fajar cukup untuk membuatku melihat dalam termos ini. 

"Baru sedikit kau minum, habiskan setengahnya." Aku memberikan lagi padanya, kemudian aku melirik ke pemilik perahu yang berada di belakang Rai. "Cek, nanti teh manisnya diganti aja ya? Maaf, kami habiskan." Aku tak mau ia menggerutu di belakang kami. 

Bukan maksud membayar segala sesuatu dengan uang, tapi aku mencoba memberikan timbal balik yang baik. 

"Tak apa dihabiskan aja, Dek." Pemilik perahu tersenyum ramah. 

Aduh, malunya. Suara perutku terdengar lagi. 

"Can, ganjal dulu dengan minuman manis. Nih, udah setengahnya." Mungkin Rai mendengar suara perutku. 

Aku ingin makan nasi dan abon sapi. Sepertinya nikmat sekali bila nasinya hangat. Aku sudah tidak sabar ingin cepat sampai ke rumah, karena membayangkan ayah yang selalu mengupayakan makanan yang aku inginkan. 

"Oke." Aku membawa termos itu ke balik cadar. 

Manis sedang, sepetnya dapat. 

"Cek orang mana? Namanya siapa, Cek?" Aku berniat memberitahu ayah, bahwa orang ini yang mendengar suaraku meminta tolong agar aku diangkut di perahunya. 

"Tempat tinggal Saya di sebelah sana." Pemilik perahu menunjuk daratan yang terlihat di bagian kanan tempat kami, sedangkan tambak bang Chandra di depan kami. 

"Nama Saya Dahlan," lanjutnya kemudian. 

Aku mengangguk kemudian tersenyum, entah ia melihat tidak senyumanku. 

Tidak terasa, akhirnya sampai juga di bilik istirahat yang terbuat dari kayu yang cek Hendrik tempati. Cek Hendrik adalah seseorang yang menjadi penjaga tambak dan tinggal di situ. 

Ia tengah beraktivitas di tambak bang Chandra. Ia memperhatikan perahu kami yang singgah di ujung teras kayu, kemudian cek Dahlan mengikat perahunya pada tumpuan yang tersedia. 

"Cek Hendrik…." Aku melambaikan tangannya padanya. 

Tempatnya berdiri tidak jauh, aku yakin ia mendengar suaraku. Buktinya, ia langsung berlari dan meninggalkan aktivitasnya. 

"Ya Allah, Kak Cani. Alhamdulillah, akhirnya pulang juga." Ia bergegas untuk membantuku naik dari perahu. 

"Ada di ujung sana, tak tau udah berapa lama di sana." Cek Dahlan menunjuk tempat awal kami bertemu. 

"Tolong bantu teman aku, Cek." Aku menunjuk Rai. 

Cek Hendrik membantu Rai untuk naik juga. 

"Gimana ceritanya Kakak ada di sana?" Ia memandangku kembali dan memperhatikan kondisiku. 

Ia memanggilku 'kak', karena menghormati posisi keluargaku.

"Nanti aku ceritain, Cek. Boleh pinjam uang dulu? Untuk ganti minyak perahunya Cek Dahlan." Aku menunjuk mesin perahu tersebut yang masih berdengung. 

"Ada, Kak. Ya Allah, Kak. Tak usah diganti." Ia berlari cepat ke bilik istirahatnya. 

Kemudian ia kembali dan memberikan tiga lembar uang berwarna merah itu pada cek Dahlan. Tentunya ratusan ribu, bukan sepuluh ribuan. 

"Makasih ya? Nanti Saya sampaikan ke…."

Aku menggeleng berulang, aku tak ingin cek Hendrik memberitahu cek Dahlan bahwa aku adik pemilik tambak besar ini. 

Cek Hendrik melirikku, kemudian ia tersenyum kaku pada cek Dahlan. "Makasih ya udah anterin? Nanti ngopi-ngopi di sini ya?"

"Ya, Cek. Saya banyak kerjaan ini." Cek Dahlan melepaskan tali yang ditautkan ke kayu penahan dengan dibantu dengan Rai. 

"Makasih, Cek. Maaf mengganggu." Rai berbicara pada cek Dahlan. 

"Ya, Bang. Ati-ati pulangnya, Bang." Lalu cek Dahlan melirikku. "Mari, Dek." Ia tersenyum ramah. 

"Ya, Cek. Cek juga ati-ati cari nafkahnya. Makasih untuk semuanya, Cek." Aku membalas senyumnya, kemudian menyatukan telapak tanganku di depan dadaku. 

"Dek…. Lapar tak? Haus tak? Ayo istirahat dulu." Cek Hendrik menggiring kami. 

"Cek, jangan kabarin ayah. Tapi minta antarkan kami pulang, teman aku kurang sehat." Aku menggandeng Rai. 

Rai melirik tangannya yang aku genggam. 

...****************...

Terpopuler

Comments

Red Velvet

Red Velvet

jauh banget Cani tersesat nya😥😥😥

2023-09-27

1

Red Velvet

Red Velvet

ya kau harus siap2 Rai,,, kita gak tau apa yg bakalan terjadi saat kepulangan Cani nanti. yg jelas laporan ke polisi itu udh pasti menurutku

2023-09-27

1

YL89

YL89

lebih adem rsnya sm Karakter rai ini,,cocok sm dek Cani!!wlupn g brpendidikan klo dgembleng ayh ipan bs jd org sukses dan lg pn nampak orgnya hangat dan penyayang

2023-09-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!