"Kamu tuh cungkring, letoy." Aku mencoba bangkit, karena ia malah memeluk pohon setelah melangkah cukup jauh.
"Ngap, napas aku Senin Kamis." Ia merosot ke bawah, kemudian melepaskan ranselku.
"Ya udah istirahat aja." Aku duduk di sampingnya.
"Ya kapan sampai, Can?" Ia menoleh ke arahku.
"Tak tau. Tapi kau mau mati sih, ya gimana kan?" Aku memperhatikan wajahnya. Namun, tiba-tiba ia menoleh cepat ke arahku.
Aku cekikikan sendiri, karena melihat wajah masamnya.
"Sembarangan! Aku tak boleh mati, kalau kita belum nemu jalanan. Kau harus balik ke kehidupan kau, aku terbebani betul ngasih makan kau dan jagain kau. Meski cuma makan pisang."
Giliran aku yang memberikan tatapan sengit.
Ia yang malah terkekeh geli. "Aku kasihan terus sama kau."
"Ehh, ini tempat yang lebih tinggi kan?" Aku memperhatikan sekitarku.
"Iya, makanya berasa betul pas naik tadi. Mana baju kau berlapis lagi, ada kali lima kilonya bajunya aja." Ia menyeka keringatnya.
Sepertinya, aku mengenal perbukitan ini.
"Ray…. Tengok itu." Aku menunjuk danau yang mengintip dari bukit yang berada di sebelah kirinya.
"Siapa Ray?" Ia menyatukan alisnya dan menoleh ke arahku, bukannya malah melihat ke arah yang aku tunjuk.
"Kau." Aku menoleh juga ke arahnya, wajah kami saling berhadapan meski tidak sedekat yang dibayangkan.
"Rai, bukan Ray. Ra-i, gitu loh. Bukan Ray, dipenggal jadi dua kata." Ia memperjelas pengucapannya.
Ohh, namanya begitu.
"Oke, oke. Tuh lihat." Aku menunjukkan danau yang aku temukan.
"Apa itu?" Ia mengarahkan pandangannya ke arah yang aku tunjuk.
"Itu Danau Lot Tawar kan?" Aku merasa familiar dengan tempat itu, karena kakak laki-lakiku memiliki tambak di sana dan aku beberapa diajak ke sana.
"Tak tau, tapi…." Ia bangkit dari posisinya. "Ada kehidupan manusia di sana." Ia menoleh padaku dan tersenyum semangat.
"Ayo kita ke sana." Aku bangkit dan langsung menggoyangkan lengannya.
"Tunggu, tunggu." Ia bergerak beberapa langkah menjauh dariku, mungkin ia ingin melihat danau itu lebih jelas.
"Rai, jangan jauh-jauh." Aku berseru, karena ia tersamarkan dengan pepohonan.
"Bentar, Can," sahutnya mengambang.
Aku celingukan, aku mulai was-was akan binatang buas. Mana ia tak kunjung kembali lagi. Apa ia ingin ke danau itu sendiri? Lalu bagaimana dengan aku? Katanya ia ingin mengantarku pulang?
"Rai…." Aku duduk memeluk lututku sendiri, karena aku mulai dikerubungi perasaan takut dan khawatir.
Aku menoleh ke arah perginya dirinya. "Rai….," panggilku kemudian.
Namun, tidak ada sahutan darinya. Tidak ada pantulan suaranya, tidak ada suaranya yang mengambang.
"Rai…." Air mataku mulai jatuh, aku celingukan untuk memastikan bahwa aku tidak didekati binatang buas.
"Rai…. Ayah…. Kakek…." Aku menyembunyikan wajahku pada lenganku.
Bagaimana caranya aku pulang, jika Rai pulang duluan? Bagaimana caranya aku menuju danau itu, jika Rai mencari jalan keluar sendiri? Apa aku turun duluan saja? Tapi aku takut salah jalan dan aku berada di seberang danau yang tidak ada kehidupan manusia.
"Rai…." Aku menoleh kembali ke arah perginya dirinya.
"Hhhaaaaahhhhh!" Aku tersentak kaget dan hampir oleng tergelincir ke belakang.
Namun, laki-laki begal itu langsung mencekal tanganku dan menahannya.
Ia terkekeh geli. "Kok malah nangis?"
Sejak kapan ia memamerkan giginya di sampingku? Saat aku menoleh, penampakan giginya yang menguning itu yang aku dapati. Ya bagaimana tidak kaget aku melihatnya? Aku sejak tadi kan seorang diri, aku tidak tahu kapan ia datang.
"Kau tak datang-datang, aku takut ditinggal." Aku mencoba melepaskan tangannya yang mencekal lenganku. Kemudian, aku memukuli lengannya.
"Tak akan aku tinggal, kalau kau belum masuk ke rumah kau. Tenang aja, aku cuma cari jalan." Ia menahan tanganku yang memukuli lengannya.
"Aku takut." Tangisku lepas kembali.
"Shhhttttttt…. Cep, cep, cep…. Aku tau jalannya, Can. Kalau ke arah sana, kita ke arah belakang danau. Kalau ke depan sana, kita bisa ketemu hutan pinus dan tak jauh dari sana ada jejeran tambak. Cuma, kita harus lewatin satu bukit yang lumayan itu." Ia menunjukkan bukit itu.
"Ayo." Tangisku mereda karena aku fokus mendengarkan ucapannya.
"Tapi, apa kita bisa jalan lurus? Apa kita bisa turun di sisi bukit bagian depan? Kalau kita melenceng, kita bisa lebih jauh dari danau itu."
Tantangan lagi saja.
"Tapi kalau kita tak coba, kita tak akan ketemu manusia lagi. Tadi di sana aja malah ketemu b***hutan, mesti aja kita naik-naik ke pohon." Aku jadi tahu caranya agar aman dari b*** hutan.
Binatang itu yang paling banyak kita jumpai. Bukan masalah najisnya, tapi aku takut digigit bahkan diseruduk. Masih mending jika b*** hutannya ada satu, kalau b*** hutannya bergerombol ya bisa-bisa mereka makan besar, meski sebagian besar tubuh kami sudah tinggal tulang belulang begini.
"Ayo, kita sama-sama. Kalau ada sungai kecil, bisa kita ikuti sungai itu. Karena biasanya sungai bermuara di air besar." Ia bangkit dan meraih ranselku.
Bukit itu tidak sebesar gunung. Hanya saja, lebih besar ukurannya dari tanah yang aku pijak ini.
"Pelan-pelan, Rai." Aku bangkit dan meraih lengannya karena jalanan menurun.
Ia malah memperhatikan tanganku, bukannya cepat melangkah.
"Kenapa?" Aku mengerutkan dahulu, meski aku tahu ia tidak akan melihatnya.
"Pegang-pegang, apa boleh?" Ia memperhatikanku.
"Jalanannya menurun, aku takut jatuh. Maaf ya? Aku pegang bagian yang terlapisi jaket kok." Aku tidak menggenggam pergelangan tangannya juga.
"Oh, ya udah. Aku takut aku yang salah." Ia mulai melangkah.
"Bismillahirrahmanirrahim…." Aku mengikuti langkah kakinya.
Kami hanya beristirahat untuk makan dan minum. Di bawah bukit sebelum naik ke bukit di depan kami pun, kami menemukan sumber air dan mengisi botol air minum kami. Tak luput juga, kami mengambil buah yang kami temukan di jalan. Perbukitan ini pun, sudah bercampur dengan beberapa pohon pinus.
Kami terus melangkah dengan hati senang, karena akan segera bertemu dengan orang-orang. Hingga tidak terasa hari mulai gelap dan rasa dingin yang lebih dingin dari tempat sebelumnya menyerang. Aku mulai panik, karena sadar kami sudah berada di dataran yang lebih tinggi.
"Dingin, takut hipotermia." Aku mendekatkan diriku padanya.
"Gimana kalau tetap gerak? Biar tak terasa dinginnya? Aku lupa cari daun untuk selimut lagi, karena asyik jalan aja." Ia menggosokkan kedua telapak tangannya.
Penerangan kami hanya sinar bulan yang menembus lewat dedaunan. Setiap malam kami selalu mencari tanah yang lebih lapang, agar mendapatkan sinar bulan yang maksimal. Tapi kali ini kami terjebak di bawah pepohonan rindang, terang saja aku takut akan binatang melata karena pandangan kami terbatas.
"Ya udah kita terus jalan aja, tak apa aku tak tidur malam ini." Aku sebenarnya takut didekati ular jika kami sama-sama terlelap.
"Kalau capek bilang ya? Jangan sampai pas pulang ke rumah kau malah sakit." Ia memberikan telapak tangannya untuk menutup jemariku.
Hangat, mungkin karena habis menggosok telapak tangannya. Tapi ini cukup nyaman, meski aku tahu ini tidaklah diperbolehkan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
PUJIWIDODO 18
Rai laki2 yg baik, lugu, polos, jd Cani nyaman bersamanya, ntar klo sdh sama si tengil kaf gmn critanya yaa...
2023-09-25
1
Edelweiss🍀
Kenangan2 manis ini tercipta begitu saja, sehingga saatnya nanti Cani kembali pulang dia auto rindu sosok Rai yg menjaganya selama ini. Kaf, nasibmu bang. Akankah hubungan kalian bakalan bermuara pd kebahagiaan atau sesuatu yg dipaksakan bakalan berujung menjadi saling menyakiti😥😥😥
2023-09-25
2
Edelweiss🍀
aku gak tahan dingin, auto bergetar nih badan🙄
2023-09-25
2