"Rai, kau sehat?" Aku mengusap lengannya yang penuh tato.
Ia seperti tertekan.
"Aku ngerasa lebih baik, tapi aku takut ada di tangan keluarga kau. Rasanya, sorot matanya aja udah nyalahin aku. Lebih baik aku dipolisikan dengan kasus kemarin, daripada ditambah dengan kasus kau. Kalian orang yang punya kuasa, udah pasti aku tak akan pernah lihat dunia luar lagi sekalinya dipenjara dengan kasus culik kau. Aku minta maaf, aku tak sengaja, Can…." Ia memasang kedua telapak tangannya di depan wajahnya yang sedikit tertunduk.
Ia sampai seperti ini.
"Kau tenang aja, kita bakal antar kau pulang." Aku menarik napas lebih panjang. "Jadi, kau tak betah kalau hidup sama aku?" Aku langsung membekap mulutku sendiri dari luar cadar.
Alisnya menyatu, mulutnya tak kunjung menjawab. "Apa yang kau pikirkan, Can?" Ekspresinya tidak kunjung berubah.
Bagaimana ya cara bicaranya? Aku tidak pernah basa-basi dan aku tidak pernah banyak bicara.
"Kau tak punya niatan untuk nikahin aku?" Aku langsung tertunduk malu, rasanya seperti ditonton orang satu desa, padahal di ruangan ini hanya ada dirinya.
"Kau kenapa, Can?"
Kenapa ia masih bertanya saja? Apa ucapanku kurang jelas?
Aku memandangnya lagi, alisnya masih menyatu dan dahinya masih mengkerut. Ekspresinya tidak beda jauh sejak awal, apa ia merasa heran dengan ucapanku?
"Aku mau tau aja." Aku membuang napasku perlahan.
"Kau harapin apa dari aku? Aku janjikan nasi putih dan rendang aja sampai hari ini tak bisa aku penuhi. Lagipula, aku tak pernah sekalipun ngebayangin pernikahan."
Kok sesak ya?
"Oh gitu." Aku mengatur napasku dan duduk di sofa terdekat.
Kakiku mendadak lemas.
"Ada apa? Apa kau jadi gunjingan? Aku berani bersumpah sama orang tua kau, kalau aku tak berlaku macam-macam ke kau. Apa aku dituntut tanggung jawab untuk itu? Aku tak ada niatan untuk menikah, apalagi harus melamar anak orang kaya. Setidaknya, aku harus tau diri. Meskipun miskin, tak berpendidikan, tapi aku punya harga diri. Kalaupun memang suatu saat aku berjodoh dengan seorang perempuan, aku pengennya derajat dia di bawah aku, biar aku bisa dihormati olehnya."
Apa karena ini, ia menghindar jika aku menyentuhnya? Apa karena ini, ia selalu menahan dirinya? Tapi harusnya aku senang, karena ia tahu batasannya. Bukan malah kecewa dan berpikir ke mana-mana.
"Kau akan diantar dokter Kaf. Di rumah lagi banyak masalah, ayah tak bisa bantu kau untuk sebuah pekerjaan." Aku menelan ludahku dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Rasanya malu sekali seolah menawarkan diri seperti ini. Bukan maksud hati merendahkan marwahku sendiri, tapi aku ingin memastikan sendiri bahwa ia memiliki kenyamanan yang sama sepertiku atau tidak. Tapi sudah jelas jawabannya, mungkin aku harus belajar ikhlas dan menerima takdir yang sudah Kaf tawarkan.
Ia laki-laki baik, tak patut aku menyakitinya. Lagipula aku siapa, sampai harus mempersulit kebahagiaan Kaf? Namun, apakah kelak nanti aku bisa merasakan kebahagiaan juga?
Jika dipikir kembali, tidak ada salahnya juga menjadi pelangi di awan seseorang. Tidak rugi untukku, bukan? Jika harus menjadi kebahagiaan untuk Kaf. Dengan kita menjadi pelangi di awan seseorang, kita memiliki kekuatan untuk menghadirkan kegembiraan, kebahagiaan dan harapan seseorang. Bukankah melihat orang lain bahagia, kita bisa ikut merasakannya juga?
Aku tidak boleh mengusahakan seseorang yang tidak mengharapkan kita, bisa jadi itu musibah untukku. Lalu, perkataan dari mulut Rai adalah penyelamat agar aku tidak mendapat musibah besar karena rasa nyaman yang terlanjur berkembang itu.
Kaf juga laki-laki, ia pasti memiliki rasa kasih dan pelindung yang Rai ciptakan. Tiga hari aku bolak-balik ke rumahnya, selama itu pun frekuensi kami bertemu jauh lebih sering dan intens. Mungkin aku hanya perlu membiasakan, toh papa Ghifar adalah laki-laki lembut berhati halus, pasti keturunannya tidak jauh beda.
"Dokter Kaf udah bilang, sore nanti dia antar aku pulang. Aku udah diberi uang saku, apa kau masih nunggu nasi sama rendang yang aku janjikan? Aku ganti uang aja ya?"
Aku melihat ke arahnya, ia tengah merogoh kantongnya dan jemarinya keluar dengan mengapit lembaran uang.
Ia penjahat, tapi seperti ini? Ya Allah, hatiku salah bernaung. Ia baik, tapi mungkin menurut versiMu, dia bukanlah yang terbaik untukku dan segala sifat burukku.
"Kau tak perlu tawarkan untuk penuhi janji kau." Aku tersenyum merespon kebaikannya.
"Biasanya dua puluh lima ribu, nasi, sayur hijau dan rendang. Kau punya kembalian?" Ia mengulurkan uang berwarna biru.
Aku tertawa sampai bersuara. Tawanya kudengar juga, entah ia sengaja atau tidak untuk menciptakan sebuah kalimat seperti itu.
"Aku bercanda, Can. Aku nitip satu porsi lagi untuk ayah ya? Makasih karena tak memperpanjang kasus ini, ayah orang baik, pasti keberuntungan selalu berbalik ke anak-anaknya. Kau salah satu keberuntungan yang ayah kau dapatkan, Can. Kau bisa pulang dengan selamat dan kau sehat-sehat terus, Can. Aku yang udah biasa jarang makan, telat makan, makan sembarang, perut aku tak sanggup hanya makan buah yang kita dapat. Kau yang ini itu selalu teratur, terjamin kebersihannya, kau bisa tetap sehat sampai sekarang. Kau harus yakini ayah kau orang baik dan kau bentuk keberuntungan dari hasil kebaikan ayah kau, Can. Kelak kau udah nikah sama seorang laki-laki, kau usahakan urus masa tuanya orang tua kau. Ibu kau jembatan doa kau ke Yang Kuasa, ayah kau diibaratkan jalanan mulus kalau kau bisa memperlakukan ayah kau dengan baik."
Ini benar tidak seperti penjahat malah menasehatiku?
"Kau cuma bersyukur karena ayah tak bawa naik kasus kau kan?" Telunjukku mengarah ke arahnya dan aku terkekeh kecil untuk mencairkan suasana.
"Aku serius kali." Ia memutar bola matanya dan menghela napasnya. "Aku bilang ke ayah kau, aku pasrah terserah bapak mau apakan aku. Karena aku ini takut, Can. Aku tak minta belas kasih, tapi kalau bisa maafkan kesalahan aku, aku tak sengaja jadikan Chandani teman berkelana. Ayah malah bilang, tak usah kau pikirkan ini itu, yang penting Cani pulang dalam keadaan selamat dan sehat."
Ayah pun pernah mengatakan yang penting aku pulang. Mungkin ayah lelah untuk memperkeruh hidupnya, karena ayah sering bilang ingin masa tuanya tentram tanpa berurusan dengan hukum atau masalah yang membuatnya cepat mati katanya. Ia hanya berharap aku pulang dalam keadaan selamat dan ternyata benar aku bisa pulang kembali dengan keadaan yang sama seperti saat aku pergi, minus ponselku saja yang tidak kuat menghadap medan perjalananku saat menghilang. Hingga sampai sekarang, aku belum memiliki ponsel lagi karena ayah tengah sibuk dan aku tidak bisa pergi tanpa izin panutanku itu.
"Payakumbuhnya di mana? Berapa umur ibu kau dan adik kau?" Jika keluarganya di sini untuk bekerja, pasti aku masih bisa mengetahui tentang kabarnya.
Tapi, apa itu tidak akan menyakiti hati Kaf? Kenapa aku seolah mengambil kesempatan untuk tetap bisa tahu kabarnya?
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Cahaya Perantauan
haduuuh
2023-10-04
2
Red Velvet
Cani, hati2 ngobrol nya takut Kaf denger dia sakit hati
2023-10-04
2
Red Velvet
nasihat adalah kata2 yg keluar, bukan ttg siapa yg berkata2 tp apa yg dikatakannya
2023-10-04
2