Malam harinya, aku berada di kamar dengan pintu terbuka yang diganjal oleh tubuh anaknya kakakku. Ia duduk di pintu kamarku dan tengah menyantap makan malam, Galen anteng dengan ponsel ibunya yang ia gondol dan mainkan.
"Bang, cicip dong makanannya." Aku menunjuk isi piringnya dari atas ranjang.
Ayah dan biyung terlihat dari tempatku juga, ia tengah menonton televisi segaris lurus dengan ranjangku dan pintu kamar yang Galen kuasai juga sofa ruang keluarga yang berada di luar kamarku.
Cucu laki-laki yang mirip ayah itu melirikku dan memamerkan giginya. Ia suka sekali tersenyum dan meledek orang, padahal jika ia sendiri yang diledek malah menangis.
Aku kembali fokus ke ponsel biyung, karena Galen hanya tersenyum tok dan tidak memberikan sepotong makanannya. Ah, pelit sekali anak itu padahal cuma telur dadar.
Beberapa produk kecantikan aku masukan ke dalam troli belanjaan online di ponsel biyung, masalah pembayaran biar jadi urusan ayah karena biyung pun hanya paham COD. Aku meluruskan kedua kakiku dan menarik sebuah bantal, agar aku lebih nyaman bertapa di atas ranjang ini.
"Assalamu'alaikum, beban hidupku. Bagaimana kabarmu, Adek Cani?" Pekik seseorang yang tiba-tiba memberikan kantong plastik makanan yang dari baunya terasa seperti bumbu kacang di depan wajahku yang tengah tertunduk.
"Kaf!!!" Aku meraih selimut untuk menutupi wajahku.
Aku tidak memakai penutup.
"Wah, lebay. Udah tau kali." Ia duduk di tepian tempat tidurku.
"Nih satenya, Cantik. Boleh minta cium tak untuk ongkos satenya?" Ia menaruh plastik tersebut di pangkuanku.
"Ambilin penutup muka aku dulu, aku tak pede." Rasanya seperti tidak memakai baju.
"Hmm, di mana?" Kaf bangkit dari sisiku.
"Ambilin yang baru aja di lemari." Aku menunjuk lemari pakaianku.
Tak lama, ia kembali dengan penutup yang tidak senada dengan warna pakaianku. Ingin komplain rasanya, tapi rasanya lebih malu jika tidak memakai penutup.
"Gimana kabarnya, Dek?" Kaf bertopang dagu dengan memperhatikanku dengan lekat.
Laki-laki ini, kadang membuatku ilfeel saja.
"Alhamdulillah, luar biasa, Allahuakbar, yes," jawabku dengan satu tarikan napas.
Ia tertawa geli, begitu juga Galen yang tiba-tiba naik ke pangkuanku dan ikut serta dalam tawa Kaf.
"Ada depan mata juga, nanyain kabar terus." Aku meliriknya sinis.
"Terus nanya apa? Masih perawan tak gitu?" Ia memandangku dan mengalihkan perhatiannya ke Galen yang melipir dengan lanjut bermain ponsel ibunya.
Nasi dan telur dadar itu ditinggal begitu saja.
"Kaf!" Aku tersinggung dengan pertanyaannya.
"Halah! Yang penting kau istri aku, Dek. Sedih kalau mikirin macam-macam, ngerasa bersalah malah kelupaan simpan anting itu." Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidurku.
Aku menoleh ke arah ayah yang terlihat dari tempatku. "Ayah…. Kok Kaf masuk-masuk sih?" Aku mengajukan protes.
Biyung dan ayah nyelinguk ke sini. "Kelihatan Ayah, Dek," terang ayah lembut.
Ya iya juga sih, ayah tetap menjagaku.
"Bang, sana keluar. Pakcik lagi pacaran juga." Kaf menarik-narik kaki Galen.
"Tak ada teman." Ia merengek dengan mencoba melepaskan kakinya dari tangan Kaf.
"Abang kau mana? Sana sama abang." Kaf menyentuh asal dan berulang pada bagian layar ponsel yang Galen mainkan.
"Pakcik…." Galen merengek den berguling-guling di kasurku dengan menendangi wajah Kaf.
Kaf langsung menghindar dan merisingis, karena beberapa kali terkena serangan kaki Galen yang lincah.
"Ya udah, ya udah, boleh di sini. Anteng tuh…." Kaf mengunci dua kaki Galen.
"Iya, Pakcik." Galen berbaring memunggungiku.
"Pulang sana, Kaf." Aku memukulnya pelan dengan sebuah bantal.
Ia mengambil alih bantal yang mendarat di tubuhnya itu. "Maharnya apa, Dek?" Ia menarik jemari kakiku dan membunyikannya.
Ada saja tangannya itu, tidak mau anteng. Rai mana berani begini, sekalipun kakiku berkaos kaki seperti saat ini juga.
"Kaf, siapa yang mau nikah coba?!" Aku mundur, agar Kaf tidak mampu meraih kakiku.
"Kita, Dek Cani. Biar aku jagain, biar jelas kalau suami yang bawa. Daripada begini, laki-laki lain yang bawa. Namanya orang ya orang, mesti aja nyebarin cerita singkat yang buat orang nuduh tak-tak tentang kau. Kita nikah, biar tak ada fitnah buruk tentang kau lari dengan laki-laki. Apa memang kau tak cocok sama aku?" Nada bicaranya sedih dan pasrah.
"Mau, Kaf. Aku cocok sama kau, tenang aja!" Aku paling tidak bisa, jika ia melempar pertanyaan begini. Aku salah jawab, khawatirnya tali persaudaraan ayah dan adiknya yang merenggang.
"Baru juga aku sampai, duduk ngopi depan ruko galon biyung. Tetangga pada datang dan ngomong, Cani katanya pulang dengan laki-laki, benar ya dia pergi sama laki-laki, waduh sembilan belas hari hilang dan pergi sama laki-laki, pulang-pulang udah isi tuh. Ayah juga bilang, malu Kaf, jangan sampai Cani bersosialisasi dengan siapapun dulu, mulut orang bikin kepikiran. Mana sekarang katanya laki-laki kau itu di klinik, ya makin kenceng kabar yang tak-tak dikira orang dibuat babak belur sama ayah." Kaf berbicara lirih, tapi karena suaranya ngebass jadi kata-katanya terdengar jelas.
Jadi kami menikah untuk melindungi nama baikku dan ayahku? Aku tidak pergi untuk laki-laki itu, aku tidak pergi dengan mauku bersama Rai. Jadi kesimpulannya, pernikahan ini alternatif terbaiknya.
Ternyata ini tujuan ayah melarangku menghubungi teman atau pihak kampus. Banyak kabar tidak baik tentangku di luar rumah, sedangkan ayah tidak mau aku mendengar kabar itu dari teman-teman yang aku hubungi.
"Perasaan aku pulang tak ada yang tau." Aku sampai di rumah sekitar jam tujuh pagi, entah kurang atau lebih. Yang jelas, aku merasa minim orang lalu lalang di depan rumah.
Kecuali, buruh ladang keluarga besarku.
"Udah, yang penting nikah cepat aja biar tak ada yang fitnah lagi. Kalaupun hamil, ya hamil sama suaminya. Bukan hamil di luar nikah, mana anak yang paling terpuji lagi. Sesak orang tua dengar kabar begini-begitu." Kaf memeluk bantal yang aku lempar tadi.
"Kaf…," panggil ayah kemudian.
Kaf melirik ke arah pintu. "Ada, Yah. Masih ngobrol." Gerakan mata Kaf terlihat lelah.
"Aku lagi haid, aku tak hamil, Kaf. Kok kau nuduh aku gitu sih?" Aku sedih mendengarnya mengatakan hal itu.
Ia pasang badan untukku, tapi mulutnya membuatku sedih. Aku tidak sehina itu, aku tidak sebodoh itu.
"Aku tak nuduh, Dek. Maksudnya, kalau hamil kan ada suaminya. Sekarang, misal hamil. Hayo, hamil sama siapa? Belum punya suami." Ia menunjukku dan menahan tawa.
Ya sama saja intinya, secara tidak langsung dia beranggapan bahwa aku sudah jauh dengan Rai.
"Ya udah langsung nikah aja, terserah kau." Aku tertunduk menahan air mata. Maksudnya baik, tapi hati kecilku tersinggung.
"Maharnya apa, Dek?" tanyanya lembut.
Mungkin ia tidak sadar membuatku menangis. Mungkin juga, ia tidak tahu jika perkataannya membuatku tersinggung.
"Terserah aja." Nyatanya suaraku bergetar.
"Kau berat nentuin? Apa kau udah nikah kemarin?"
Apa yang ada di pikiran Kaf? Bisa-bisa tangisku makin lepas jika begini.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
PUJIWIDODO 18
apa kaff ikut kemakan omongan tetangga??
2023-10-02
2
YL89
kaf jg sayang sm dek cani,,,tp Caninya nyaman sm Rai!!gmn donk...
2023-10-02
2
mboke nio
cani...cani...jangan sampai kau seperti kakakmu ra ya terpesona akhirnya termehak mehek...
2023-10-02
2