Keesokan harinya Arvin tak menjemput Aurora karena jam mata kuliah mereka berbeda. Sejujurnya Arvin juga sudah tak bersemangat kuliah lagi, karena tak ada beasiswa yang membantunya.
Aurora pun berangkat dengan diantarkan supir hingga tiba di kampusnya.
Ia sengaja datang lebih awal karena ingin mencari Tristan. Namun saat Aurora menemuinya di ruang kebanggan lelaki itu, hanya ada Indra dan Reza saja yang sedang mengobrol bersama.
"Eh Aurora, cari Tristan?" tanya Indra ketika melihat Aurora berdiri di depan pintu.
"Iya, kemana dia?" tanya nya ketus sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang tidak terlalu besar itu.
"Dia belum datang Ra, kuliah kami juga masih satu jam lagi," jawab Reza.
"Oke, baiklah," jawab Aurora singkat lalu segera pergi meninggalkan tempat itu.
Indra dan Reza berpandangan. Kenapa gadis itu datang sepertinya dengan membawa kemarahan?
Apa lagi yang dilakukan Tristan, pikir Indra.
Aurora kembali ke kelas lalu memilih mengikuti mata kuliahnya terlebih dahulu hingga selesai. Baru setelah itu ia akan mencari Tristan lagi.
Ia harus memastikan sendiri, apakah kejadian tidak mengenakkan yang menimpa Arvin benar-benar berhubungan dengannya atau tidak.
Setelah mengikuti 2 mata kuliah sebanyak total 6 SKS, Aurora berniat menghampiri Tristan di ruang khususnya itu.
Ia berjalan dengan terburu-buru hingga tak menyadari ponselnya saat ini sedang berdering karena Aurora menaruhnya di dalam tas. Sehingga tak terdengar suara deringnya, terlebih lagi saat ini pikirannya hanya fokus menemui Tristan.
Arvin merasa heran karena telponnya tak diangkat oleh Aurora. Tumben sekali Aurora tak mengangkat telponnya. Arvin takut terjadi sesuatu pada gadis itu. Lalu ia pun memutuskan untuk menghampiri Aurora di fakultasnya.
Aurora yang baru tiba di depan pintu ruang Tristan langsung membuka pintu dengan kasar, membuat semua yang ada di dalam menoleh ke arahnya.
Tristan, Indra, Reza dan Boni, semua terkejut dengan kedatangan Aurora yang masuk ke ruang mereka dengan kasar seperti itu.
"Kamu benar-benar tidak ada sopan santun ya nona," ucap Tristan tersenyum sinis.
"Nggak usah berbasa basi lagi Tristan," sahut Aurora lalu mulai melangkahkan kaki mendekati Tristan.
"Apa yang kamu lakukan dengan Arvin?" tanya Aurora dengan raut wajah marah.
Tristan bangkit dari duduknya, lalu menghadap Aurora.
"Arvin? Mengapa kamu bertanya padaku?"
"Jangan balik bertanya Tristan! Kamu melakukan apa kepada Arvin?" bentak Aurora.
"Hahahahahaha. Kau menuduhku?" tanya Tristan mengangkat sebelah alisnya.
"Apa semua yang terjadi pada Arvin adalah ulahmu?" tanya Aurora lagi dengan sisa kesabarannya.
"Oh memangnya kenapa dengan pemuda itu? Apa yang terjadi?" tanya Tristan dengan bahasa tubuh yang menyebalkan.
"Tristan! Aku sedang tidak bercanda!" pekik Aurora marah.
Tristan tersenyum puas. "Aku pernah bilang kan aku akan melakukan apapun untuk membuatmu menemui ku?"
"Ya, aku yang melakukannya. Aku menghentikan beasiswa yang diterima laki-laki itu. Aku juga yang membuatnya diambang DO. Aku bisa saja mengeluarkannya dari kampus ini sekarang juga," jawab Tristan penuh penekanan.
"Kamu benar-benar jahat Tristan! Sebenarnya apa yang kamu mau hah?? Aku sudah bilang jangan pernah mengganggu Arvin!" ucap Aurora dengan nada meninggi.
"Kau pikir aku peduli dengan perkataanmu? Kau juga tak ingat jika aku pernah berkata aku bisa melakukan apapun bahkan di luar logika kamu nona," sahut Tristan acuh.
"Kau," kata-kata Aurora terhenti.
"Aku sudah pernah mengatakan jangan main-main denganku. Jangan dekat dengan Arvin lagi karena kamu akan menjadi pacarku, tapi rupanya kamu tak menganggap serius perkataanku. Ah ya, kamu juga pasti lupa jika aku tak suka dibantah. Iya kan? Aku pernah mengatakan itu semua kan?"
Aurora terdiam. Ia benar-benar terpojok saat ini. Tristan bukanlah orang yang dapat diremehkan. Dia ternyata laki-laki gila yang bisa melakukan apa saja demi mencapai keinginannya.
"Kamu brengsek Tristan!" teriak Aurora.
"Aku memang brengsek nona, maka dari itu jangan pernah bermain-main denganku, atau kamu akan tahu akibatnya," jawabnya dengan angkuh.
"Kembalikan beasiswa Arvin. Dan jangan mengganggunya," ucap Aurora pada akhirnya.
Tristan mengangkat alis sebelah menatap Aurora yang saat ini berdiri di hadapannya.
"Kenapa aku harus menuruti keinginanmu? Apa yang aku terima jika aku mengembalikan beasiswa laki-laki itu?" tanya Tristan yang terdengar menyebalkan di telinga Aurora.
"Aku akan menuruti semua keinginanmu," jawab Aurora pasrah. Sungguh ia tak tahu lagi harus berbuat apa.
Arvin tak ada sangkut pautnya dengan masalahnya bersama Tristan. Tak seharusnya Arvin terseret begitu jauh dan merugikan masa depannya.
Tristan menyeringai puas. "Kalau begitu kamu harus menyetujui semua yang aku katakan nona, dan artinya mau menyetujui untuk menjadi pacarku. Lebih tepatnya pacar kontrak ku."
"Terserah apa kata kamu, yang terpenting kamu harus mengembalikan beasiswa Arvin sekarang juga. Dan jangan pernah mengganggunya lagi, kau bisa menepati janjimu?"
"Tentu saja nona, aku bukan tipe orang yang suka mengingkari janji," sahut Tristan puas.
"Baiklah aku pegang kata-kata mu Tuan Tristan Herdiansyah yang terhormat," jawab Aurora lalu melangkah pergi meninggalkan Tristan.
Saat baru melangkah keluar pintu, Tristan menahannya.
"Kamu melupakan sesuatu nona Aurora Zanita," ujar Tristan.
Aurora yang telah berdiri di balik pintu terpaksa memutar badannya kembali dan melangkah masuk.
Tanpa ia ketahui bawah saat ini Arvin melihatnya. Arvin yang dari tadi menelponnya tak di angkat, mencari ke kelas-kelas pun tidak ada. Tapi ternyata menemukan Aurora di tempat yang sepertinya bukanlah ruang kelas.
Arvin mengikuti Aurora karena ia merasa khawatir.
Aurora yang telah masuk kembali ke dalam ruangan menatap Tristan jengah.
"Apalagi yang kurang? Bukankah sudah menemui keputusan?" tanya Aurora kesal.
"Benar, memang semua sudah diputuskan, tapi kamu harus menandatangani dahulu kertas kontrak ini," jawab Tristan menunjukkan beberapa lembar kertas di tangannya.
"Aku harus memiliki dokumen hitam di atas putih sebagai dasar kesepakatan kita. Karena kau perempuan yang susah diatur, aku tak punya jaminan jika suatu saat nanti kamu mengingkari janjimu," ucap Tristan lagi lalu meletakkan kertas itu di atas meja.
Aurora menarik nafas panjang, merasa jengah dengan sikap dominan Tristan tanpa mengatakan apapun. Rasanya ia sudah lelah. Aurora segera menandatangani kertas itu dengan cepat.
Bertepatan dengan itu, terlihat Arvin telah tiba di depan pintu. Ia terkejut melihat Aurora dan Tristan berada di ruangan yang terlihat seperti ruang pribadi.
Tristan yang menyadari kedatangan Arvin pun memiliki akal licik. Ia memang ingin mengadu domba Aurora dan Arvin agar mereka berpisah. Sehingga ia bisa menjalankan rencananya dengan lancar.
Tristan menarik tangan Aurora sehingga tubuh Aurora membelakangi Arvin lalu meletakkan tangannya di pinggul gadis itu dan mencium bibirnya.
Arvin yang melihat itu pun seperti tersambar petir. Aurora berciuman dengan Tristan di depan matanya.
"Aurora."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments