Aurora masih ditangani di instalasi gawat darurat. Cukup lama Arvin menunggu di luar ruangan dengan hati yang gelisah. Ia bahkan melewatkan mata kuliahnya yang saat ini sedang berjalan.
Arvin mondar-mandir di depan ruang instalasi gawat darurat seorang diri. Arvin takut sekali jika kelelahan yang dialami Aurora berakibat fatal bagi gadis itu.
Tristan yang tak bisa tenang karena insiden pingsannya Aurora pun kini berjalan menuju rumah sakit. Ia seperti merasa bersalah karena memaksa Aurora untuk berlari mengitari lapangan. Ia pun ingin tahu sebenarnya penyakit apa yang tengah diderita gadis berambut coklat itu.
Ospek mahasiswa baru yang lain (teman-teman Aurora) pun dihentikan untuk sementara waktu.
Tristan yang saat ini telah tiba di rumah sakit, terlihat bingung harus berjalan ke arah mana. Sedangkan bertanya ke receptionist pun tak menemukan pasien bernama Aurora.
Tentu saja Aurora belum terdaftar karena saat ini gadis itu sedang ditangani di ruang instalasi gawat darurat. Tak sengaja Tristan pun melihat Arvin yang tengah gelisah menunggu di depan suatu ruangan.
Tristan memandang Arvin sesaat, lalu pandangannya tertuju pada pintu ruang itu.
"Aurora di instalasi gawat darurat?" batin Tristan semakin merasa bersalah.
Kalau sampai ada apa-apa dengan Aurora, bagaimana ia akan menjelaskan kepada Om Harun, apalagi ia yang pagi tadi menjemputnya.
Tak lama kemudian, terlihat pintu itu terbuka, lalu keluarlah seorang dokter dan perawat menghampiri Arvin.
"Bagaimana kondisinya dok?" Tanya Arvin tergesa-gesa.
"Kondisinya tidak begitu baik, ia masih belum sadarkan diri. Hal apa yang ia lakukan sehingga membuatnya kelelahan begini?" tanya dokter itu dengan nada yang agak marah.
"Iya dok tadi dia lagi dapat hukuman di fakultasnya," jawab Arvin.
"Lain kali tolong dijaga kondisi dan fisiknya jangan sampai terlalu lelah seperti ini ya, karena bisa berakibat fatal."
"Baik dokter, terima kasih," sahut Arvin.
"Aurora sudah bisa dijenguk dok?" tanya Arvin lagi.
"Bisa, tapi kami akan pindahkan dahulu ke ruang rawat, baru setelah itu pasien bisa dijenguk ya," jawab dokter mulai ramah.
"Baik dok, terima kasih sekali lagi," ucap Arvin menyudahi obrolannya.
Sang dokter pun tersenyum lalu beranjak pergi. Tak lama setelah itu, terlihat suster membawa ranjang Aurora untuk dipindahkan ke ruang rawat.
Arvin yang melihat itu pun segera mengikutinya. Ia terus memandangi Aurora yang masih memejamkan mata dan terpasang oksigen di hidungnya.
Tristan yang melihat itu pun segera menyingkir dan bersembunyi di balik lemari yang ada. Ia ingin menjenguk Aurora, namun entah mengapa setelah tiba di rumah sakit dan melihat kondisi Aurora, ia menjadi ragu.
Harusnya ia tadi mendengarkan Aurora yang memohon untuk berhenti berlari. Tapi Tristan tetap pada keputusannya dan menganggap Aurora hanya berpura-pura.
Bagaimana tanggung jawabnya terhadap orang tua Aurora? Dan bagaimana ia bisa membawa gadis itu di hadapan opa nya sebagai kekasihnya?
Sungguh menyebalkan sekali, mengapa keadaan menjadi rumit begini, pikir Tristan.
Untuk saat ini yang harus Tristan lakukan adalah tetap memantau Aurora, dan tidak usah mengabarkan kondisi Aurora kepada orang tuanya dahulu, sampai kondisi Aurora membaik.
Setelah memikirkan itu, Tristan pun melangkahkan kaki nya untuk mengendap-endap mengikuti Aurora pergi.
Setibanya di ruang rawat, Arvin menunggu hingga suster selesai membenahi Aurora. Arvin pun mendekat dan duduk di kursi yang tersedia di ruangan itu yaitu di sebelah ranjang Aurora.
Arvin memegang tangan Aurora dan mengusap lembut wajah gadis itu. "Ra, bangun sayang, aku ada di sini menemani kamu."
Tristan yang baru saja tiba pun melihat mereka dari kaca jendela. Ia melihat kondisi Aurora yang masih belum sadarkan diri hingga saat ini.
Ingin masuk ke ruang itu, namun ia takut Arvin menolaknya dan malah membuat keributan. Sehingga ia mengurungkan niatnya.
Tristan memilih untuk menunggu Aurora dari balik tembok, agar keberadaannya tak diketahui oleh Arvin.
"Aku harus tau kondisinya saat ini dan bagaimana perkembangannya, agar aku bisa mempertanggungjawabkan nya kepada Om Harun dan Tante Risa," gumamnya pelan, lalu duduk di kursi yang tersedia.
Sementara di dalam ruangan, Arvin terus mencoba mengajak bicara Aurora, berharap agar gadis itu segera membuka matanya.
"Ra, bangun sayang. Kamu bilang mau pergi ke suatu tempat bersamaku, dimana kamu bisa menghirup udara yang bebas polusi, lalu memetik bunga anggrek kesayanganmu, dan berjalanan beriringan bersamaku menikmati sunset," Arvin mencoba berinteraksi dengan Aurora.
Aurora mulai menunjukkan reaksi kecil. Tangannya yang saat ini digenggam oleh Arvin mulai bergerak. Meskipun pergerakannya agak lemah, namun ini adalah kemajuan yang baik.
Menyadari itu, Arvin pun tersenyum bahagia lalu mencium tangan Aurora.
"Ra, kamu bisa denger aku? Aku yakin kamu bisa denger aku Ra," ucap Arvin senang.
"Kamu perempuan kuat sayang, kamu harus kuat melewati ini, karena aku gak mau sendiri di dunia ini tanpa kamu," ucap Arvin lagi.
Tak lama setelah Arvin mengatakan itu, Aurora pun membuka matanya perlahan. ia merasa agak sakit pada jantung nya dan mulai memandang sosok yang sedang bersamanya saat ini.
"Arvin," ucap Aurora lemah.
"Ra, terima kasih udah mau membuka mata kamu sayang," sahut Arvin bahagia lalu mencium dahi Aurora.
"Aku..kenapa? Bukannya tadi aku di lapangan?" Aurora mencoba mengingat-ingat.
"Kamu berlari mengelilingi lapangan, kamu gak ingat?" tanya Arvin.
"Oh iya, tadi aku sedang berlari atas perintah laki-laki brengsek itu," geramnya lemah.
"Ra, kamu baru siuman, gak baik langsung mengomel seperti itu ah," ucap Arvin saat mendengar Aurora.
Aurora menatap Arvin. "Tapi kenapa aku bisa sama kamu Vin?"
"Aku tadi ke fakultas kamu begitu aku tiba di kampus Ra. Saat di jalan aku kepikiran kamu, ternyata benar kan, mau terjadi sesuatu pada kamu," jawab Arvin.
"Makasih ya Vin, kamu selalu ada bahkan ketika aku gak memanggil kamu," ucap Aurora menggenggam tangan Arvin.
"Iya sayang, udah kewajiban aku sebagai pacar kamu," jawab Arvin tersenyum.
Aurora membalas tersenyum.
"Ra, apa yang kamu rasain sekarang? Masih sakit?"
"Udah mendingan Vin, kamu gak kuliah?" tanya Aurora ketika menyadari Arvin menjaganya.
"Nggak, aku mau jaga kamu di sini," jawab Arvin singkat.
"Vin, kamu kan mengejar beasiswa, kalau kamu absennya gak bagus, bagaimana kamu akan mempertahankan beasiswa kamu?"
"Tapi kamu sendirian di sini, aku khawatir Ra."
Aku gak apa-apa Vin, ada suster yang jaga aku dan ini gak begitu sakit kok, bener-bener udah mendingan," jawab Aurora meyakinkan.
Arvin terlihat berpikir sejenak. Aurora pun kembali menenangkan kekasihnya itu.
"Kuliah gih, nanti selesai kuliah kamu kesini lagi ya? Kalau sekarang kamu gak kuliah gara-gara jaga aku, lebih baik aku sekarang pergi aja dari sini," ucap Aurora kemudian berusaha bangun dari tidurnya.
"Oke oke Ra, aku akan pergi kuliah, nanti aku akan langsung ke sini lagi ya?"
Aurora pun tersenyum lalu mengangguk. Lalu Arvin mulai beranjak dari duduknya dan mengusap wajah Aurora.
"Aku kuliah dulu ya," pamitnya lalu dijawab anggukan oleh Aurora.
Arvin berjalan melewati Tristan yang sedang duduk seorang diri tanpa menyadarinya.
Melihat Arvin telah pergi, Tristan pun masuk ke dalam kamar Aurora.
Aurora yang sedang memejamkan mata tiba-tiba mendengar suara langkah kaki mendekatinya.
"Kok balik lagi sayang?" tanya nya. Lalu ia membuka mata dan betapa terkejutnya ternyata yang berdiri di hadapannya saat ini bukanlah Arvin.
"Tristan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Rabiatuladawia Ade
apa kira kira yang tristan lakukan pada aurora?
apa mau minta maaf atau makin mengzolimi aurora?
2023-11-15
0