Ospek hari itu dimulai. Seperti biasa Tristan telah berada di lapangan bersama petugas organisasi fakultasnya.
"Hari ini kalian akan berlari mengelilingi lapangan ini," titah Tristan kepada para mahasiswa baru.
Ketua organisasi yang saat ini ada di tempat itu pun hanya diam. Tak mencegah Tristan memberikan tugas itu. Padahal di catatannya sudah ada beberapa tugas 'sebenarnya' yang harus dikerjakan oleh mahasiswa baru itu.
Namun karena Tristan tidak bisa dibantah, lebih baik tidak ditunjukkan dahulu untuk saat ini.
"Kalian berlari 3 kali putaran di lapangan yang saat ini kalian pijak. Tidak boleh kurang dan tidak perlu lebih. Jika ada yang terlihat tidak lari, maka akan ditambah menjadi 7x putaran. Apakah mengerti?" ucap Tristan memerintahkan.
"Siap mengerti kak," jawab mereka serentak.
Aurora yang memiliki kelainan jantung sejak lahir, pasti akan sangat kesulitan untuk lari mengelilingi lapangan.
Tapi bagaimana caranya untuk menghindar dari tugas ini? Apalagi tugas ini diberikan oleh Tristan, yang pasti sebenarnya untuk dirinya.
“Kerjakan tugas kalian dimulai dari sekarang!” perintah Tristan dengan nada meninggi.
Seketika itu juga semuanya berhamburan mulai berlari karena merasa takut dengan Tristan. Tapi Aurora masih terlihat diam mematung, ia takut hal ini akan mengganggu jantungnya. Tristan menatap Aurora dengan pandangan tajam, lalu ia berjalan menghampiri gadis itu.
“Kamu tuli? Kamu tak mendengar apa yang saya perintahkan tadi?” bentak Tristan di hadapan Aurora.
“Maaf, tapi saya tidak bisa berlari seperti anak lain, saya memiliki riwayat penyakit jantung bawaan dari lahir,” sahut Aurora balas menatap Tristan.
“Alasan! Saya beritahu ya, di sini tidak menerima alasan klasik seperti itu, jadi sekarang juga saya minta kamu berlari seperti teman-teman kamu yang lain, atau tugas kamu akan saya tambah,” perintah Tristan dengan menunjuk ke arah lapangan.
Akhirnya Aurora mulai berlari mengitari lapangan menuruti perintah Tristan. Sudah cukup dirinya terus dibentak di depan umum.
Disaat yang bersamaan, Arvin baru saja tiba di kampus namun entah mengapa ia ingin mampir ke Fakultas Ekonomi terlebih dahulu. Ia merasa ingin melihat Aurora karena pagi tadi tak bisa menjemputnya.
Baru setengah putaran berlari, Aurora merasa nafasnya mulai sesak. Tubuhnya terasa begitu lemas. Nafasnya pun sudah tersengal-sengal. Ia melambatkan jalannya dan mulai menarik nafas.
“Sakit sekali,” batinnya.
Aurora lalu terduduk dengan lutut menjadi tumpuannya. Ia mersa tak sanggup untuk melanjutkan tugas ini. Dengan menunduk dan memegangi da danya, ia menarik nafas dalam-dalam.
Tristan yang melihat itu pun berjalan menghampiri Aurora. “Kamu ini benar-benar tidak bisa menuruti perintahku ya Nona Aurora Zanita,” sentak Tristan ketika jarak mereka sudah dekat.
Aurora mengangkat kepalanya menatap Tristan. “Aku lelah Tristan, aku gak sanggup melanjutkan tugas yang kamu berikan.”
“Perempuan manja. Hanya berlari seperti ini saja kamu tidak mampu? Lantas apa yang membuat kamu berpikir bahwa kamu mampu melawan aku hah??”
Kali ini Aurora tak menatap Tristan dengan kebencian, namun tatapan memohon. Sorot matanya menyiratkan permohonan. Namun ternyata tatapan itu tak mampu meluluhkan hati Tristan yang terselimuti rasa benci dan dendamnya.
“Aku bukan tipe orang yang mudah mengasihani targetku, Aurora. Simpan saja wajah mengiba mu untuk kamu memohon padaku di lain waktu,” ujar Tristan tak peduli.
Aurora hanya terdiam. Sungguh ia tak memiliki tenaga lagi bahkan hanya untuk berdebat dengan laki-laki ini.
“Bangun Aurora, berlari lah seperti teman-teman kamu yang lain, atau saya tambah hukuman kamu menjadi lebih berat.”
Melihat Aurora yang masih terdiam, membuat Tristan menarik tangan Aurora. Ia menarik lengan gadis itu hingga berdiri, kemudian mendorongnya agar berlari mengikuti teman-temannya yang lain.
Aurora tak memiliki pilihan. Dengan langkah lemah ia berjalan menelusuri lapangan itu.
“Lari Aurora, aku bilang lari!” Teriak Tristan yang membuat semua orang menoleh ke arahnya.
Aurora yang tersentak mulai berlari. Dengan sisa kekuatannya ia berlari mengimbangi teman-temannya.
Arvin yang baru saja tiba di tempat Aurora berlari itu pun terkejut. Ia tau Aurora tak bisa lelah karena penyakit bawaannya. Ia pun berlari menghampiri Tristan yang telah kembali ke posisi semula. Ia menarik bahu Tristan hingga lelaki itu menghadapnya.
“Apa yang kamu lakukan?? Dia bisa mati jika terus berlari seperti itu!” bentak Arvin di hadapan wajah Tristan.
“Jangan ikut campur masalah orang lain,” jawab Tristan tertahan.
“Saya bukan orang lain, saya pacarnya!” sahut Arvin tak terima.
“Tapi kamu bukan mahasiswa fakultas ini, jadi saya minta kamu pergi!” Hardik Tristan.
“Kamu bisa membunuhnya sialan!” bentak Arvin tak kalah galak lalu hendak pergi menghampiri Aurora.
Namun belum sempat ia melangkah, ia melihat Aurora yang terjatuh pingsan di tengah lapangan.
“Aurora,” Arvin berteriak hingga membuat Tristan melihat ke arahnya.
Arvin berlari menghampiri Aurora dengan tergesa-gesa. Ia mengangkat kepala Aurora dan membawanya ke pangkuannya.
“Aurora.. Aurora bangun sayang,” ucapnya menepuk-nepuk wajah Aurora. Namun tak mendapat jawaban dari gadis itu.
Arvin meletakkan kepalanya di da da kiri Aurora, berusaha mendengar detak jantung gadis itu. “Syukurlah masih berdetak.”
Ia pun mengangkat tubuh Aurora dan menggendongnya ala bridal style. Arvin berjalan melewati kerumunan mahasiswa baru yang sedang mengelilinginya.
Tristan yang memperhatikan itu pun hanya diam saja. Ada rasa yang tak ia mengerti setelah melihat kejadian itu. Rasa marah, rasa kesal, benci dan juga rasa menyesal karena tak mempercayai ucapan Aurora bercampur menjadi satu.
Ketika Arvin melewati Tristan ada getaran dalam hatinya yang ingin menahan Arvin.
Namun karena Arvin begitu cepat membawa Aurora pergi, ia pun mengurungkan niatnya.
Arvin membawa Aurora dengan berlari menuju Rumah Sakit Universitas. Rumah sakit yang dimiliki sebuah universitas biasanya dijadikan kampus sebagai sarana pendidikan bagi mahasiswanya, terutama mahasiswa kedokteran. Namun rumah sakit universitas juga terbuka bagi umum. Pelayanan kesehatannya pun selalu mengikuti teknologi tercanggih.
Jaraknya tak jauh dari tempatnya saat ini, namun karena ia tempuh dengan berjalan kaki, jarak rumah sakit pun jadi terasa sangat jauh. Apalagi dengan posisinya yang sedang menggendong seseorang seperti ini. Namun hal itu tak dihiraukannya. Baginya ia ingin Aurora cepat ditangani.
Dengan nafas yang tersengal, akhirnya Arvin pun tiba di Rumah Sakit. Aurora pun langsung ditangani oleh perawat dan dokter jaga yang ada di Instalasi Gawat Darurat. Sementara itu Arvin menunggu di luar ruangan hingga Aurora selesai ditangani.
Sejak mengetahui bahwa Aurora memiliki penyakit jantung bawaan dari lahir, Arvin sangat menjaganya agar tak kelelahan. Karena jika penderita jantung melakukan aktivitas yang melebihi kemampuannya dan membuatnya sangat lelah, bisa berakibat fatal. Sebab, jantung akan bekerja lebih berat ketika seseorang penderita jantung bawaan lahir memaksakan lari yang lebih cepat.
“Aurora, aku berharap kamu baik-baik saja,” batinnya dengan kepala tertunduk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Rabiatuladawia Ade
salut sama arvin yang cepat tanggap lihat Aurora pingsan.
sesayang itu dia sama Aurora
2023-11-15
0
jelita
Arvin effortnya ga main2
2023-09-27
1