Evan melirik cangkir teh yang isinya hanya tinggal setengah gelas di meja. Pria itu sepertinya mulai curiga. Dia pun membawa cangkir teh itu ke dapur untuk mengecek sendiri adakah reaksi obat yang terkandung di dalam teh tersebut. Walau tidak hebat, Evan memiliki sedikit pengetahuan dasar tentang obat-obatan.
"Tidak ada reaksi apapun. Ini teh biasa, mungkin Grand Duke memang kelelahan saja. Dia sudah tua dan tidak memiliki penerus yang bisa mengurangi pekerjaannya." Evan tidaklah ingin melukai Bastien, dia hanya diberi tugas mengawasi tiap pergerakan mencurigakan Quinn.
Sayangnya pria yang berpengalaman itu berhasil dikelabui oleh gadis tujuh belas tahun yang tak berbakat dan anehnya mendadak jadi lebih pintar setelah bangkit dari kematian pertamanya. Quinn tidak mencampurkannya melainkan hanya mengoleskan obat tidur itu di bibir cangkir saja, menghindari cara yang mencolok dan sudah biasa kebanyakan para penjahat lakukan.
Kakeknya merupakan dominan tangan kanan, jadi Quinn hanya mengoles pada satu sisi tepat di mana Bastien akan meminumnya. Jejak satu pun takkan tertinggal karena sudah terhapus oleh bibir Bastien sendiri. Quinn tahu dengan siapa dia berurusan.
Sementara Quinn sudah berada di depan rumah dan bersiap pergi. Dia telah meminta sang kusir menyiapkan kereta kudanya. Evan yang saat itu sedang melewati lorong terkejut melihat Quinn tengah menunggu kedatangan kereta kuda dari jendela, dia memperpanjang langkah dan segera mendatangi Quinn sebagai perwakilan Bastien.
"Yang Mulia, Anda hendak pergi ke mana? ini sudah malam." ingat Evan karena hari sudah gelap dan tidak biasanya Quinn beraktivitas di luar istana Lombardia saat malam hari.
Quinn dengan polosnya menjawab, "Aku ingin berdoa ke kuil. Aku kemarin malam memimpikan ibu, jadi aku berniat meminta Dewa untuk menjaga ibuku di surga." Quinn mengacungkan jari telunjuknya ke udara, "Oh iya, aku hampir lupa. Sepertinya aku akan pulang larut malam, aku harus mampir dulu ke rumah. Besok Killian harus berangkat ke akademi lagi." Quinn sama sekali tak menutupi semua tujuannya, dia secara terang-terangan memberitahu semua tempat yang akan ia kunjungi kecuali satu.
Evan tak dapat berkomentar banyak, "Perlukah saya meminta salah satu Ksatria untuk menemani Anda?" tawarnya yang tentu merekomendasikan seseorang dibawah pantauan nya. "Tidak, aku akan baik-baik saja. Lagipula aku bukannya akan melewati jalan sepi." semua tempat tujuan Quinn memang hanya melewati jalan besar.
"Baiklah jika Anda berkata begitu." Diam-diam Evan saling memberi kode lewat tatapan dengan si kusir yang rupanya adalah pengantar surat Quinn yang sebenarnya ditujukan untuk Izeqiel kepada Raiden.
"Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang."
Kuil akan ditutup untuk umum sekitar jam delapan malam. Satu jam sebelumnya Quinn sudah sampai dengan kusir yang mengekorinya sampai ke depan bangunan kuil. "Aku akan berdoa sebentar, tunggulah aku di sini. Aku tidak akan lama."
"Baik, Yang Mulia."
Quinn masuk ke dalam untuk berdoa, sayang sekali malam ini dia tak melakukannya dengan serius kepada Dewa. Setelah kusir selesai memastikan Quinn benar-benar khusyu berdoa, dia kembali ke luar dari ruang umat dan menunggu di depan kuil. Anak sulung Savero itu segera menyelinap keluar menuju taman bagian dalam kuil, di situlah Christian berjanji akan menunggu kedatangannya.
Dan benar saja, Christian sedang duduk di kursi panjang taman sambil berbincang-bincang dengan teman sepermainannya, Finn Han Blackbird. "Oh, dia datang." ujar Finn seraya melambai menyapa Quinn, "Lady, kau agak terlambat, apa ada masalah?"
"Tidak juga. Aku hanya ingin membuat kusir itu percaya bahwa aku sungguhan berdoa." Quinn terkejut dengan ucapannya sendiri, ia menatap Christian canggung. "Maaf, atas sikap burukku, Pendeta."
"Anda tidak perlu meminta maaf, Yang Mulia." jawab Christian santai. Biar bagaimana pun, berdoa secara khusyu atau tidak itu adalah hak masing-masing yang perlu dipertanggungjawabkan oleh pelaku.
Quinn ikut duduk di tengah-tengah dua pemuda dengan kepribadian yang sangat berbanding terbalik itu. Finn memijat tengkuknya yang terasa agak pegal, "Lady, jadi kau sudah berkirim surat dengan Christ dulu sebelumnya? aku baru dengar dari dia." Finn nampak tidak rela Quinn hanya pernah berkirim surat dengan Christian padahal Finn yang lebih dekat dan lebih kenal dengan Quinn.
"Ya, aku menggunakan burung pengirim surat untuk datang."
"Kapan?"
"Kemarin malam."
"Huh?" satu alis Finn terangkat saat melihat senyum puas Quinn. Untuk apa dia senyum-senyum begitu? pikir Finn heran.
"Jadi, apa keputusan Anda mengenai permintaan saya, Pendeta? saya tidak meminta yang muluk-muluk."
"Apa? permintaan apa yang kau maksud?" tanya Finn selalu nimbrung percakapan yang sama sekali tidak bisa ia ikuti. Dengan begini Finn jadi penasaran dengan isi surat yang ditulis Quinn. "Kau ingin mengajak Christian bekerja sama denganmu? hei, jangan racuni dia dengan rencana licikmu. Dia ini anak yang sangat polos, dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya membunuh lalat." cerocos Finn yang dihadiahi tatapan membunuh dari Quinn. "Jangan ikut campur." ketusnya sebal.
Christian tersenyum tipis menanggapi celotehan Finn. "Aku rasa melenyapkan lalat memang susah bagi sebagian manusia." Christian lalu memberikan kepada Quinn sebuah pil sesuai dengan yang dimintanya. "Anda memang sudah memilih tanaman yang tepat, Yang Mulia. Tanaman Rosemary memang bisa mengatasi penyakit pencernaan. Tapi, saya tidak bisa membantu Anda dalam membuat ekstrak rosemary di pabrik Anda."
"Ya, aku memang tidak bisa memaksamu. Kau adalah Pendeta tinggi di sini, membuat obat hanyalah pekerjaan sampingan," Quinn lalu mengeluarkan satu kantong hitam gendut yang berisi penuh kepingan koin emas. "Aku sudah bilang aku akan membayar jasamu. Kau butuh ini untuk adik-adikmu, 'kan?".
Christian dan Finn serentak terdiam. Fakta bahwa mereka tumbuh besar di panti asuhan tidak mungkin dapat ditutupi selamanya, tapi mendengarnya dari Quinn jadi agak berbeda. "Aku terkejut kau tahu tentang kami."
"Tidak sengaja. Aku tadi melihat lembaran yang dibaca kakek."
"Oh jadi kakekmu menyelidiki aku?"
"Makanya aku bilang berkat akulah kau diterima kerja di Lombardia. Mana mungkin kakek mau menerima orang yang asal-usulnya tidak jelas."
"Cih." Finn mendecih jengkel dengan cara bicara Quinn yang seakan mengatakan bahwa dirinya seperti makhluk yang asal-asalan hidup.
Quinn melirik Christian lewat sudut matanya, tergambar sebuah keraguan. "Terima saja. Aku akan menambahkannya lagi jika kau mau mengajari anak muridku cara mengekstrak tanaman itu. Ini hanya pelajaran singkat, dia pintar. Ingatannya sangat bagus."
"Itu..."
"Aku akan meminta muridku datang saat kau sedang tidak bertugas di sini."
Finn terlalu terkejut untuk bisa bicara. Quinn dimatanya bukan lagi gadis manis yang lembut dan baik hati lagi. Entah mengapa siasat Quinn jadi membuatnya memiliki aura yang sama dengan yang Raiden tunjukkan. Seorang pendendam yang ingin mengendalikan segalanya. "Sudah sejauh mana dia menyusun rencana nya?" Finn bertanya-tanya sambil mengamati wajah ayu Quinn lamat-lamat.
"Baiklah. Sisa obat itu akan saya kirimkan besok ke tempat Anda, Yang Mulia."
Quinn mengangguk ringan. "Baiklah, aku tidak akan membocorkan identitasmu." Quinn mengantongi pil tersebut, ia lalu berdiri menghadap dua pemuda tinggi itu. "Oh iya, Pendeta. Aku dengar Pendeta Agung telah menerima Firman Dewa pagi ini."
"...?!"
Pupil Christian mengecil, tubuhnya tak dapat bergerak setelah sarafnya mengalami syok. Finn melotot kaget, dia sama sekali tidak mendengar gosip apapun di luaran sini. Finn mengamati perubahan ekspresi sahabatnya. "Jadi sungguhan ada?"
Christian tertawa garing demi mengalihkan pembicaraan, "A-ahaha sepertinya penyebar gosip itu sudah salah paham akan sesuatu. Pendeta Agung memang berdoa di Kolam Suci Santis untuk meminta rahmat, sebentar lagi memasuki musim kemarau, beliau hanya berdoa semoga Dewa membantu para petani tidak mengalami kerugian yang besar seperti tahun lalu."
Pendeta Agung memang hanya akan sesekali pergi berendam sekaligus berdoa di tengah Kolam Suci Santis yang berada di dalam bangunan kuil khusus yang mana ruangannya setiap malam bermandikan cahaya bulan. Waktu tertentu itu hanya akan datang saat Pendeta Agung merasa akan ada Firman Dewa yang turun atau untuk berdoa saat bencana mulai terlihat tanda-tandanya.
"Begitu?" Quinn merupakan salah satu umat setia di kuil Santis ini. Bisa dibilang, Quinn anggota penting juga walau dia tidak memilih untuk fokus berserah pada Dewa dan menjadi pendeta di kuil Santis.
Quinn hanya ingat ada dua Firman yang turun. Pertama adalah peringatan tentang bencana yang akan terjadi di negara ini. Sedangkan yang kedua, Quinn tidak mendengar secara langsung karena pihak kuil menyembunyikan kebenaran isi Firman Dewa agar tidak membuat kegaduhan. Namun, ada yang bilang bahwa Firman kedua itu berkaitan dengan kehancuran Kerajaan Ethereal.
Quinn tidak tahu apakah Firman yang turun kedua itu benar-benar terjadi atau tidak sebab dia sudah mati duluan sebelum sempat merasakan bagaimana negara ini setelah Raiden resmi menjadi Raja.
"Boleh aku minta air doa nya? aku memerlukan itu untuk kusir ku."
Finn segera mengetahui bahwa pil yang Quinn minta dari Christian pastilah akan diminumkan pada kusir yang notabene nya adalah mata-mata Raiden. "Tentu saja, akan saya ambilkan. Mari masuk."
Lima menit kemudian Quinn keluar dengan membawa dua botol kecil berisi air suci yang biasanya akan dibagikan oleh Pendeta setelah para umat selesai berdoa. "Maaf, aku lama. Ini, tuan kusir, aku meminta dua air suci." Quinn memberikan satu untuknya. "Aku juga mendoakanmu supaya kau selalu sehat agar kau bisa mengerjakan tugasmu dengan baik."
"T-terima kasih, Yang Mulia. Saya akan meminumnya nanti," pria berusia dua puluh lima tahun itu mengambil dengan ragu-ragu botol air tersebut. "Kemana selanjutnya Anda akan pergi?" tanya nya.
"Aku ingin pulang ke rumah ayah sebentar. Tolong antarkan ya."
"Baik, Yang Mulia."
Kusir tersebut tidak langsung meminumnya karena dia sendiri tidak sedang merasa kehausan atau semacamnya. Dia memacu kudanya agar mempersingkat waktu selama di perjalanan.
Sesampainya di mansion Shuvillian, Quinn tidak segera masuk. Dia hanya menunggu di depan pintu dengan tangan terangkat, ragu mengetuk pintu rumahnya sendiri. "Aku merasa sungkan mengetuk pintu rumahku sendiri? ini konyol."
Tok tok tok tok
Saat itu Vanna yang sedang dekat dengan pintu. Dia baru mengganti tirai jendela di lorong dan akan mencucinya esok hari. "Ada yang bertamu?" gumamnya lekas membukakan pintu untuk si tamu. Matanya membulat kaget tatkala melihat tamu yang datang bukanlah orang lain melainkan majikannya sendiri. "Lady..." Vanna berkaca-kaca memandang Quinn yang sehat dan segar.
"Halo, Vanna. Maaf mengganggu malam-malam begini."
"Lady! saya merindukan Anda." Vanna menjatuhkan tirai berat itu ke lantai dan segera memeluk tubuh Quinn erat. "Anda tidak tahu betapa sepi nya rumah ini tanpa Anda di dalamnya."
"Ya, aku juga merindukanmu." jawabnya simpel. "Di mana Killian? apa dia sudah tidur? aku datang ke sini untuk menemuinya."
Vanna langsung tahu bahwa Quinn ingin menemui adiknya untuk memberi hadiah supaya bisa dibawa adiknya ke asrama. "Beliau sedang belajar di ruang kerja bersama Yang Mulia Savero, Lady."
"Bisakah kau panggilkan dia kemari? aku akan menunggu di sini. Ah, jangan sebut namaku."
"Baik..." Vanna kelihatan bingung namun dia segera menuruti perintah Quinn dan berlari kecil menuju ke ruang kerja.
Saat itu Savero tengah menyusun dan menandatangani surat kerjasama dengan mitra kerjanya. Sedangkan Killian sedang dilatih Savero dengan membantunya menilai kerjasama mana yang menguntungkan dan bisnis mana yang akan lebih bertahan lama.
Savero mengangkat penanya, "Ada apa, Vanna?" pria itu duluan yang melihat kedatangan salah satu pelayan rumahnya. "Maaf, Yang Mulia. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Yang Mulia Killian."
Pemuda bermata besar nan indah itu mengangkat kepalanya, "Denganku? siapa?"
"Sebaiknya Anda melihat sendiri, Yang Mulia."
Killian menatap ayahnya untuk meminta izin, suami Sirena itu menganggukan kepalanya. Killian meninggalkan ruangan dengan segera, rasa penasarannya memuncak walau sesaat dia telah menyimpan satu nama di otaknya.
Ketika sampai di depan pintu Killian langsung mengedarkan pandangan ke seluruh halaman dan menemukan seseorang duduk di anak tangga. "..."
"Hai, Killian. Bagaimana kabarmu?" Quinn berdiri menyapa kedatangan sang adik bungsu dengan senyum lembut.
Terakhir kali melihat Quinn berdandan mirip seperti ibu mereka membuat Killian semakin kaku dan tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan kakaknya. Alhasil dia hanya berdiri mematung di depan pintu rumah.
Mau bagaimana lagi, Quinn yang harus mengalah dan mendekat agar bisa mengobrol dengan nyaman.
Dia sudah bertambah tinggi lagi, pertumbuhan anak ini cepat sekali.
"Aku dengar kau akan kembali ke asrama besok. Kau sudah menyiapkan semuanya? jangan sampai ada yang tertinggal."
"Aku bukan anak kecil. Kau tidak perlu mengingatkan ku. Hanya itu alasanmu datang kemari? buang-buang waktu." sinisnya.
"Memang tidak boleh mengunjungi keluarga kandung sendiri?" Quinn kemudian mengeluarkan sapu tangan dengan nama Killian terbordir cantik di salah satu sudutnya. Tidak hanya itu, Quinn juga mempersiapkan sebotol tonik ginseng dan sebuah hiasan gantung untuk pedang Killian. "Aku hanya bisa mempersiapkan ini. Terimalah."
Killian diam tak bergeming. Quinn tahu Killian akan semakin bersikap dingin setelah tahu Quinn berani melawannya. "Ini mungkin jadi yang terakhir kali aku memberimu hadiah. Tidak ada yang tahu berapa lama kita akan hidup, bukan begitu? terimalah. Aku akan pergi setelah kau menerimanya. Ini tidak ada racunnya."
Quinn memaksa adiknya untuk mengambil semua barang ditangannya. "Aku akan pergi sekarang. Aku ingin titip salam untuk ayah."
"Kau tidak perlu repot memberi ini semua padaku."
"Ini kasih sayangku padamu. Sampai jumpa."
Begitu Quinn telah menaiki kereta kudanya, Savero muncul dari balik pintu sambil menatap nanar jejak putrinya. "Dia bahkan tidak mau menemuiku." lirih nya sendirian sebelum menepuk bahu Killian. "Apa hadiahnya kali ini?"
"Ini."
"Dia tidak berniat masuk dan bicara di dalam?" Vanna menggelengkan kepala menyesal, "Lady tidak mau, Yang Mulia. Dia bilang sedang terburu-buru."
Sementara saat itu Quinn tengah bicara dengan kusir nya. "Yang Mulia, sekarang saatnya Anda pulang."
"Aku masih punya satu tempat lagi untuk ku kunjungi, tuan."
Wajah pria itu berubah, "Memangnya Anda ingin pergi ke mana lagi?"
Quinn tersenyum lebar sambil menjawab, "Aku ingin menemui Izek di kediaman Marquess Sylvestria." pria yang ditugaskan menjadi mata-mata itu menegang kaget, dia terlihat ingin segera melaporkan berita itu kepada Raiden. "Baiklah, Yang Mulia."
"Terima kasih, tuan."
Begitu Quinn masuk, Quinn menatap tajam punggung sang kusir yang terlihat dari kaca kecil di dalam kereta.
"Bersiaplah, Finn. Dia akan bergerak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Cahaya yani
sp yg lbh licik
2023-09-11
1