"Katakan, apa yang ingin kau sampaikan padaku?"
Savero sekarang sedang berbicara empat mata dengan putri sulungnya di ruang kerja miliknya. Hal pertama yang Savero rasakan ketika melihat Quinn adalah rasa syukur karena gadis itu masih kelihatan baik-baik saja. Savero juga mendapat surat dari ayahnya bahwa Quinn tidur nyenyak semalam tanpa terbangun sama sekali.
"Aku ingin meminta tolong padamu. Bisakah besok pagi kita pergi ke kota?"
Savero menyatukan kedua alisnya. "Tiba-tiba? memangnya ada apa?"
"Aku ingin melukis foto keluarga bersama Ayah, Killian, Kakek, Penelope juga. Mungkin paman Vincent tidak akan mau ikut."
Savero masih diam tidak mengerti harus membalas apa. Sementara Quinn tampak sangat mengharapkan jawaban memuaskan dari dirinya. Seberapa penting lukisan itu bagi Quinn? tatapan memelas itu membuat Savero tak tega.
"Baiklah, aku akan datang ke alamat yang kau berikan. Aku akan coba mengajak Killian dan Penelope untuk ikut besok." Sebenarnya Savero punya rapat bersama beberapa mitra kerjanya yang akan membahas mengenai perluasan tambang batu bara di Wilayah bagian Selatan Helldelune.
Savero kemudian memandang wajah putrinya. Dia ingin sekali menanyakan kabarnya. Savero tidak bisa bilang kalau keadaan rumah jadi tidak hidup. "Quinn, bagaimana kabarmu?"
Quinn menatap ayahnya tidak percaya. "Apa dia baru saja menanyakan kabarku? aku belum lama pergi." batinnya heran. Gadis berwajah mungil itu tersenyum. "Aku baik. Mulai sekarang Ayah tidak tidak perlu mencemaskan keadaanku lagi, aku akan mengurus diriku sendiri. Aku tidak akan membebani jadi kau cukup fokus dengan Killian dan pekerjaanmu."
Bak disambar petir di siang bolong, Savero merasa dadanya sesak mendengar putrinya sendiri mengatakan itu. Killian lebih dewasa dibanding Quinn, jadi Savero tidak begitu mempedulikan apa yang anak bungsunya lakukan karena dia yakin Killian tahu betul resiko tiap tindakannya.
Namun, Savero tidak pernah membayangkan sekarang Quinn berterus terang akan keinginannya. Quinn bicara dengan keseriusan, meski diselingi senyuman manis.
"Oh iya, aku ingin meminta sesuatu darimu, ayah."
"Apa itu?"
Quinn yakin setelah ini Savero akan sepenuhnya sadar bahwa putrinya bukan lagi gadis lemah lembut yang selalu santai. Tetapi Quinn tidak mau membuang-buang waktu lebih banyak. Dia harus kuat sebelum saat itu tiba. Saat di mana Raja ingin membuat putranya dan Quinn bertunangan.
"Ayah, aku telah merenungkan banyak hal. Selama ini sikapku pasti sangat memalukan bagi Ayah dan Killian. Aku selalu menyulitkan kalian setiap harinya karena ketidakdewasaan ku." Quinn berlinang air mata, membuat Savero kebingungan harus memberi reaksi yang seperti apa. Savero tidak pernah menduga Quinn membuat pengakuan mengejutkan sekembalinya dari rumah Bastien.
"Aku sudah banyak belajar dan sekarang aku ingin menjadi seseorang yang dewasa dan mandiri." terpaksa Quinn berakting sebagai gadis lemah yang akan menangis setiap merasa tidak enak hati. "Aku berjanji aku tidak akan pernah mengandalkan siapapun. Aku bisa hidup sendiri." Quinn menaruh tangan di dadanya dan menatap sang ayah dengan niat bersungguh-sungguh.
"Kau tidak perlu mengatakan itu semua. Apa yang ingin kau minta dariku?"
Quinn menyeka air matanya. "Ayah dulu pernah mengatakan kalau Ayah akan membagi tanah untukku dan Killian, iya 'kan?"
Savero tersentak. Ya, dia memang pernah mengatakan itu. Savero memiliki lahan yang luasnya empat hektar dan rencananya akan dia bagi untuk kedua anaknya saat mereka telah siap mengelola sendiri. "K-kau menginginkannya sekarang? memangnya akan kau apakan tanah itu?"
"Aku akan memulai bisnisku sendiri."
Savero ragu Quinn yang terlalu lembut mencoba memulai bisnisnya sendiri. Siapapun yang tahu seperti apa Quinn itu pasti akan memiliki pemikiran yang sama dengan Savero. Ya, sudah pasti bisnis putrinya itu tidak akan berjalan lancar. Kerugian besar sudah pasti akan dia terima.
Quinn bisa lihat seberapa cemasnya Savero pada keputusannya. "Ayah tidak perlu cemas. Aku akan memulai bisnisku dengan bimbingan kakek langsung. Jadi dia akan menjadi mentor pribadiku hehehe."
Mau Quinn jelaskan apapun kepadanya, Savero tetap meragukan kemampuan Quinn dalam mengelola bisnis. Namun sejak awal Savero sudah memutuskan dengan dengan yakin bahwa tanah itu akan menjadi milik Quinn dan Killian, itu merupakan hak putra putrinya. "Baiklah. Kau pilih saja bagian mana yang ingin kau ambil."
"Aku ingin bagian Barat, dekat dengan tambang Ayah."
"Uhuk! uhuk!" air teh yang Savero tenggak sebagian masuk ke tenggorokannya hingga membuat pria itu tersedak dan hidungnya terasa agak sakit. "Apa kau yakin?" Savero tidak tahu kalau Quinn sudah memutuskan bagiannya secepat itu.
Sementara Quinn sendiri sudah merencanakannya, dia akan membuat pabrik di dekat tambang ayahnya agar Quinn lebih mudah mendapat investasi dari mitra kerja ayahnya. Selagi membangun pabrik, Quinn sendiri ingin menggunakan seperempat dari tanah yang ia miliki untuk menanam rosemary yang nantinya akan jadi bahan utama dalam bisnis nya.
"Aku yakin. Bolehkah aku mengelolanya mulai besok? aku akan meminta suratnya darimu, Ayah."
"Oh, baiklah."
Savero menatap wajah Quinn lamat-lamat. "Putriku sudah mantap dengan keputusannya. Ini tidak seperti dia asal meminta, dia punya persiapan untuk segalanya. Bisakah aku mempercayainya kali ini?" Savero bertanya-tanya dalam hatinya.
"Sudah selesai ku tulis, Ayah. Terima kasih." Quinn lekas berdiri dari sofa sambil membawa surat tanah yang mulai besok akan resmi menjadi miliknya sendiri. "Aku tidak akan membuang waktu Ayah lebih lama lagi. Aku akan kembali ke rumah kakek sekarang, tolong jangan lupakan agenda besok ya. Aku sangat menantikannya.
Quinn bergegas pergi, meninggalkan Savero dalam kekalutan. Perasaannya menjadi campur aduk, " Aku seperti kehilangan putriku." gumamnya amat lirih sehingga hanya dia yang dapat mendengar.
Gadis berambut sepanjang pinggul itu heran melihat Raiden masih terus mengobrol dengan Penelope. Killian sudah tidak ada di sana. Quinn dapat menyimpulkan bahwa Killian tidak bisa mengusir Raiden karena Penelope. Jadi daripada dia berlama-lama melihat wajah menjengkelkan Raiden, lebih baik dia pergi ke dalam. "Apa mulut kalian tidak lelah?" pikir Quinn heran.
Raiden menatap Quinn yang telah selesai mengurus penerimaan tanah. Pemuda itu tampak senang, "Sudah selesai?" tanyanya perhatian. Lagi-lagi Penelope dianggurkan ketika ada Quinn muncul di tengah-tengah mereka.
"Um, ya. Apa kau menungguku, Raiden?" tanya Quinn masih bersandiwara seperti anak polos. Dia melirik Penelope untuk melihat tanggapan saudari sepupunya itu.
"Ya. Aku juga akan pulang. Berhubung kita searah sekarang, apa kau mau pulang bersamaku?"
Quinn tersenyum gembira seraya mengangguk setuju. "Tentu saja! terima kasih— tapi, bukankah kau ke sini hanya dengan kuda?" tanya Quinn bingung.
"Aku bisa membawamu dengan kuda. Apa kau keberatan?"
Wajah putih Quinn berganti warna menjadi merah muda, ia menunduk malu sembari bergumam. "Berdekatan dengan Raiden seperti itu, aku tidak pernah membayangkannya. Itu sungguh romantis." ia histeris sendiri dan itu membuat Raiden terkekeh.
"Begitukah?"
"Aku mau!" seru Quinn riang, matanya berbinar dipenuhi kegembiraan dan antusiasme, "Ini pertama kalinya aku naik kuda. Sungguh sangat mendebarkan."
Baik Raiden maupun Quinn, pasangan tunangan di masa lalu tersebut sedang berakting dengan sangat piawai. Raiden menaruh perhatian lebih besar pada Quinn hanya agar hubungan Penelope dan Quinn memburuk sehingga dia bisa memanfaatkan itu untuk rencananya. Sedangkan Quinn berpura-pura tetap menyukai Raiden agar membuat Penelope merasakan apa yang ia rasakan dulu. Membuat seseorang iri dan kesal sungguh sangat menyenangkan.
Penelope sudah memerah padam. Dia menahan kekesalannya yang sudah nyaris sampai ke ubun-ubun. "Apa-apaan ini?! mereka bermesraan di depanku? mereka pikir aku penonton?!" geramnya dalam hati.
Raiden kemudian terpikirkan ide baru. "Oh iya, lusa apakah kau ada waktu?"
"Memangnya ada apa?"
"Aku ingin mengajakmu ke istana. Kau sudah lama tidak datang ke istana ku."
"Oh iya, aku sampai lupa. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Raja." Quinn juga seketika mendapat ide yang sama, dia pun menghampiri Penelope dengan menggenggam kedua tangan sepupunya dengan penuh harap. "Penelope, apa kau mau ikut? ku mohon ikutlah bersamaku. Kita 'kan sudah menjadi teman."
"E-eh? t-tapi... Raiden hanya mengajakmu."
Raiden menggelengkan kepalanya. "Tidak, kok. Penelope, kau boleh datang juga. Kita bisa mengadakan pesta teh bertiga kalau kau mau."
"Lihat? Raiden juga sudah mengundangmu. Mari kita pergi bersama lusa."
"B-baiklah..."
Beberapa menit setelah mereka menetapkan hari untuk berkumpul di istana, Raiden dan Quinn pergi dari mansion Count Shuvillian tersebut berdua. Penelope memang tidak suka, tetapi di kepalanya saat ini dia sudah sibuk menyusun rencana untuk merebut seluruh perhatian dari Quinn.
Bahkan Raiden pun dalam waktu singkat sudah mengajaknya berteman, Penelope jadi semakin yakin dia akan berhasil membuat Quinn terabaikan. "Terima kasih sudah mengajakku, Quinn. Aku jadi punya kesempatan menjatuhkanmu." seringai licik terbingkai di bibir seksi nya.
Quinn tidak bisa mengelak lagi jika tubuhnya dan Raiden saling bersentuhan. Mau bagaimana lagi, yang mereka tunggangi bukannya kereta kuda. Tadinya Quinn ingin duduk di belakang saja, akan tetapi Raiden menyuruhnya duduk di depannya.
Dulu, detak jantung ini yang menjadi nada kesukaanku.
Dulu, aroma ini yang sangat ku favoritkan.
Dulu, tubuh ini yang selalu ingin ku rengkuh sepanjang hidup.
Dulu, kehangatan ini yang selalu ku dambakan untuk ku nikmati sendirian.
Jantung Quinn terasa berdenyut nyeri. Cinta dan pedihnya pengkhianatan mengobrak-abrik hati gadis tersebut. Alhasil Quinn hanya diam menahan tangis. Melihat Quinn yang terus menunduk menyembunyikan wajahnya, Raiden pun bertanya. "Kau takut, Quinn? bersabarlah, sebentar lagi kita sampai. Atau kau mau berhenti sebentar?"
"Eh? tidak. Aku baik-baik saja."
"Syukurlah."
Senyumnya masih sama. Semakin lama aku melihatnya semakin itu membuatku gila. Aku bisa kehilangan kendali dan mengamuk sekarang.
Tatapan semua masyarakat yang mereka lewati berbeda-beda. Ada yang tampak senang, heran, dan tidak suka. Raiden terus mengajaknya mengobrol agar Quinn tak fokus pada tatapan banyak manusia di bawah sana.
"Raiden."
"Hm?" Raiden sedikit menunduk untuk melihat wajah cantik Quinn, tatapan teduh pemuda itu tak berubah.
Bagaimana bisa dia berakting sehandal ini? apa tujuan Raiden yang sebenarnya?
"Bagaimana menurutmu? aku bertanya tentang kakak sepupuku. Dia orang yang sangat menyenangkan, bukan?"
Raiden terdiam. Dalam hati dia tersenyum kemenangan, merasa bahwa Quinn memang tergila-gila padanya. Rasa cemburu gadis itu cukup besar apabila sudah menyangkut Putra Mahkota.
"Ya, dia bukan orang yang membosankan jika dijadikan teman curhat. Ah, tapi kau tidak perlu cemas, aku tidak menjalin hubungan lebih dengannya."
Persetan dengan hubungan itu, Quinn tidak menanyakannya untuk menginterogasi. Quinn hanya ingin menebak alur apa yang akan sepupunya ambil, dia akan membantu Penelope mengambil hati Raiden.
"Kau selalu terlihat tidak nyaman saat bersamaku, tapi tatapanmu berubah saat sedang mengobrol dengan Penelope. Aku berharap kau menemukan gadis yang sungguh membuatmu nyaman."
Quinn ingin menggiring opini Raiden ke jalur yang benar. Quinn sadar Raiden mulai curiga saat dia dengan sengaja mengabaikan pernyataan cinta darinya. Dengan ini, putri Savero itu berharap Raiden tidak mencurigainya lagi.
Sejujurnya, jika ini bukan masalah besar, Quinn tidak peduli apabila Raiden sadar perasaan Quinn untuknya telah hilang. Masalahnya, dia sedang berhadapan dengan seorang Raiden. Pemuda berdarah dingin yang membunuh ayahnya sendiri dan membantai seluruh Ksatria dibawah perintah ayahnya hanya untuk memulai sejarah baru dibawah kepemimpinan nya. Walau wajah awet muda Raiden itu selalu terlihat tenang, tidak ada yang bisa membaca hati dan pola pikirnya.
Untuk berjaga-jaga Quinn perlu sering merubah sikapnya saat berada di depan Raiden.
Quinn dan Raiden sama-sama terdiam. Mereka memandang ke arah yang berbeda namun dengan sorot dingin nan tajam yang sama. Meski mereka berdekatan begini, keduanya memikirkan dua hal yang benar-benar berkebalikan. Nampak sekali keduanya menyusun rencana masing-masing.
Raiden memacu kudanya lebih cepat hingga mereka bisa merasakan kuatnya tiupan angin yang menerpa tubuh mereka. "Quinn, kau akan jadi milikku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Lina Sofi
raden jd bucin nanti
2024-05-27
0
Frando Kanan
jdi ini rencana lo di kehidupan sebelomny ya? cih...bch sialan... sepertiny lo emng pantas hrs beri pelajaran 😏
2023-09-16
0