Berjalan-jalan memang menjadi salah satu opsi terbaik untuk mengobati rasa gundah yang membelenggu. Melihat pemandangan kota yang damai menjadi penyelimur hati Quinn. Setidaknya ada rasa begitu, sebelum dia mengingat apa yang terjadi di kehidupan sebelumnya.
Quinn menatap kumpulan manusia yang berlalu lalang. Gadis cantik bermarga Shuvillian itu masih ingat betul bagaimana semua masyarakat setuju untuk memberinya hukuman mati.
Tatapan kebencian serta cacian yang mereka lontarkan seolah belum cukup untuk menyalurkan semua kemarahan yang mereka rasakan. Sedangkan Quinn menerima hukuman yang tidak pantas dia terima.
Seketika tubuhnya bergidik merinding mengingat momen di mana ia dianggap seperti kotoran menjijikkan yang tak pantas hidup.
Finn yang menyadarinya segera bertanya, "Kau baik-baik saja?".
Quinn mengangguk kecil "Ya".
Pemuda itu tidak memerlukan penjelasan panjang lebar untuk tahu suasana hati gadis bertubuh mungil disebelahnya. Dia lantas mengetuk bahu mungil Quinn menggunakan jari telunjuknya, "Mau ke sana sebentar? Aku tidak sempat membuat sarapan karena bangun terlambat."
Kalau itu Quinn yang dulu, pasti dia sudah mengiyakan dengan antusias, lalu mengobrol tentang banyak hal tak penting untuk menghidupkan suasana selama diperjalanan menuju restoran. Sayangnya Finn tak akan mendapatkan momen itu lagi mulai dari sekarang.
Jawaban singkat Quinn membuat pemuda itu mati kutu. Apa aku membuat kesalahan? dia seperti tidak menyukaiku, pikir Finn kebingungan.
Mereka duduk di bagian luar kedai yang mana tersedia payung besar untuk melindungi mereka dari sinar matahari agar tidak silau.
Finn memesan dua pancake madu untuknya dan juga Quinn. Netra amber yang bening itu fokus pada objek yang duduk tenang di hadapannya. Finn duduk sambil menumpu dagu, "Kau bisa ceritakan apa saja padaku kalau kau mau. Aku penjaga rahasia terbaik se-Helldelune ini."
Quinn melirik Finn lewat ekor matanya, "aku tidak punya sesuatu untuk diceritakan." jawabnya pendek kemudian fokus lagi menghadap jalanan. Melamun tampaknya bukan ide buruk.
Finn tadinya menahan diri untuk tidak menanyakan apapun, tapi mulutnya sangat gatal ingin memberitahu apa yang dia rasakan. "Kau tahu, kau hari ini bersikap agak aneh".
Quinn terkesiap. Ia mendengus pelan lalu menatap dengan benar lawan bicaranya, "Aneh?" ulang Quinn memastikan pendengaran.
"Ya. Kau tahu, kau tidak aktif seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?" Quinn tidak langsung menanggapi pertanyaan Finn, "Ah, aku tahu. Kau pasti memikirkan kenapa sikap adikmu belakangan ini semakin buruk."
"Kenapa kau bisa beranggapan begitu?" Quinn tertarik mendengar pendapat dari sudut pandang Finn sebagai guru yang sudah jelas setiap hari berinteraksi dengan anggota keluarga Shuvillian.
"Yah, siapapun juga akan sadar kalau hubungan persaudaraan kalian tidak baik. Sebenarnya apa yang memulai hubungan kalian jadi seperti ini?"
"Sejak dulu kami seperti ini."
"Bingo!"
Satu alis Quinn terangkat, dia tidak mengerti maksud Finn. "Apa?" tanyanya menggambarkan seluruh kebingungannya.
Finn memakan pancake nya dalam gigitan besar. Sengaja ia memakan potongan besar dan tak melanjutkan ucapannya agar Quinn menunggu dan tetap fokus kepadanya.
Dahi Quinn berkerur, lalu ia memilih membuang muka. Menjadikan Finn sebagai teman cerita itu tidak buruk, tapi keraguan masih menyertainya. Dia sendiri saja belum menemukan jawaban. Paling juga dia akan dianggap tidak waras kalau dia baru saja kembali hidup.
"Kau yang aku kenal pasti akan banyak bicara, menjelaskan semuanya dengan detail atau bahkan sampai membela habis-habisan soal adikmu dan tak sedikitpun mengurangi kadar senyuman mu. Hari ini kau jadi kelihatan seperti orang yang sedang sakit." pungkas Finn tanpa ragu.
"...."
"Baiklah. Hari ini aku biarkan kau bolos kelas."
"Kenapa?"
"Akan ku temani kau berjalan-jalan saja. Kau pasti butuh udara segar, 'kan? kau tidak pernah sekalipun memintaku mengajarimu di perpustakaan umum sebelumnya."
Sial. Menyembunyikan sesuatu dari Finn nampaknya akan menjadi hal yang sia-sia. Jika Quinn tidak berhati-hati dalam bertindak atau bertutur kata, pemuda bermata satu ini pasti akan mengetahui hal baru.
"Aku bisa melakukannya sendiri."
Quinn beranjak dari kursi. Ia melangkahkan kaki dengan lebar "H-hei, Lady! kau mau kemana? pancake mu bagaimana?"
Berkali-kali Finn menyebut namanya tapi Quinn memilih bersikap layaknya tunarungu demi terbebas dari pertanyaan-pertanyaan Finn yang membuatnya semakin stress.
Quinn sudah berjalan cukup jauh dan belum ada tanda-tanda kemunculan Finn di belakang. Kemudian gadis berambut panjang itu beranggapan bahwa Finn akan lama mencari dirinya. "Syukurlah dia belum mengejar".
Quinn berjalan menyusuri jalanan kota seorang diri. Tidak akan ada yang berubah sampai tiga tahun ke depan, semua tetap sama baik bangunan maupun lingkungannya. "Aku akan hidup dengan baik mulai sekarang, " gumam Quinn meneguhkan hatinya.
"Tidak masalah jika mereka mengetahui sikap ku yang berbeda, aku tidak akan jadi se-lugu Quinn yang dulu."
Tangannya mengepal erat kala bayang-bayang wajah bengis Raiden kembali terlintas dalam benaknya.
Segalanya sudah Quinn korbankan hanya untuk membuktikan cintanya yang teramat besar untuk Raiden tetapi yang ia dapat sebagai imbalan hanya sebuah pengkhianatan keji yang berujung pada kematian.
"Oh, Quinn? Kau kah itu?"
Suara itu menginterupsi acara renungan dadakan Quinn. Dia memekakan kedua telinganya. "Quinn, apa yang sedang kau lakukan di sini?". Quinn sangat mengenali suara itu. Tubuh Quinn membeku. Lehernya terasa sangat kaku hanya sekedar digerakkan untuk memutar kepala, "Ada apa? kenapa kau diam saja?"
Gadis tersebut berpindah ke hadapannya supaya bisa dilihat baik-baik oleh Quinn, dia tersenyum ramah "Hei, kenapa kau bengong? Ini aku, Penelope."
Rasa amarahnya telah memuncak hingga ke kepala ketika wajah itu muncul di depan mata sambil memasang senyum tanpa dosa. Quinn sangat ingin mengutarakan seluruh kemurkaannya dengan memaki. Kedua tangannya mengepal erat hingga urat-urat nya menimbul. Rahangnya mengeras.
"Quinn?" Penelope mengerutkan dahi bingung, "kau baik-baik saja?".
"Kenapa kau ada di sini?" Gadis bersurai blonde itu terkejut. Bukan karena pertanyaannya tetapi karena nada bicara Quinn yang serius. Tidak ada senyum di wajah manisnya barang hanya sedetik saja.
Quinn yang ia tahu memiliki sifat lembut, tiap kali berucap nada bicaranya selalu mengalun indah memasuki rongga telinga pendengarnya. "Quinn, kau sedang marah?" tanya gadis cantik nan anggun itu penasaran.
"Ah tidak, aku hanya terkejut karena kau tiba-tiba muncul di sini. Biasanya Killian akan terus membicarakanmu seharian kalau kau berencana akan datang." Mendengar hal itu Penelope terkekeh sambil menutupi mulut dengan anggun layaknya bangsawan wanita yang memperhatikan baik-baik setiap sikapnya saat berada dihadapan orang lain.
"Aku kesini untuk mengantar pesanan," gadis cantik itu mengangkat keranjang anyaman berisi beberapa buket bunga yang terangkai dengan rapi dan indah. "Setelah selesai aku akan mampir menemui Killian dan paman Savero. Sampai jumpa, Quinn~"
"Ya."
Gigi Quinn bergemeretak, kedua tangannya mengepal erat. Nafasnya berpacu dengan cepat akibat dari amarahnya yang tertahan.
Quinn amat sangat ingin menampar Penelope terlebih ketika gadis itu memamerkan senyumnya yang menjengkelkan. Selalu seperti itu.
"Aku hampir saja membogem wajah menyebalkannya itu," lirih Quinn yang kemudian berinisiatif untuk mengikuti kemana Penelope pergi.
Penelope Van Marchetti. Dia adalah sepupu Quinn, ayahnya adalah kakak dari ayah Quinn. Mengapa nama marga mereka berbeda? Itu terjadi karena mereka (Savero dan kakaknya) memilih membangun keluarga sendiri dan memecah diri dengan ayah mereka yang merupakan Grand Duke bermarga Lombardia.
Tidak ada satupun dari dua bersaudara itu yang memiliki niat melanjutkan tugas Bastien Lombardia sebagai seorang Grand Duke di kerajaan Ethereal ini.
Mereka memutuskan keluar dari mansion Bastien dan membuat marga baru sekaligus membeli status kebangsawanan mereka sendiri. Vincent dengan pangkat Viscount dan Savero dengan pangkat Count nya.
Penelope memang tak kalah cantik dari Quinn. Bahkan gadis itu memiliki proporsi tubuh yang sempurna, wajah yang cantik berkelas, serta mempunyai kulit yang bersih. Tanpa usaha apapun Penelope tetap akan menjadi sorotan para lelaki.
Sayangnya gadis itu sangatlah egois dan licik. Dia pandai menyembunyikan niat jahatnya dibalik wajah menawan nan lugu itu.
Quinn baru sadar bahwa selama ini keceriaan Penelope didasari ingin merebut apa yang Quinn miliki. Saat tahu dengan keceriaan dan kelembutan Quinn mampu menarik banyak perhatian, di situlah Penelope bersikap seolah mereka sama dan berusaha merebut perhatian dari orang-orang di sekitar Quinn.
Selama ini Quinn mengira Penelope memang se-lugu dirinya. Quinn selalu merangkulnya. Setiap kali Quinn bertemu dengan teman laki-lakinya, Penelope dengan sengaja mencuri perhatian mereka, membuat mereka hanya terfokus kepadanya dan membiarkan Quinn diacuhkan. Tetapi Quinn tidak menyadarinya dan malah dengan tidak tahu malunya dia terus mencoba tetap ikut mengobrol meski diacuhkan.
"Aku tidak akan mengulangi kebodohan ku."
Penelope terlihat berjalan dengan enteng, menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya, terkadang dia memberi permen kepada anak-anak yang sedang bermain di dekatnya.
Tidak heran jika seluruh masyarakat menginginkan Penelope yang menjadi Ratu bagi mereka.
Gadis berambut sebahu itu masuk ke dalam toko bunga langganan para bangsawan untuk mengantar pesanan buket. Quinn tak dapat mendengarkan apa saja yang dia bicarakan di dalam namun Penelope segera keluar setelah mendapatkan bayaran.
Quinn masih bersembunyi dengan baik, mengekori kemana pun kaki Penelope melangkah.
Sesayang itu Quinn pada Penelope hingga membiarkannya berteman dengan orang-orang yang dikenali Quinn. Namun semudah itu pula Penelope membuangnya, merebut kekasih yang ia cintai mati-matian, bahkan membuat Quinn sampai harus dihukum mati karena tuduhannya.
Penelope dan Raiden baru saling bertemu tepat sehari setelah putra mahkota itu resmi menjalin hubungan dengan Quinn sebab Quinn sendirilah yang ingin memperkenalkan kekasihnya kepada semua orang agar mereka tahu bahwa Raiden, lelaki yang dia cintai, telah berhasil ia dapatkan.
Lagi-lagi kekecewaan Quinn memuncak. Tunggu— mengapa Penelope masuk ke dalam gang sempit setelah mengecek tidak ada siapapun yang memperhatikannya? "Ada yang tidak beres. Atau jangan-jangan dia ingin bertemu dengan seseorang?".
Sepupu Quinn masuk ke dalam sebuah toko kecil yang hanya memiliki papan nama bertuliskan huruf kuno di atas pintunya "Aku baru tahu ada toko semacam itu di sana."
Itu berlangsung lebih lama ketimbang saat Penelope mengantarkan pesanan bunga. Quinn harus menunggu selama lima belas menit lamanya sampai Penelope akhirnya keluar dengan muka masam seraya menghela nafas gusar.
Meski hanya sekilas netra uniknya itu bisa melihat Penelope memasukkan sebuah botol kecil ke dalam saku roknya sebelum meninggalkan gang sempit nan sunyi itu.
Quinn bergegas berlari ke arah bangunan lain. "Lady, kau sedang menguntit siapa?" Quinn terlonjak kaget ketika mendengar bisikan di dekat telinganya padahal tadi tak ada siapapun di sana.
"Kak Finn. Kau membuatku terkejut!"
"Maaf, aku tidak sengaja, " Finn ikut-ikutan menjulurkan kepala penasaran pada apa yang sedang muridnya amati, "Siapa yang sedang kau ikuti?".
"Bukan urusanmu".
Finn lagi-lagi dibuat keheranan dengan sikap dingin dan ketus Quinn.
"Kak aku ingin meminta tolong".
"Hm? Tolong apa?"
"Aku ingin pergi ke sana," tunjuknya ke toko yang terletak di gang sempit itu.
"ke sana? Memangnya kau sakit?"
"Sakit?"
"Itu adalah toko obat. Berbeda dari toko yang lain, dia bisa membuat obat yang sangat mujarab. Bahkan dia bisa membuatkan obat pesanan untuk penyakit tertentu yang tidak tabib ketahui."
"Oh, begitu."
Finn menyunggingkan senyuman tipis, "Tapi kalau kau mau tetap melihat isi dalam tokonya, aku akan mengantarmu."
"Kau mau mengantarku?"
Seringai jahil Finn timbul. "Ya. Kau sangat penasaran dengan isi tokonya atau dengan si penjualnya?"
"Apa?" Quinn menautkan alis tak mengerti. Mengenai keberadaan tokonya saja dia baru tahu, "Memangnya ada apa dengan pemilik tokonya?"
Finn menaikkan intensitas senyumannya, matanya yang menyipit menandakan dia tengah menggoda Quinn, "Ohohoho jadi kau sungguh penasaran?"
Quinn merengut kesal "Jangan bercanda. Aku bisa menamparmu sampai kepalamu berputar dua kali." Sinis nya.
"Oh kau barusan.. sungguh mengatakan itu?" tidak dibalas pun Finn bisa tahu jawabannya dari mimik gadis berwajah manis itu, "Aku ini gurumu, dan kalau kau lupa aku juga lebih tua darimu, tahu."
Quinn anak yang sangat sopan, dia selalu ramah, dan nyaris tak pernah marah atau kesal. Sekarang Quinn secara terang-terangan mengungkapkan kekesalan dan cara bicaranya pun berubah. Dia jadi mirip sekali dengan adiknya.
"Ekhem!" Finn membersihkan tenggorokannya terlebih dahulu, "Jadi, pemilik toko itu adalah orang yang luar biasa."
Finn pun memimpin jalan. Quinn menatap punggung pemuda yang lebih tinggi darinya itu "Sepertinya dia sering datang kemari, langkahnya sangat santai" batinnya.
Tiing tiiing tiing
Bunyi bel pintu berdentang nyaring setelah Finn membuka pintu toko yang sepi pengunjung tersebut.
Tidak ada satupun pelanggan. Aroma obat-obatan dan ciri khas akar tanaman yang baru ditumbuk menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya , Ah menciumnya saja sudah membuat kepalaku pusing." Quinn mengibaskan tangannya didepan hidung.
"Tian, aku datang. Kau dimana?"
Finn berlagak seperti dialah pemilik toko tersebut. Bahkan dia tidak sungkan untuk masuk ke dalam bagian kasir dan mencari sosok pembuat obat mujarab itu.
"Duduklah di sana dulu."
Finn menunjukkan kursi yang tersedia di dekat pintu. Quinn lantas mengangguk dan menerima saran dari guru sejarahnya.
Dua menit berselang seseorang muncul dari pintu yang berada di dekat kasir. Dia membawa sebakul tanaman kering hasil penjemuran selama beberapa hari.
Matanya terbelalak begitu tahu ada orang lain di dalam tokonya "Finn?! Kau mengagetkanku saja."
"Hai. Sibuk seperti biasanya, huh?" Sarkas Finn. Seringai merendahkan itu tentunya hanya dapat ditunjukkan kepada orang yang sudah sangat dekat, kalau tidak maka tidak seharusnya lawan bicara Finn tetap santai menanggapi ledekan itu.
Dimata Quinn interaksi mereka terlihat aneh. Orang yang sudah berjanggut putih panjang tidak mungkin tidak marah apabila anak muda mengajaknya bicara dengan bahasa sepantarannya.
"Kak, bukankah kau bersikap sedikit kurang ajar?" tanya Quinn dengan nada pelan.
"Huh? Dia ini hanya sedang menyamar."
Pria berjanggut itu tersenyum hingga kedua matanya mengecil. Seperti yang dikatakan Finn, itu hanyalah penyamaran. Ia melepas janggut tempelan itu kemudian menggosok area matanya dengan pakaiannya.
Kerutan dimata dan lekukan di area tulang pipi menghilang. Berubah lah ia menjadi sosok pemuda tampan yang tampak kalem dan tentu saja menjadi tidak asing untuk Quinn "Anda..?"
Pemuda berponi itu mengangguk "Ya, saya pendeta yang sering memimpin doa para jemaat di hari Senin, Rabu, dan Jumat." Akunya sebelum Quinn benar-benar mengingat wajahnya.
Pantas Quinn segera mengetahui bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya.
Ialah Christian De Santis. Pendeta muda yang akan segera diangkat menjadi Kepala Pendeta. Dia cukup misterius sebab tidak banyak bicara, ia hanya akan buka mulut dan mengajak orang bicara duluan ketika berurusan dengan kuil ataupun doa yang akan dihaturkan.
Semasa hidup Quinn di masa lalu, Christian tidak cukup dekat dengannya karena kesibukan seorang pendeta— dan ternyata ditambah dengan menjaga toko obat miliknya sendiri. Namun, Christian sangatlah terbuka untuk membantu siapa saja dan mendengarkan curahan hati Quinn ketika dia tengah bimbang.
Meski begitu, Quinn tidak banyak berinteraksi dengannya. Quinn selalu sibuk pergi ke istana untuk menemui Raja dan Raiden sang pujaan hati yang sangat ia gilai hingga buta mata itu.
"Mengapa Anda tidak membuat obat di kuil saja?"
Pendeta muda itu menggelengkan kepala sembari melanjutkan kegiatan menumbuk obat "Saya tidak bisa melakukannya. Di kuil akan selalu ada orang yang mencari dan meminta bantuan, saya tidak akan punya waktu untuk meracik obat. Jadi kalau saya tidak hadir saat tugas, itu bisa jadi alasan terbaik saya agar bisa membuat obat ini."
"Apa ini hobi Anda?"
Finn terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Christian "Hahaha dia ini butuh uang yang banyak. Kau tahu? Dia sangat rak— bwleekkhhh uhuk! Uhuk!"
Christian menjejalkan tanaman herbal kering yang baru saja dia petik dan masih sangat segar ke dalam mulut Finn. "Apa aku perlu memberimu beberapa akar juga? mungkin ini bisa membantu menyegarkan pikiranmu, " Christian tampak tidak menjaga image nya sebagai seorang pendeta. Dia bersikap layaknya anak-anak seusianya.
Christian besar di panti bersama dengan Finn. Namun beberapa tahun belakangan ini keadaan panti lama mereka tengah genting sebab dana yang masuk selalu terlambat.
Christian menekuni dunia pengobatan untuk dapat menghasilkan uang dan membantu biaya hidup anak-anak panti yang jumlahnya mencapai puluhan itu. Setidaknya, uang hasil penjualan obat ini dapat mengganjal perut mereka sampai dana panti nya cair.
"Lalu mengapa Anda tidak menyewa bangunan di pinggir jalan saja? Itu justru lebih mudah untuk Anda memasarkan obat-obatan ini."
"Oh, itu tidak perlu dilakukan. Promosi toko saya sudah cukup bagus," Quinn mengangguk kecil tanda mengerti "Kerkat bantuan Lady Marchetti."
Deg
Dada Quinn berdetak tak nyaman sampai membuat sang empunya merasa sesak. Matanya berair "A-anu, bolehkah aku menanyakan sesuatu?"
"Ya, tentu".
"Apakah Lady Marchetti sering datang kemari?"
Christian tidak langsung menjawabnya. Namun setelah melihat rasa keingintahuan dari Quinn, pemuda itu akhirnya mengatakan "Hampir setiap hari dia datang kemari. Sebelum saya ke kuil atau saat jam istirahat saya sering kemari dan beliau pasti datang."
"Boleh aku tahu dia membeli obat apa?"
"Itu..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments