Penelope sore hari itu pergi berjalan-jalan sendirian menyusuri kota. Dia sudah mempersiapkan uang yang banyak untuk membeli gaun terbaik yang paling modis dan elegan. Kesan pertama tak boleh gagal apalagi yang akan dia hadapi adalah keluarga kerajaan.
Butik terbaik di kota Helldelune berada dua meter dari studio lukis milik Bastien. Sangat dekat. Tetapi saat itu Penelope tidak memperhatikannya— lebih tepatnya dia belum menyadari ada suatu keanehan di sana.
"Loh, bukankah ini Lady Penelope?"
Penelope tidak jadi membuka pintu butik ketika seseorang datang menyapa. Pemuda pemakai jubah itu lantas tersenyum ramah sambil melambai pelan, "Lama tidak berjumpa."
Penelope membalas senyuman itu dengan lembut. "Lord Rupert? kebetulan baik macam apa ini? aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini. Aku dengar kau sedang melakukan perjalanan panjang."
"Aku berencana pulang dan istirahat untuk beberapa hari. Aku tidak tahu kau ada di kota ini."
"Yah, aku juga sedang menginap di rumah sepupuku." jawab Penelope sembari menyelipkan rambut ke daun telinganya, bersikap anggun di depan lelaki adalah sebuah keharusan. Sebenarnya itu bukan prinsip Penelope seorang, semua bangsawan melakukan hal yang sama. Tapi bagi Penelope, menjaga sikap anggun sebagai wanita adalah hal wajib.
"Jika Anda sedang senggang, bisakah kita menikmati secangkir teh sebentar?"
Penelope tampak ragu, tetapi menarik perhatian lawan bicara tidaklah sulit. "Tentu, tapi sebelum itu, bolehkah aku meminta tolong?"
"Apa itu?"
"Aku ingin membeli gaun baru. Bisakah kau membantuku memilihkannya?"
Pemuda berambut merah panjang yang dikuncir kuda tersentak. Jika sampai seorang pria diajak untuk membantu memilihkan sebuah gaun, itu artinya si gadis menganggap pria yang diajaknya adalah orang istimewa. Pemuda yang kerap disapa Rupert itu menggaruk pelipisnya, "Bukankah kau terlalu asal memilih laki-laki? aku juga tidak pandai menilai keindahan sebuah gaun."
Penelope tak mendengarkan alasan yang dikeluarkan Rupert. Dia menggenggam tangan Rupert dan menyeretnya masuk ke dalam butik yang mana isinya hanya wanita saja. "Lady Penelope...aku lebih baik menunggu diluar saja. Mereka menatapku seperti aku salah masuk ke toilet wanita." bisik Rupert.
"Hahaha kau ini konyol sekali. Duduk di sini selagi aku mencoba gaun, ya."
Rupert berkeringat gugup, mereka tak melepaskan pandangan darinya. Pemuda berwajah sangar itu tersenyum seraya mengangguk kecil untuk menambahkan kesan ramah. Bisik-bisik langsung terdengar. Entahlah, Rupert tak mau membuang waktu mendengarnya, ia hanya berharap Penelope segera memantapkan hati dalam memilih gaun.
"Lord Rupert, bagaimana dengan gaun ini? apa cocok denganku?"
Penelope keluar dengan mengenakan gaun berwarna biru langit yang berenda serta pita besar di belakang pinggangnya. Rupert terperangah melihat kecantikan Penelope dalam balutan gaun pesta yang mewah. "Cantik."
"...hanya itu? kau tidak bisa memberi pendapat yang lain?"
Aku harus kelihatan lebih cantik dari Quinn.
Melihat perubahan ekspresi Penelope yang terlihat kurang puas dengan jawabannya, Rupert akhirnya memberi lanjutan. "Tidak ada kata yang bisa menggambarkan keindahanmu, Lady. Aku sendiri sampai kehilangan puluhan ribu kosakata yang ku miliki untuk mengatakan bahwa kau sempurna."
Semua gadis yang berada di butik itu terkesima dan langsung merona mendengar bualan manis pemuda berambut merah darah itu. Penelope tersenyum malu-malu, "Kau tidak perlu sampai sebegitunya memujiku, Lord Rupert."
"Habis, memang itu kebenarannya."
Total ada tiga gaun yang Penelope coba. Masing-masing memiliki warna pastel yang lembut, cocok dengan kepribadian Penelope yang anggun sekaligus manis.
Demi mencari perhatian dari beberapa gadis yang juga tengah membeli gaun, Penelope meminta Rupert yang memilihkan gaun yang paling cocok untuknya. "Eh? tapi yang mau memakai itu 'kan kau, mengapa kau membiarkanmu memilihnya?"
"Aku sangat senang mendengar pendapat orang lain terhadapku, rasanya aku seperti dihargai."
Sejalan dengan keinginan asli hatinya, Rupert kemudian memilih gaun berwarna ungu pastel dengan model yang elegan namun tetap memperlihatkan sisi lembut dan manis dalam dirinya (walau sebenarnya tidak ada).
Setelah selesai kedua manusia berbeda gender tersebut melipir ke sebuah kedai untuk menikmati camilan sore hari. Mereka mengobrol asyik.
Penelope mengenal Rupert dari sebuah perusahaan pos surat.Ya, Rupert merupakan manajer perusahaan tersebut. Berhubung pekerjaan mereka tidak begitu rumit, semua anak buahnya dapat bekerja meski tanpa pantauan dirinya.
Sejujurnya pekerjaan itu hanya selingan. Pekerjaan asli Rupert adalah kepala biro informasi ilegal. Hanya segelintir orang yang mengetahui hal tersebut, termasuk Penelope. Namun, Penelope tidak pernah membeli jasa Rupert dan berpura-pura menjadi gadis lugu yang tidak mengerti cara kerja mereka. Penelope hanya memanfaatkan kebaikan Rupert agar dapat informasi secara gratis.
Bagi kalian yang kurang mengerti, biro informasi ilegal menyediakan jasa pencarian rahasia gelap tiap manusia di seluruh penjuru kota, akan tetapi kebanyakan rahasia yang diincar adalah dari golongan orang-orang elit, terutama para bangsawan. Mereka menyediakan semua itu dengan imbalan uang yang tentunya cukup mahal. Klien Rupert kebanyakan adalah yang saling bersaing bisnis atau menuntaskan dendam kesumat.
"Kau membeli gaun yang sangat bagus, apakah kau akan menghadiri sebuah acara pesta?" gaun yang dibeli Penelope jelas beda dengan jenis gaun keseharian yang para bangsawan wanita kenakan. Itu lebih terkesan mewah. Penelope terkekeh pelan sembari menutupi mulutnya dengan telapak tangan, "Sebenarnya aku hanya diundang untuk acara makan biasa dengan Putra Mahkota."
Iris merah ceri pemuda itu bergetar, "Maksudmu, Pangeran Raiden itu?" pertanyaan itu disambut anggukan kecil dari gadis menawan bermahkota blonde itu. "Ah bukannya Lady dari keluarga Shuvillian selalu bersamanya? aku yakin kau tidak bisa makan berdua saja." Rupert mengasihani nasib Penelope nantinya.
Putri tunggal dari Viscount Marchetti itu memberikan senyuman lembut. "Ya, itu benar. Raiden— ah maksudku, Pangeran Raiden juga mengundangku, jadi aku harus pergi karena itu akan jadi tidak sopan jika ditolak."
Rupert mendelik tak percaya, "Barusan kau memanggil namanya begitu saja? apakah kalian sudah menjadi dekat?" ini sungguh berita yang menarik. Selama ini hanya Quinn seorang yang diizinkan memanggil Raiden tanpa harus menyertakan status kebangsawanan nya. Mendadak, Penelope yang hanya seorang putri Viscount dan tak punya koneksi apa-apa dengan keluarga kerajaan langsung menyebut nama sang Putra Mahkota begitu saja. "Jangan bilang kau berteman dengan calon Raja Ethereal?"
Penelope meminta Rupert mengecilkan suaranya. "Aku juga tidak menyangka bahwa Yang Mulia sendiri yang akan menyuruhku memanggil dengan nama depannya." semburat merah menghiasi pipi mulusnya.
Rupert tercengang melihat keberuntungan Penelope dalam memperluas pertemanan. Dia seperti anak yang diberkahi Dewa.
"Itu perkembangan yang luar biasa cepat."
"Begitukah? ini kali kedua kami bertemu dan dia sudah memintaku untuk mengakrabkan diri."
Rupert terkekeh geli. Membayangkan selama ini Quinn yang selalu menempel seperti lem pada Raiden untuk mendapatkan perhatian dari lelaki pujaannya kini terkalahkan oleh sepupunya yang baru muncul.
"Aku tidak keberatan jika nantinya kau yang menyandang status sebagai Putri Mahkota. Kau memang lebih pantas menjadi ibu dari negara ini. Jika Lady Shuvillian yang menjadi Ratu, aku tidak yakin dia bisa mendukung calon Raja dalam politik. Seorang Ratu setidaknya harus memiliki semua pengetahuan dasar tentang politik negara, tapi lihatlah dia. Hanya sibuk berjalan-jalan sambil bermain dengan rakyat biasa. Dia tidak mencoba menambah relasi atau semacamnya. Intinya, keluhan masyarakat akan sama dan kau salah satu kandidat yang perlu diperhitungkan oleh Raja Kaisen." puji Rupert seraya menandaskan teh jahe pesanannya.
Hati siapa yang tidak berbunga-bunga ketika mendapat pujian yang selaras dengan mimpi dan harapan yang kita miliki? serasa sudah selangkah lebih dekat untuk menggapai impian itu. Pujian Rupert menyulut ambisi Penelope. "Hei, kau terlalu melebih-lebihkan, Lord. Adik sepupu saya memang kekanak-kanakan, tapi hatinya sangat baik dan tulus. Dia tidak pernah mencurigai siapapun karena hatinya yang suci."
Ya, dia bahkan tidak tahu kalau Penelope dan Raiden berselingkuh di belakangnya. Isi kepala Quinn ibarat taman bunga.
"Baik hati saja tidak cukup untuk memenuhi kualifikasi sebagai Putri Mahkota. Dengan otak sedangkal itu, dia malah menjadi celah terbesar istana. Musuh kerajaan Ethereal bisa saja memanfaatkan dia untuk meruntuhkan negara ini." terang Rupert yang melihat dari realitanya.
Semua yang disampaikan pemuda berotot itu masuk akal. Tapi itu hanya berlaku untuk Quinn yang dulu. Quinn yang sekarang tidak mempedulikan kedudukan maupun kekuasaan, dia hanya mau harta dan hidup sendiri mengasingkan diri dari kebusukan kerajaan Ethereal yang nantinya ia yakini akan semakin mengerikan dibawah kepemimpinan Raiden Vill de Sorrentine.
"Lady Penelope, mengapa kau kelihatan gundah? jika ada sesuatu yang ingin kau keluarkan, aku siap mendengarkan."
Penelope memasang wajah cemas. "Sebenarnya aku ragu dengan perkataanmu. Quinn tidak sesederhana yang terlihat, kepribadiannya mungkin begitu tapi aku merasa ada harimau yang bersembunyi dalam dirinya."
Penuturan Penelope memancing rasa keingintahuan pemuda yang pada dasarnya bekerja mencari informasi sedetail-detailnya dari para kaum elit. "Apa maksudmu?" tanya Rupert bingung. Mau dilihat dari sudut pandang manapun Quinn tetap kelihatan lugu dan bodoh, tidak hanya pada kelihatannya, tapi memang benar bodoh.
"Iya, coba saja kau periksa sendiri. Dia sejak kemarin menjadi seperti orang dewasa yang sesungguhnya. Maksudku, tindakannya juga sudah mulai berubah. Aku senang karena dia tidak cengeng, jadi dia tidak sering dilecehkan banyak orang. Aku sedih melihatnya terus tersenyum padahal semua orang sedang mengolok-olok dirinya." Penelope menyempatkan diri untuk membalut kecurigaannya dengan perhatian palsu, sekaligus secara halus meminta pertolongan Rupert.
"Oh, begitu." Rupert memegang dagu sambil menatap ke bawah, mencoba memikirkan sesuatu. "Mungkin saja dia ingin menyalin mu."
"Menyalin ku?" ulang gadis cantik itu tidak mengerti.
"Yah, semacam ingin terlihat dewasa dan anggun juga. Apalagi setelah Putra Mahkota menunjukkan reaksi berbeda terhadapmu. Dia 'kan sangat terobsesi dengan Pangeran. Itulah yang aku dengar dari orang-orang di sekitar sini." Rupert lantas beranjak dari kursi. Dia memasang kembali tudung jubahnya, "Aku tidak tahu hatimu terbuat dari apa sampai sebaik itu pada sepupu mu. Tapi lebih baik kau berhati-hati, siapa tahu Lady Shuvillian berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan dengan meniru dirimu."
"Aku pergi duluan, ya. Aku lupa harus mengabari anak buahku soal surat yang harus dikirim hari ini."
Rupert pergi setelah membayar set teh sore hari. Pemuda itu mendengus pelan, "Aku tidak bisa mendekati Lady Shuvillian dengan mudah kalau ada orang itu."
Penelope tersenyum bengis begitu Rupert pergi meninggalkannya, "Meniru ku ya? hahahaha ini lucu sekali. Apapun yang kau lakukan, aku yang tetap akan memenangkan hati Raiden."
Penelope terlalu menganggap acara pesta teh itu sebagai peperangan. Sedangkan Quinn sendiri berencana mengalah sejak awal. Putri Savero itu sudah memutuskan gaun mana yang akan ia kenakan saat menghadiri acara pesta. Masih belum ada yang menyadari perubahan gaya Quinn.
Di kediaman Shuvillian, Killian sudah mengepaki semua barangnya. Sore ini dia akan berangkat lagi ke akademi dan baru akan pulang lagi saat liburan musim semi.
Killian tidak melihat ada tanda-tanda Penelope sudah di rumah. Agak kecewa sebab sepuluh menit lagi dia harus berangkat.
"Kakak sepertinya akan lama, dia berjalan kaki. Apakah dia baik-baik saja."
Lain di bibir lain di hati. Mungkin peribahasa itu cukup menggambarkan keadaan Killian sekarang. Walau dia terus menggumamkan Penelope, tetapi hati berterus terang merasa kosong setelah Quinn pergi.
{Killian, a-anu...kau sebentar lagi kembali ke akademi 'kan? tahun ini aku belajar dari bibi Kennedy soal membuat tonik cinnamon, ini bisa membantu memulihkan tenaga jika kau lelah. Bawalah ini bersamamu ya? aku harap kau punya waktu yang indah di sana. Jangan sakit, aku tidak bisa merawatmu karena kita berjauhan.}
Dia teringat dengan ucapan kakaknya setiap kali dia harus meninggalkan rrumah untuk kembali ke asrama. Quinn tidak pernah lelah membawakan semua barang yang berguna untuknya, meski Killian enggan mengakuinya.
Dengan takut-takut, Quinn akan memaksa Killian menerimanya. Perhatian itu selalu Quinn curahkan dan Killian merasa risih sekaligus terganggu.
{Killian, sampai jumpa lagi~! aku akan menunggumu pulang! aku akan siapkan hadiah yang bisa membuatmu bahagia!}
Gadis itu juga akan tersenyum ceria, melambai dengan bersemangat ketika melihat kereta yang dinaiki Killian telah bergerak meninggalkan halaman mansion.
Killian tertunduk, merenungkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan untuk kakak kandungnya sendiri.
Kini kakaknya benar-benar memilih tinggal dengan kakek mereka. Sebelum itu dia menatap Killian dingin, membalas perkataan tajamnya, dan bahkan tidak ragu ikut meninggikan suara. "Ini semua salahnya. Aku tidak pernah meminta dia untuk memperhatikanku. Jika dia sakit hati dengan perilaku ku, ya itu salahnya sendiri." Killian terus menyangkal apa yang hatinya rasakan.
"Mengapa kau bengong di depan pintu begini? pergilah. Jika kau terlambat gerbangnya mungkin akan ditutup."
Killian terkesiap. Dia tidak mendengar langkah kaki ayahnya karena terlalu fokus pada lamunannya. "Ya, ini aku akan berangkat."
"Kau bisa pergi besok sore karena waktu libur masih sampai hari esok. Mengapa kau memilih untuk berangkat sekarang?"
"Aku hanya... aku ingin fokus menyiapkan diriku."
Savero menghela nafas panjang, "Kau tidak mendengar ucapanku siang tadi? Quinn ingin kita bertiga datang ke dekat alun-alun kota."
Killian sibuk memikirkan Raiden yang sekarang mendekati kakak sepupunya juga hingga tidak mendengarkan ucapan Savero. "Untuk apa?".
"Untuk melukis foto keluarga. Kalau dipikir, lukisan di rumah itu juga hanya ada satu." Di lukisan besar yang tergantung di rumah hanya menampilkan Quinn dan Killian kecil.
"..."
"Besok pagi kita akan berangkat. Itupun kalau kau mau."
"Aku ikut." jawab Killian cepat. Lelaki bermata besar itu teringat akan sesuatu setelah ayahnya membahas Quinn. "Ayah, apa yang Quinn bahas dengan Ayah? apa itu hal penting?" Savero melirik putranya. Tergambar kebingungan yang sama dengan dirinya.
"Ya. Dia meminta tanah bagiannya yang sudah aku sediakan untuk kalian berdua."
"A-apa maksud ayah? untuk apa dia memintanya? apa dia sudah tidak waras?!"
Savero sendiri sudah pasrah. Meskipun Quinn adalah darah dagingnya, dia tak pernah tahu apa yang Quinn pikirkan dan rasakan. "Entahlah. Aku sudah meminta Grand Duke mengawasinya."
"Tapi mengapa Ayah memberinya begitu saja?! Dia itu Quinn, Ayah. Apa Ayah tidak takut dia mempermalukan nama keluarga?"
Savero sendiri sudah berulang kali memikirkan hal yang sama. "Kakekmu pasti akan menghentikannya jika itu beresiko besar. Aku sudah tidak bisa mengontrol Quinn, tanpa ku sadari dia sudah banyak berkembang."
Killian melihat raut penyesalan serta ketidakpercayaan dari Savero, pria dingin yang selama ini hanya fokus bekerja tanpa mengingat anak-anaknya.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada Quinn?" gumam Killian sendirian.
Apa iya gangguan tidur bisa sampai membuat seseorang seperti berubah jadi manusia lain?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Frando Kanan
emngny lo peduli? GAK KAN?!
2023-09-16
0
Frando Kanan
YG SEHARUSNY YG SLHKN ADALAH LO SENDIRI DSR BCH SIALAN!!!!
2023-09-16
0
Frando Kanan
bknny jls? itu lo yg lo inginkn!
2023-09-16
0