Penelope tidak bisa tersenyum setelah pulang mengunjungi Quinn dirumah kakek mereka. Penelope sedikit curiga, meski Quinn selalu tersenyum dan ceria sepolos anak kecil, dia tidak kelihatan sama seperti Quinn yang Penelope kenal.
Tadinya Penelope berniat membuat Bastien sibuk dengannya dan secara perlahan membuat Quinn terabaikan, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Quinn yang selalu diperhatikan oleh Bastien. Tiap kali Quinn diam, Bastien akan mengajaknya mengobrol bersama.
"Sihir apa yang telah Quinn tanamkan pada kakek?" dia menggigiti kuku jarinya gelisah dan panik bersamaan. Sedari tadi Penelope terus mondar-mandir di dalam kamarnya.
"Apa yang membuat kakek senang pada Quinn?" Terlihat jelas dimata Penelope bahwa Bastien terlihat senang sekaligus bangga terhadap Quinn yang tidak berguna itu.
Tok tok tok
Penelope terkejut. Dia buru-buru duduk di kursi lalu merapikan rambutnya, "Ya, silakan masuk."
Muncullah sosok Killian, pemuda berkulit sepucat mayat itu masuk ke dalam kamar tamu. "Kak, maaf hari ini aku tidak bisa mengajak kakak berjalan-jalan. Aku harus membeli pedang baru sebelum masuk akademi. Semoga kakak tidak bosan menungguku sampai selesai dengan urusanku."
Aku tidak peduli pada setiap hal kecil yang kau lakukan.
Penelope tersenyum seraya mengangguk paham. "Tentu tidak, adikku sayang. Aku akan dengan sabar menunggumu. Apa keadaanmu sudah membaik?" tanya nya sambil menatap cemas adik sepupunya itu.
Killian mengangguk mantap, tak ingin membuat Penelope mencemaskan dirinya, "Aku sudah sangat membaik, kak. Jangan merasa bersalah lagi. Aku baik-baik saja."
"Syukurlah, aku lega mendengarnya."
"Kalau begitu, aku pergi dulu ya. Teman-teman sudah menunggu."
"Ya, berhati-hatilah."
Gara-gara rencananya yang gagal menenggelamkan Killian dengan menuduh Quinn, sepulang dari pelabuhan Savero langsung memarahi dirinya. Mungkin Savero marah hanya sebatas malam itu saja karena Killian langsung mengalami demam tinggi dan ketakutannya bertambah. Tapi tetap saja Penelope merasa malu.
"Tck! aku tidak tahu harus—"
"Yang Mulia." Penelope menoleh ke pintu kamar, seorang pelayan menatapnya dengan wajah panik. "Putra Mahkota datang kemari, Yang Mulia."
"Kau yakin?!" Penelope berdiri dari kursi dengan mulut menganga. Untuk apa Pangeran Ethereal datang lagi kemari? apakah dia ingin mendatangi Quinn lagi? "Ini kesempatan ku."
"Biarkan dia masuk. Aku akan bersiap sebentar."
Penelope langsung menjelma menjadi seorang malaikat baik dari penampilan maupun sifatnya. Penelope berdandan secantik mungkin agar dia tidak kehilangan kesempatan lagi untuk bisa mendekati Raiden. Selama ini Penelope telah memikat banyak pria hanya dengan senyuman dan sepenggal simpati.
"Selamat datang, Yang Mulia Putra Mahkota."
Raiden tidak segan menunjukkan senyum menawannya pada putri tunggal Vincent Van Marchetti itu. Penelope berjalan amat anggun, menyapa dengan sopan, lalu mengajak Raiden masuk untuk menikmati teh bersamanya di taman keluarga Shuvillian.
Raiden tidak menolak. Dia mengikuti semua keinginan Penelope. Pemuda tampan itu dalam sekali tatap pun tahu bahwa Penelope tertarik pada dirinya. "Apa Quinn tidak ada di rumah?"
Penelope tidak suka ketika Raiden menanyakan gadis pengganggu itu kepadanya. Meskipun dia dan Quinn bersaudara, tetapi bukan berarti mereka sedekat itu. Kemudian, Penelope terpikirkan sesuatu. "Apa Quinn sendiri belum memberitahu Anda? dia sekarang memilih tinggal bersama dengan kakek kami, Grand Duke Bastien Lombardia."
"Benarkah?"
Penelope berpura-pura terkejut, "Bagaimana bisa dia tidak memberitahu kekasihnya sendiri soal itu? bukankah dia terlalu dingin?" baru diawal, putra tunggal Raja Kaisen itu langsung diberikan jawaban yang agak
Raiden terus mengikuti permainannya. Raiden pun terkekeh, lalu berkata "Tidak, tidak. Kami berdua tidak memiliki hubungan lebih jauh selain berteman, meski aku juga menyukainya."
"Eh sungguh? saya pikir kalian sudah menjalin hubungan sebab kalian berdua sangatlah dekat dan sering menghabiskan waktu bersama." Hati Penelope tentunya berbunga-bunga, dia semakin bersemangat. Ternyata langit masih berpihak kepadanya.
"Begitulah. Aku agak kecewa karena dia tidak memberitahuku sebelumnya, tapi aku tahu dia pasti punya alasan tersendiri."
"Um ya, saya bisa merasakan kekecewaan Anda, Yang Mulia. Adik sepupu saya itu memang terkadang suka seenaknya."
Dalam hati, Raiden memang agak kecewa tapi untuk urusan lain. Mengapa tiba-tiba Quinn biasa saja saat menjauh darinya? maksudnya, kenapa Quinn sejak kemarin tidak mendatanginya? biasanya Quinn selalu menempel padanya dan terus melindunginya agar tidak ada gadis mana pun yang bisa mendekati Raiden.
Dulu dia sering mengacuhkan Quinn meski secara tidak langsung dan Terang-terangan. Rasanya seperti sedang dianggurkan.
"Oh iya, apa telah terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pada Quinn?"
Kenapa dia terus menanyakan soal Quinn?
Penelope memasang ekspresi berpikirnya sambil sedikit mengerucutkan bibir, "Um, saya rasa tidak. Maaf, Yang Mulia. Saya baru saja menginap kemarin jadi saya tidak begitu tahu."
Raiden meletakkan cangkir tehnya lalu duduk sambil bertumpu dagu, dia tersenyum memandangi gadis blonde itu sampai membuat si objek salah tingkah, pipinya mengeluarkan semburat merah. "M-mengapa Anda menatap saya seperti itu?"
"Sejak tadi aku merasa tidak nyaman karena kau terus menggunakan bahasa yang sopan."
"Ya?"
"Bicaralah yang santai padaku, itu akan membuat kita lebih nyaman saat mengobrol. Yang melakukan itu selama ini hanya Quinn." ujar Raiden santai.
Hanya seperti itu, Penelope nyaris kehilangan jantungnya. Jika hanya Quinn yang bicara santai, itu artinya Raiden juga ingin dekat denganku? pikir Penelope antusias. Gadis itu tampak malu-malu mengangguk. "Ya, baiklah Yang Mulia."
"Panggil namaku saja, Penelope." Raiden yang mengawali itu.
Jantung Penelope berdebar semakin kencang hingga suhu tubuhnya ikut terpompa naik. Sekarang wajahnya sudah memerah sempurna mendengar suara lembut Raiden yang memanggil namanya. "Kenapa dengan wajahmu? apa kau demam?" Raiden nyaris menyentuh dahi Penelope, namun gadis itu sendirilah yang menghindar demi kebaikan jantungnya. "S-saya baik-baik saja, Yang Mulia."
Raiden agak merengut. "Sudah ku bilang untuk memanggil namaku saja, 'kan?"
"Ah, ya... R-Raiden."
"Bagus."
Quinn menonton pemandangan menggembirakan itu dari jendela lorong. "Apa mulai dari sekarang mereka saling berkenalan dan mengkhianati ku? tepat sehari setelah Raiden menyatakan cintanya padaku? ini lucu sekali." Quinn tertawa miris melihatnya.
Tidak bisa dipungkiri, hati Quinn masih bisa merasakan sesak yang teramat sangat ketika melihat Raiden dekat dengan Penelope. "Kenapa aku harus penasaran dengan mereka? aku ke sini untuk tujuanku sendiri."
Seorang pelayan muncul di lorong, dia terkejut karena Quinn datang tanpa ada yang menyambut. "Lady, apakah Anda sudah lama pulang?"
"Tidak. Apa Ayah ada di rumah?"
Pelayan tersebut menggelengkan kepalanya pertanda bahwa orang yang Quinn cari tidak sedang ada dirumah. "Beliau pergi sejak pagi-pagi sekali, Lady. Saya tidak tahu tujuannya."
"Aku akan menunggu di kamarku."
"Baik, Lady. Saya akan menyiapkan makanan ringan untuk Anda." Quinn menahan tangan pelayan tersebut. Gadis itu berbisik pelan, "Jangan beritahu siapapun aku ada di rumah. Kau hanya perlu memanggilku saat Ayah sudah ada di rumah, mengerti?"
"B-baik, Lady."
Raiden menegang. Dia menengok ke bangunan mansion yang ia belakangi. Lorong telah kosong, hanya ada seorang pelayan biasa yang melewatinya. Namun, perasaan Raiden berkata bahwa ada kehadiran Quinn di sana.
Penelope memiringkan kepalanya bingung. "Ada apa, Raiden?" tanyanya ikut memperhatikan jendela.
"Tidak." Raiden menunduk sebentar, dia merutuki diriny sendiri, berpikir bahwa Quinn yang tergila-gila padanya namun lihatlah sekarang siapa yang terus memikirkan gadis lemah itu? Raiden merasa malu terhadap dirinya sendiri. "Aku dengar rumor kalau hubungan Killian dan Quinn sebagai saudara sangat tidak akur. Benarkah begitu?"
Penelope mengangguk pelan, "Begitulah. Killian tidak suka Quinn yang selalu tersenyum disetiap keadaan. Quinn itu terlalu santai dan tidak pernah memikirkan apapun selain bermain-main dengan teman-temannya. Itu menurut Killian."
"Ben—"
"Kakak!" seru Killian dari jauh memanggil Penelope. "Apa yang muka tembok itu lakukan di sini? menyebalkan sekali." gumam putra Savero itu kesal sebab Penelope hanya membalas dengan lambaian tangan tanpa berniat meninggalkan Raiden.
Karena kesal, Killian masuk ke dalam rumah dan tidak berniat memisahkan keduanya.
"Kau?!"
Killian tersentak kaget melihat Quinn duduk di sofa ruang depan sambil menikmati teh lavender favoritnya. Quinn tersenyum simpul, menatap adiknya ramah "Selamat datang kembali, Killian."
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Apa aneh? ini juga rumahku." Quinn duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Dilihat dari raut muka Killian, Quinn tahu bahwa dia tidak suka kakak kesayangannya dekat dengan Raiden, lelaki yang sangat dibencinya tanpa alasan yang jelas. "Aku dengar kau berjalan-jalan dengan Penelope kemarin. Bagaimana? apa menyenangkan?"
Killian mengerutkan wajahnya kesal. Baginya pertanyaan Quinn terdengar seperti ejekan. "Kau sudah merasa baikan? jika sudah tahu sebesar itu trauma mu, kau seharusnya bisa menolak. Aku tidak menyangka kau jadi manusia bodoh yang tidak tegas hanya untuk menyenangkan seseorang."
Kedua tangan pemuda itu terkepal erat. "Jangan campuri urusanku!" sentaknya tak terima dikatai oleh Quinn. Killian berdiri menjulang tinggi di hadapan Quinn yang masih santai duduk dengan tenang, "Kalau tidak punya urusan di sini lebih baik kau pergi sekarang juga. Kau sendiri yang memutuskan untuk angkat kaki dari sini, 'kan? kenapa kau kembali? haha apa kau menyesal?" ujar adik Quinn satu-satunya itu dengan nada meledek.
Quinn sengaja terus tersenyum, dia tahu bahwa Killian sangat mudah teriritasi melihat senyuman cerah Quinn. "Maaf saja, aku ke sini bukan karena aku sangat ingin kembali. Aku ke sini untuk bicara dengan ayah."
"Urusan? kau bicara seperti orang dewasa sekarang, huh? aku yakin itu hanya urusan tidak penting seperti biasa." cibir Killian tak berperasaan.
"Oh, Killian. Sejak kapan kau beralih profesi menjadi seorang cenayang? hebat sekali." ledek Quinn balik. Nada sarkas itu mampu membuat Killian membeku ditempat.
Siapa yang berdiri di depanku ini? kenapa dia sangat berubah? dia tidak ragu untuk membalas ucapanku dan menatapku tak gentar. Apa ini Quinn yang ku kenal? apa benar dia kakakku? semua pertanyaan bertumpuk dalam otak pemuda berwajah tampan itu dalam hitungan detik.
Penelope dan Raiden pun memutuskan untuk masuk ke dalam setelah cuaca menjadi lebih terik di luar.
Baik Penelope maupun Putra Mahkota, keduanya terbelalak kaget melihat kehadiran Quinn yang entah sejak kapan berada di sana.
"Quinn? sejak kapan kau datang?" tanya Penelope kaget.
Quinn dan Killian serentak mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk. "Hai, Penelope, Raiden~" sapa Quinn dengan nada yang mengalun manja. "Kalian berdua habis dari mana? aku tidak tahu kalau kalian pergi berdua. Senang sekali kalian sudah saling akrab."
Killian diam membisu. Quinn segera merubah sikap begitu Penelope dan Raiden masuk ke rumah. Sisi manis dan polosnya kembali muncul, "Dia ini sudah gila?" lirih Killian keheranan.
Raiden menghela nafas lega, ternyata instingnya benar dan bukan hanya khayalan semata. "Itu benar, tidak mungkin aku menyukai gadis ini." katanya dalam hati. Raiden mengelus pucuk kepala Quinn lembut, "Aku datang kemari ingin mencarimu. Aku tidak tahu kalau kau sudah pindah ke rumah Grand Duke."
"Maaf, aku sedang terburu-buru. Tapi syukurlah ada Penelope di sini, iya 'kan? setidaknya ada yang menemanimu mengobrol." Quinn bersikap manja di depan Raiden saat ada Penelope disampingnya.
Rahang Penelope mengeras. Ucapan Quinn seolah menyatakan Penelope hanyalah opsi kedua bagi Raiden karena Quinn yang dicari-cari sedang tidak ada. Itu membuatnya jengkel.
"Ahaha itu benar. Tapi, Quinn, bukankah sikapmu itu tidak baik? kau membiarkan Raiden kebingungan begini. Apa kau sesibuk itu sampai tidak bisa memberitahunya kalau kau sudah pindah?" tanya Penelope dengan nada menasehati.
Quinn kehilangan senyum seketika. "Raiden? jadi kau juga sudah sangat akrab dengan Pangeran ya?"
Raiden menyeringai tipis melihat ekspresi tidak terima yang Quinn tunjukkan. "Tenanglah Quinn. Dia tidak mencoba merebutku darimu. Kami hanya berteman." ucap Raiden ringan. Dia tidak mempedulikan tatapan terkejut Penelope.
Dia hanya menganggapku teman untuk sekarang. Tapi lihat saja nanti, Raiden akan jadi milikku.
Sejujurnya Quinn merasa jijik mendengar penjelasan yang diberikan oleh pemuda bersurai putih kebiruan itu kepadanya. Masa bodoh dengan hubungan diantara mereka berdua, Quinn melakukan sandiwara itu hanya agar tak menarik terlalu banyak perhatian Raiden pada perubahan sikapnya.
"Mengapa kalian semua berkumpul di sini?"
Savero, sang empunya rumah mengernyitkan dahi heran ketika melihat para anak muda itu berkumpul di ruang depan.
Tadi Savero masuk lewat pintu belakang sebab dia baru saja berburu di hutan yang ada di belakang rumahnya untuk meredakan stress nya. Pria itu fokus memandang putri bungsunya yang sudah ada di rumah "Quinn? kau kembali?"
Quinn mengangguk antusias. "Ya, aku ingin mendiskusikan sesuatu dengan Ayah. Apa Ayah punya waktu sebentar untukku?"
"... Ya, kau ingin bicara sekarang?"
"Itu bagus." Quinn beranjak pergi, dia menoleh menatap Raiden "Maaf, Raiden. Aku pergi dulu."
Mata Killian terus mengikuti kemana arah objeknya pergi. "Apa yang sebenarnya ingin Quinn bicarakan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Ricka Monika
aku suka dngn mu Quin jago acting mainkan dremamu dngn baikdan hancurkan mrk secara perlahan tp sangat menyakitkan
2023-09-17
2
Sri Zhuzanna
kepo
2023-09-12
1