Di perjalanan pulang sehabis mengunjungi toko obat milik Christian, Quinn bertambah senyap. Bukan mulutnya yang bekerja, tetapi saat ini otaknya lah yang terus bekerja sedari dia terbangun dari mimpi buruknya.
Apa Penelope tidak tahu kalau si penjual obat itu adalah pendeta muda yang tampan? Dan kenapa pula dia setiap hari datang kesana? Apa selama ini dia sakit?
Quinn sejujurnya ingin keluar untuk menyegarkan pikiran sekaligus mendapat jawaban. Akan tetapi yang terjadi justru kebalikannya. Pertanyaan menggunung memenuhi sampai ke tulang tempurung kepalanya. "Kenapa kau sangat penasaran dengan yang dilakukan sepupu mu sendiri? Kau bisa langsung menanyakannya, daripada bermain seperti agen rahasia begini".
"..."
Finn kemudian hanya terpikir satu kemungkinan dia pun memandang muridnya kaget, "Apa jangan-jangan hubunganmu dengannya juga sedang tidak baik?"
"..."
"Apa perlu aku bantu—"
"Diam! Kau ini berisik sekali sih!" sentak Quinn sebal. Suara Finn yang biasa saja terdengar keras dan sangat mengganggu konsentrasi nya saat dia sedang pusing banyak pikiran.
Finn mendelik kaget mendapat perlakuan kasar dari seorang murid yang bahkan dengan berani meninggikan suara kepadanya.
Ini benar Quinn yang selama ini ku kenali?
"A-aku mengerti. Maaf mengganggumu." Finn mengalihkan pandangan ke arah lain. Meski ia sedang sedikit sebal karena sikap Quinn tetapi dia tetap berjalan sejajar tak meninggalkan gadis itu sendirian.
"Sial. Padahal aku gurunya. Padahal aku lebih tua darinya. Aku seperti tidak punya harga diri. Sebenarnya tragedi besar apa yang telah merubahnya menjadi seburuk ini hanya dalam waktu semalam? Aku ingin anak muridku yang manis dan lugu itu kembali." batin Finn menangis.
Sementara di saat yang bersamaan, Penelope sudah berada di mansion pamannya, Savero. Dia benar-benar mampir untuk melihat keadaan keluarga Shuvillian. Saat sampai semua pelayan yang melihatnya ikut senang menyambut kedatangan Penelope, "Apa kabar kalian?" sapa gadis berambut sebahu itu ramah.
Penelope tidak segera masuk dan menghabiskan lebih banyak waktu di luar mansion menyapa seluruh pelayan yang bekerja untuk Savero. Untuk mematenkan posisinya dihati orang lain tentunya, itu tidak dia lakukan dengan setulus hati.
Kebetulan saat itu bertepatan dengan jam istirahat Killian setelah beberapa jam berlatih pedang. Hari ini adalah hari libur akademi sehingga dia mempergunakan kesempatan untuk berlatih sendirian di rumah.
"Kak Penelope!" Seru Killian senang ketika melihat sosok perempuan bergaun biru langit secerah senyuman indahnya yang terukir di bibir kissable itu.
"Killian~" nada manja Penelope mengalun lembut ditelinga, dia merentangkan tangan menyambut adik sepupunya, "Oh lihat sepupu tercintaku yang satu ini. Lihat dirimu, dalam sepekan kau berhasil memanjangkan kakimu lagi, eh?" Ujar Penelope sebagai sapaan sayang kepada adik bungsu Quinn.
"Sudah seminggu kau tidak datang kemari, apa kau sangat sibuk?" tanya pemuda berparas manis itu. Penelope menggeleng, "Tidak, tidak juga. Aku hanya mengurus beberapa pesanan buket bunga."
Killian yang cukup tajam pemikirannya jadi mengernyit, "Kak, kau ini seorang bangsawan. Viscount juga pasti sudah bekerja dengan baik, 'kan? Untuk apa kau tetap mencari uang sendiri?"
Penelope pandai untuk mengubah alur pembicaraan. Dia menarik tangan Killian lalu memberikannya sebuah kalung hasil tangannya sendiri "Kau mau menyimpannya untukku? Aku juga akan berikan satu untuk Quinn nanti."
"Ini kakak sendiri yang buat? Wah, keren sekali. Kakak benar-benar serba bisa, tidak seperti kakak yang satunya. Dia hanya tahu caranya membuang waktu dengan berkeliaran tidak jelas."
Penelope tahu Killian sejak dulu tidak dekat dengan Quinn, penyebabnya adalah sifat kakak beradik itu berbanding terbalik. Hal ini bisa ia manfaatkan untuk semakin memperkeruh hubungan antar keduanya dengan membuat Killian semakin menyayangi Penelope lebih dari seorang sepupu.
"Hahaha kau ini selalu kejam seperti biasa. Kau 'kan tidak tahu apa urusan Quinn," Killian tersenyum simpul "Kakak, kau ini selalu pengertian seperti biasanya."
"Oh iya, aku juga ingin memberikan ini untukmu." Penelope mengeluarkan setangkai bunga mawar merah lalu memberikannya pada adik laki-laki Quinn, "Ini untukmu. Ini tanda kasih sayangku padamu."
Killian yang terkenal jarang tersenyum bahkan sekarang tengah terkekeh menerima bunga itu dengan malu-malu "Terima kasih banyak, kak. Ayo kita masuk."
"Apakah paman ada di rumah?"
"Tidak. Dia baru saja pergi, sepertinya sedang ada urusan dengan rekan bisnisnya".
"Lalu bagaimana dengan Quinn? Apa dia sudah pulang?" Killian menoleh kaget. "Jadi kakak sudah tahu Quinn tidak ada?" tanyanya.
"Ya, aku tadi bertemu dengannya di kota. Ada apa?"
"Bukankah dia seharusnya sedang belajar dengan gurunya?!" Rahang Killian mengeras, mengira bahwa Quinn membolos lagi hanya untuk berkeliling.
"Aku tidak melihat siapapun bersamanya." sahut Penelope. Dia memang tidak sepenuhnya berbohong.
"Apa?!"
"Kenapa kau terkejut begitu?"
"A-ah tidak. Aku hanya terkejut dengan sikap Quinn. Ku kira dia gadis yang penurut." tatapannya merubah setajam mata pedang. Siapa yang suka mendengar informasi tak menguntungkan seperti itu, ditambah Finn yang dia pekerjakan justru membiarkan Quinn keluyuran di kota.
"Kak, kau mau beristirahat?"
"Um...aku ingin beristirahat di kamar Quinn saja, sekalian menunggu dia pulang. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya nanti."
"Kalau begitu kakak tunggu saja di sana. Aku mau mengganti pakaianku."
"Baiklah."
Ini tentu bukan kali pertama Penelope datang berkunjung. Meski begitu Penelope tidak pernah bosan sengaja memelankan jalannya agar bisa melihat semua isi bangunan mansion milik Savero.
Suasana yang terasa sangat berbeda dengan di rumahnya sendiri. Selalu ada kehangatan yang terasa walau Penelope juga tahu anggota keluarga Shuvillian yang tersisa tak begitu dekat satu sama lain. Setidaknya keadaan mereka masih lebih baik ketimbang keluarganya sendiri.
Dalang dari renggangnya hubungan ayah dan anak itu adalah Savero sendiri. Dia berubah semenjak istrinya meninggal. Savero menjadi semakin pendiam dan jarang jujur dan tak mau menunjukkan perasaannya. Walaupun begitu Savero tidak sepenuhnya mengabaikan dua anak peninggalan dari sang istri tercinta.
Penelope tertawa kecil, "Aku rasa ayah dan paman benar-benar saudara kandung." Mengingat Vincent dan Savero adalah kakak beradik yang sifatnya kurang lebih mirip.
"Sangat disayangkan aku tidak lahir menjadi putrinya paman. Tapi tidak masalah, aku juga akan mendapat kasih sayang dari paman Savero."
Killian sudah selesai mengganti pakaian latihannya dengan kemeja yang lebih kasual.
Otak pintar pemuda tampan itu tak bisa mengeluarkan Quinn dari dalam sana. Hatinya jadi tak karuan semenjak Penelope menyampaikan informasi itu.
Kaki panjang Killian melangkah cepat menuju ruang kerja Savero. Dia tahu tidak ada ayahnya di sana tetapi sudah pasti ada Aston, butler pribadi Savero, ada di dalam untuk membantu Savero merapikan sisa-sisa kertas.
"Paman Aston!"
Pria tua yang telah memakai kacamata untuk membantu penglihatannya itu tersentak kaget ketika pintu dibuka kasar dan Killian memanggilnya dengan setengah membentak, "Tuan Muda, Killian? Ada apa?" Tanya pria itu bingung.
Aston segera beranjak dari kursi "Ada yang bisa saya bantu?"
"Apa paman melihat kemana perginya Finn dan Quinn?" Aston tahu pertanda itu, di mana Killian sedang marah dan kalut maka tidak ada satupun kebohongan yang tak terdeteksi oleh matanya. Mata Killian semakin jeli.
"Saya melihat mereka berdua pergi tadi pagi, Tuan Muda. Tampaknya mereka akan pergi ke perpustakaan umum untuk belajar."
Aston menjadi gugup karena Killian memelototinya seakan tengah mencari kebenarannya sendiri dalam mata pria paruh baya itu.
"Begitu."
Putra bungsu Savero itu tidak memberi tanggapan dan pergi meninggalkan ruangan.
"Apa yang terjadi?" Gumam Aston heran.
Saat ini Quinn dan guru tampannya yang menjadi perhatian gadis-gadis di perpustakaan itu tengah membaca buku masing-masing. Di siang hari mereka membaca sesuatu yang berat seperti sejarah politik, yang mana otak sudah sulit untuk mencerna. Finn juga merasakan itu.
"Kenapa tidak pulang saja? Kau butuh istirahat," bisik Finn guna menghargai orang-orang yang duduk di dekat meja mereka.
"Aku masih mau di sini."
Nyatanya gadis bertubuh ramping itu juga sudah tak bertenaga lagi, namun Quinn memilih bertahan beberapa menit hanya sampai dia tidak bertemu lagi dengan Penelope. Dia yakin seratus persen sepupunya yang licik itu akan mengajaknya mengobrol panjang lebar jika mereka bertemu di rumah.
Bayangkan saja. Mengobrol bersama penuduh yang membuatmu harus dipenggal, yang berhasil merebut pujaan hatimu, dan bahkan akan resmi menjadi Ratu Ethereal setelah hari kematian mu, apa itu menyenangkan? Tidak, kan?
"Sejak tadi wajahmu tegang begitu. Aku yakin apa yang kau baca tidak masuk ke kepalamu."
"Aku sendiri juga tahu itu."
"Lalu kenapa kau masih berpura-pura membacanya? Bukankah itu membuang-buang waktu?"
"Aku tidak mau pulang sekarang. Cukup. Jangan bicara lagi. Suaramu itu sangat menggangguku." Kecam Quinn sebelum Finn sempat mengajukan pertanyaan lain.
"Kata-katanya sungguh kejam." Gerutu Finn dalam hati.
Begitu cara sementara Quinn untuk menghindari obrolan dengan Penelope sebelum dia membuat rencana tetapnya.
Hari mulai gelap. Langit tak lagi menunjukkan langit birunya, lampu-lampu jalanan satu per satu menggantikan peran mentari untuk menerangi dunia. Anak-anak berlarian pulang ke rumah masing-masing setelah seharian beraktivitas di luar. Angin yang berhembus perlahan-lahan menambah takaran dinginnya.
Quinn sengaja berjalan lambat agar memastikan setelah kepulangannya tak ada Penelope lagi di mansion itu. Dingin semacam ini sudah biasa dia rasakan, dinginnya udara di luar tidak lebih buruk dari dinginnya penjara bawah tanah istana.
Finn, anehnya dengan sabar menemani kemana pun gadis itu menghendakinya. Ia tampak seperti seorang kakak yang tengah menjaga adik perempuannya dengan hati-hati.
Berulang kali dia harus memelototi pemuda-pemuda yang menatap ke arah Quinn dengan maksud terselubung. Ya, walaupun gadis itu berlarut-larut dalam pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari tatapan orang kepadanya.
Finn beberapa kali menguap lebar, matanya mulai terasa berat. Biasanya dia tidur siang. Akan tetapi hari ini dia sibuk berkeliling kota dengan berjalan kaki ditambah ditemani suasana membosankan. Sebab itulah yang membuatnya mengantuk karena Quinn sama sekali tidak menggubrisnya.
Tiba-tiba matanya terbuka lebar "Gawat. Ah pasti Killian akan mengamuk karena ini. Harus buat alasan apa ya?" Otaknya bekerja keras mencari cara untuk menghindari amukan Killian yang baru terpikirkan setelah mereka sudah mulai dekat dengan rumah Quinn.
Di mansion Shuvillian...
"Menginaplah di sini kak. Kau sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama dengan kami."
Killian dan Savero mengantarkan Penelope sampai ke depan kereta keluarga Shuvillian. Rumah Viscount Marchetti cukup jauh dari sini sehingga akan memakan waktu lebih banyak dan tidak aman bagi seorang gadis berjalan di kota sendirian saat malam. Terlebih seorang bangsawan sepertinya yang seharusnya pergi dengan kereta.
"Mengapa kau tak pernah memakai kereta ayahmu?" Tanya Savero heran.
"Aku suka berjalan-jalan paman, menikmati pemandangan kota tak pernah membosankan bagiku, walau aku juga besar di kota ini hahaha." jawab Penelope riang.
"Kakak. Kau sudah berjanji akan datang ke tempat itu bersama ku, iya 'kan?"
"Ya, Killian. Besok pagi aku datang. Aku akan sekalian menginap di sini." Penelope meningkatkan intensitas senyumannya, membuat Killian sumringah.
"Sungguh?!" Killian tampak antusias menunggu hari esok tiba.
"Ya. Kalau begitu aku pulang dulu ya."
Setengah jam berlalu dan Quinn pun baru sampai ke rumah saat matahari sudah benar-benar tenggelam.
Hanya Aston yang menyambut kepulangannya. Masih sama seperti dulu, saat Quinn masih menyembunyikan kesedihan lewat keceriaannya, hanya Aston yang memperhatikan Quinn dengan baik.
Dulu Quinn tidak menganggap semua yang dia alami dengan serius dan tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Namun setelah dia menghadapi kematian dan melihat ketidakpedulian keluarganya hingga akhir hayatnya membuat Quinn yang sekarang merasa sulit untuk menunjukkan sisi riang dirinya di depan mereka.
"Paman Aston, aku pulang." ucap Quinn lemah, tersirat perasaan sedih dari wajahnya meski gadis itu sudah mengukir sebuah senyuman lebar.
"Selamat datang kembali, Lady Quinn." tanda keriput muncul dia kedua sisi matanya seiring dengan garis bibir pria itu naik, "Anda kelihatan sangat kelelahan. Bagaimana kalau Anda segera beristirahat saja?" pengertian seperti biasanya.
Otak Quinn tak mau diajak untuk berhenti sejenak memikirkan banyak hal. Badannya mungkin bisa diistirahatkan, tetapi itu tidak akan menghilangkan rasa lelahnya akibat si otak masih bekerja keras.
"Ya."
Finn tetap mengekori Quinn. Bukan apa-apa, hanya berjaga-jaga kalau Quinn membutuhkan 'bantuan' nya.
Mereka berdua terkejut ketika Killian muncul entah dari mana dan sekarang berdiri di hadapan mereka dengan raut muka yang sangat tidak mengenakkan.
Sudah ku duga, pikir pemuda pemakai tutup mata yang berada di samping gadis manis itu.
Irisnya memerah, kedua tangannya mengepal, ia melirik Finn dan Quinn bergantian "Quinn. Aku rasa kau sudah lupa tugasmu sebagai anak pertama di keluarga Shuvillian."
Finn sedikit menunduk agar bisa melihat ekspresi Quinn yang berdiri di sebelahnya tanpa bereaksi meskipun baru saja ia mendapat bentakan dari sang adik.
Finn berusaha menurunkan sedikit suasana tegang itu, "A-anu Yang Mulia—"
Quinn mengangkat tangannya di depan wajah pemuda beriris amber tersebut, menandakan bahwa Finn sebaiknya diam dan tak ikut campur urusannya.
Killian mengatur nafas sebelum akhirnya mencerca Quinn. "Kau terus saja berkeliaran tidak jelas. Membuang-buang waktumu dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Kau pikir senyuman mu bisa mengubah dunia ini jadi lebih baik?! Untuk apa kau pamerkan keceriaan itu pada orang yang sama sekali tidak membutuhkannya, huh?!"
Jujur saja. Meski adik lelaki Quinn itu sedang marah besar tetapi dia tidak melupakan sisi kakak kandungnya yang sudah berbeda dari sikapnya yang biasa.
Quinn selalu gemetaran ketika Killian sedang marah kepadanya. Kepala gadis malang itu akan selalu tertunduk menghadap lantai.
Sekarang menjadi sangat berkebalikan. Quinn membalas tatapannya dengan datar dan tak beremosi. Killian kehilangan niatnya untuk terus memarahi Quinn.
"Aku tidak pernah melupakan jati diriku. Semua orang punya caranya masing-masing untuk mencapai sebuah tujuan," Killian menautkan kedua alisnya makin tak suka ketika Quinn membalas perkatannya, "Aku juga punya caraku sendiri untuk menjaga nama baik keluarga ini. Aku kira kau pintar, ternyata kau hanya mengandalkan logika dan emosi mu saja untuk mengatasi segala hal. Aku tidak bodoh, adik. Kau menganggap semua cara yang kau lakukanlah yang paling benar sampai kau juga mengikatku dengan idealisme konyol mu itu."
Killian dan Finn mematung melihat sifat Quinn yang sudah benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Dia bukan lagi si penakut dan selalu menjadi yang memohon maaf kepada orang lain.
"Tidak perlu kau setir pun aku tidak akan melakukan kesalahan lagi. Aku sudah punya cara yang paling tepat untukku." Quinn merotasikan kedua bola matanya kemudian berlalu meninggalkan Killian yang masih syok dengan perkataan yang baru dua detik lalu dilontarkan Quinn.
Finn semakin dibuat ketar-ketir saat Killian memegang lengannya dengan perasaan menggebu (menahan amarah).
Kedua mata Killian yang memang besar dan menjadi semakin menakutkan ketika sedang melotot "Kau. Ikut denganku sekarang juga." Killian memberikan penekanan disetiap patah kata yang terucap.
"Yang Mulia, saya tidak akan kabur. Aduh aduh aduh, Anda berniat meremukkan tulang lengan saya?" Rintih Finn nyeri. Finn tidak menyangka dia akan dijadikan tempat pelampiasan.
"Diam! Kau harus menjelaskan semuanya padaku!" Sentak Killian tak tanggung-tanggung, rasa kesalnya sudah sampai ke ubun-ubun. Finn merasa dirinya dijadikan pelampiasan atas kekalahan pertama Killian dalam berargumen dengan kakaknya sendiri.
Killian baru melepas lengan Finn sesaat setelah mereka sampai di ruangan khusus yang Savero berikan pada Killian untuk belajar. "Jelaskan semuanya!"
Finn menelan ludah seraya mengalihkan tatapannya "Saya juga tidak tahu harus menjelaskan apa. Anda sendiri lihat bagaimana dia mendadak berubah menjadi seperti orang lain."
"Apa maksudnya?"
"Ya, seperti yang Anda saksikan barusan. Dia tiba-tiba saja menjadi ketus dan tidak suka banyak bicara. Dia bahkan tidak tersenyum sedikitpun hari ini."
"Apa telah terjadi sesuatu padanya?" Killian langsung menepis pertanyaan tersebut kala menyadari selama ini Quinn selalu berada di bawah pengawasannya. Segala tindak tanduk Quinn baik saat di rumah atau di luar rumah sekalipun tak pernah tak Killian ketahui.
"Saya juga merasa ada yang tidak beres dengannya."
"Apa karena si muka tembok itu?" Gumam Killian.
Julukan 'muka tembok' Killian berikan untuk pujaan hati Quinn, yaitu sang Putra Mahkota Raiden Vill de Sorrentine. Entah mengapa sejak pertama kali melihat Raiden, Killian langsung memberinya cap itu.
Bukan tanpa sebab, Killian beberapa menangkap bahwa Raiden terlalu percaya diri. Dia menganggap semuanya akan tunduk dan berada dalam genggamannya. Karena apa? Ya, karena dialah sang calon Raja di masa mendatang.
Tatapan arogan Raiden membuat Killian semakin tak menyukainya. Tetapi Killian memilih berpura-pura tak melihat semua itu dan membiarkan Quinn tetap dekat dengan si pangeran Ethereal itu sebab kedekatan mereka membawa keuntungan besar bagi keluarga Shuvillian.
"Sialan! Ini membuatku gila!" Pemuda berusia 15 tahun itu mengacak rambutnya setelah ingat ucapan dan tatapan dari Quinn yang selama ini sangat lembut.
Finn menyeringai tipis melihat tingkah Killian "Tidakkah lebih baik Anda bertanya langsung apa alasan Lady Quinn berubah? Mungkin dia depresi karena suatu alasan yang selama ini sudah dia tumpuk sendirian."
"Kau ingin mati?"
"Saya tidak punya lagi hal yang perlu dilaporkan. Saya akan pulang sekarang. Selamat malam, Tuan Muda Shuvillian." Finn berdiri di depan pintu sebelum ia pergi, "Apakah Anda tidak pernah berpikir sekali saja bahwa seseorang bisa menjadi bosan dan muak ketika diperlakukan tidak adil?"
"Huh? apa yang coba kau katakan?"
"Mungkin Anda harus menyederhanakan pikiran dan menyempitkan hipotesis Anda mengenai Lady Quinn." Finn sengaja memberi kata-kata yang tidak langsung mengarah pada Killian, tetapi pemuda itu cukup pintar untuk menangkap maknanya.
Finn segera meninggalkan ruangan setelah melihat ekspresi Killian yang semakin menggelap.
Putra bungsu Savero itu mendecih kesal. Kakinya terus bergerak mengetuk lantai di bawahnya "Sepertinya aku harus memperketat pengawasan ku."
Killian menganggap semua sikap Quinn itu hanya sebagian dari rencananya untuk menarik perhatian Killian dan Savero.
Quinn baru saja selesai mandi. Hal yang menarik matanya telah merubah tujuan pertama Quinn. Gadis cantik berambut panjang itu tak jadi mengistirahatkan tubuhnya dan duduk di meja dekat balkonnya.
Isi vas bunganya telah berubah. Tadi pagi vas itu diisi oleh banyak bunga berwarna-warni dan sekarang hanya tersisa satu jenis bunga berwarna merah yang memenuhi vas berukuran sedang itu.
Quinn menyentuh kelopak semerah darah itu "Bunga ini..."
Seorang pelayan yang membantu Quinn bersiap pun memberitahu "Lady. Siang ini Lady Penelope datang dan beristirahat sebentar di sini. Beliau bilang ingin sekalian mengganti bunga Anda dengan yang segar."
Quinn mengangkat belasan tangkai bunga Popi itu keluar dari vas. Kemudian dia menuang habis seluruh air di dalamnya ke lantai— tepatnya ke karpet tebal di bawahnya.
"L-Lady?! Apa yang Anda lakukan?" Pelayan itu terkejut dan segera mengelap karpet itu dengan rok panjangnya.
Tidak ada apapun di dalamnya, Quinn membalik bunga itu dan melihat ada suatu kertas yang melilit di salah satu tangkai bunganya "Seperti yang ku duga."
Quinn berlari membuang bunga dalam genggaman dan membuatnya berceceran tak karuan di lantai. Dia pergi menuju ke perpustakaan pribadi keluarganya untuk mencari sebuah buku tentunya.
Sesampainya di perpustakaan, gadis itu terkejut karena ayahnya ternyata juga sedang membaca buku di sana sekalian menanti makan malam selesai dihidangkan. Savero tampak terkejut karena Quinn membuka pintu dengan tidak santai "Mengapa kau berlari?"
"Aku...aku sedang terburu-buru. Maaf mengagetkan mu."
Quinn tidak memperhatikan Savero lagi. Dia buru-buru menuju ke rak buku tempatnya menaruh semua berjenis kamus.
"Ini dia." Bisik Quinn seraya menarik sebuah buku tebal dari tempatnya. Dia berjongkok dan membuka lembar demi lembar, mencari arti dari bunga Popi merah itu sendiri.
Dua menit...
Lima menit...
"Ketemu," matanya menjelajah isi halaman, membaca satu per satu kalimat yang menjelaskan asal usul bunga tersebut dan kemudian di akhir halaman ada satu kata yang di cetak tebal serta ukurannya lebih besar dari huruf lain, memberi kesimpulan bahwa bagian itulah yang merupakan intisari.
"Kema...tian...?"
(Buat kalian yang tidak tahu, bentuk bunga popi seperti ini ya^-^)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Ricka Monika
keluarga yg aneh smbsaudarankandung cuek sm sepupu ramahnya luar biasa 👀
2023-09-17
0
Frando Kanan
HA! gk heran....Quinn mlh mati terbunuh Oleh klian semua....dsr sampah
2023-09-15
0
Frando Kanan
cih 😒! PERSETAN DGN lo!
2023-09-15
0