"Urgh..!"
Erangan kesakitan terus terdengar dari sebuah kamar paling pojok di lantai dua dalam mansion keluarga Shuvillian.
"Akh! Tidak!"
Teriakan yang sama terus menggema dari kamar itu.
Seorang wanita berseragam maid yang pagi ini sedang bertugas membersihkan kamar tersebut merasa cemas usai melihat keringat dingin membanjiri tubuh langsing gadis yang terbaring di atas ranjang tersebut.
Kedua tangan lentik itu dengan kuat meremas sprei kasurnya yang sudah amat lusuh. Wajahnya kian memucat bersamaan dengan tubuhnya yang terus menggeliat liar seakan sedang berusaha kabur dari mimpi buruk yang amat menyiksa.
"Lady? Lady, bangunlah."
Dengan hati-hati wanita itu mengguncang tubuh majikannya.
"T-tolong..." Rintihannya terdengar begitu pilu dan penuh keputusasaan.
Berkali-kali coba dibangunkan pun gadis muda tersebut masih memejamkan mata enggan untuk terbangun dari mimpi buruknya.
"Lady! Lady Quinn, bangunlah!"
Terpaksa ia mengeraskan suaranya agar gadis malang tersebut bisa mendengar dan lekas sadar dari siksaan mimpi berkepanjangan itu "Lady!"
"Aaarrghh!"
Pekikan Quinn membuat sang pelayan terlonjak kaget. Quinn langsung duduk tegap sambil menendang keras selimutnya hingga terjatuh dari ranjang. Tangannya dengan tidak sabaran bergerak meraba leher bersihnya seperti orang ketakutan.
"...."
Dadanya kembang kempis tak beraturan. Nafasnya tersengal-sengal seakan dirinya baru saja berlari sejauh lima kilometer tanpa henti. Matanya terbuka lebar, "Aku masih hidup...?" gumamnya penuh tanda tanya.
Pelayan yang diketahui bernama Vanna itu mengernyit bingung, "Lady, Anda baik-baik saja? Sepertinya Anda mengalami mimpi buruk lagi."
Vanna nampak cemas melihat gelagat Quinn yang lebih parah dari biasanya. Gadis manis berusia tujuh belas tahun itu terus menanyakan apakah dirinya masih hidup atau ini hanyalah mimpi. Ditambah, Quinn terus menampar pipinya dan mencubit punggung tangan nya sendiri untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi.
"Lady? Lady dengarkan saya sebentar." Quinn melirik Vanna, tatapan tak percayanya membuat Vanna semakin mencemaskan kesehatan gadis itu, dia berkata sambil mengelus tangan Quinn, "Sebaiknya Anda segera diperiksa oleh dokter yang ada. Tampaknya gangguan tidur yang Anda alami semakin memburuk."
"Vanna, kau kah itu?" bukannya mendengar, Quinn justru fokus pada hal lain. Quinn menyentuh kedua pipi Vanna, mencubit pelan kedua pipi pelayan wanita itu memastikan. "Vanna!" Wanita yang diketahui bernama Vanna itu terkejut kala Quinn mendekapnya dengan sangat erat.
Quinn menatap sekelilingnya dengan tergesa, "Aku harus memastikan sesuatu!"
Quinn berlari turun dari kasur empuknya menuju kaca besar setinggi dirinya di dekat lemari pakaian. Ia pun mematut dirinya di cermin, "Aku masih utuh, kepalaku masih ada...apa yang sebenarnya terjadi?" otaknya tidak bisa bekerja cepat saat tubuhnya sendiri masih dengan jelas mengingat rasa sakit bilah pisau menembus lehernya. Quinn masih ingat betul bagaimana dia mendengar bunyi tulang lehernya patah terbelah.
Vanna menghela nafas melihat tingkah Quinn yang agak lain dari biasanya, "Dia tidak mendengarkan ku".
"Apa yang dia gumamkan sejak tadi? Hidup? Dia seperti baru saja kembali dari kematian." Lirihnya seraya melanjutkan acara bersih-bersih kamar yang sempat tertunda beberapa menit lalu.
"Apa yang terjadi padaku?" Quinn melihat ada yang berubah dari dirinya setelah terbangun.
Ya. Matanya. Muncul corak yang tidak biasa di manik biru pudarnya itu, sebuah corak coklat keemasan layaknya daun berguguran yang menghiasai tanah pijakan di musim gugur.
Quinn berlari ke jendela besar yang mengarah ke balkon kamar, "Ini rumahku. Aku kembali? Tapi bagaimana bisa aku kembali ke sini?"
Kebingungan masih menghujam dirinya tak henti-henti. Pening di kepala tak ia rasakan asal semua pertanyaannya lekas bertemu dengan sebuah jawaban.
Quinn sadar betul. Seperti yang dikatakan Vanna sebelumnya, Quinn memang memiliki gangguan tidur. Dia seringkali terbangun, tidur sambil berjalan, bermimpi buruk, atau mengalami insomnia parah hingga beberapa hari ia terus terjaga.
"Mimpi ini terlalu menyakitkan untukku."
Namun kali ini rasanya berbeda. Jika itu mimpi, rasanya terlalu lama. Jika itu sungguhan hanya bunga tidur, mengapa rasanya begitu nyata? Sensasi dingin pisau yang melesak masuk melalui tengkuk leher hingga memisahkan kepala dari tubuhnya masih terekam jelas di otaknya. Bahkan rasa nyeri parah saat pisau itu secepat kilat jatuh kepadanya juga masih tertancap dalam di memori.
Brak!
Pintu kamar Quinn dibuka kasar oleh seorang pemuda berambut hitam dengan mata besarnya yang menawan "Apa yang kau lakukan?! Kau membuat ayah menunggu lama!" Bentaknya marah pada pertemuan pertama mereka di pagi ini.
"Killian...?"
"Kami tak punya waktu untuk bersantai seperti kau, kak. Jadi jangan seenaknya membuat orang lain menunggu. Kami membuang-buang waktu hanya untuk seseorang seperti dirimu." Ujarnya dingin tak berperasaan, dia tidak peduli dengan penampilan kakaknya yang kacau.
Quinn tidak heran. Sejak dulu memang seperti itulah sikap Killian terhadap kakak kandungnya sendiri. Killian mewarisi hampir sempurna menyalin sikap ayahnya, Savero de Alger Shuvillian.
"Ya, aku tahu."
Mengingat betapa tidak pedulinya Killian terhadap dirinya saat itu membuat Quinn merasa sedih dan kesal. Melihat wajah adiknya saat ini masih melempar tatapan yang sama dinginnya membangkitkan rasa kecewa dalam relung hati Quinn. Sebegitu tak pedulinya kah ia dengan anggota keluarga sendiri?
"Jangan membebani kami dengan keegoisanmu."
Brak!
Lagi-lagi pintu kamar Quinn yang jadi korban pelampiasan. Langkah pemuda itu terdengar mulai menjauh tidak lama setelah dia membanting pintu tak bersalah.
Quinn lantas menghampiri Vanna yang masih membersihkan meja, "Vanna, aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu".
"Ya, Lady. Tanyakan saja, saya akan menjawab sesuai dengan pengetahuan saya."
"Berapa umurku sekarang?"
"Ya..? A-Anda lupa dengan usia Anda sendiri?" Alis Vanna mengkerut heran.
Quinn segera menangkap arti tatapan Vanna. "Ah tenanglah, Vanna. Aku tidak separah itu, aku hanya lupa saja. Belakangan ini aku merasa ada banyak sekali yang mengganggu pikiran." kelihatannya alasan Quinn tetap membuat Vanna cemas.
"Sekarang usia Anda sudah tujuh belas tahun, Lady."
"Aku kembali ke tiga tahun yang lalu," batin Quinn. Iris nya yang unik terpejam berusaha fokus, "Apakah itu mimpi? ataukah itu penglihatan tentang masa depan?" Quinn tidak pernah berpikir dia bisa menjadi seorang cenayang yang bisa melihat masa depan.
Dalam kebingungan, Quinn tetap bergerak bersiap-siap mengganti pakaian.
Beberapa menit kemudian Quinn selesai bersiap dan datang ke ruang makan yang di mana adik dan ayahnya sudah duduk di kursi masing-masing tanpa menyentuh sendok dan garpu di hadapannya.
Quinn duduk di samping kanan Savero. Pria bercitra dingin itu menatap putri sulungnya tanpa ekspresi. Savero tidak pernah memarahi anak-anaknya jika mereka tidak membuat kesalahan, tetapi Quinn menjadi tegang tatkala wajah marah ayahnya sebelum dia dipenggal terlintas dalam benak. Jujur saja, itu membuat Quinn menggigil takut.
"Kau datang terlambat." sepenggal kalimat Savero mampu membuat gadis berwajah manis itu bergidik ngeri.
Quinn menegang mendengar suara datar milik Savero "Maafkan atas ketidaksopanan saya, ayah." kepalanya tertunduk dalam.
"Aku dengar kau mengalami gangguan tidur lagi."
Quinn melirik wajah tenang Savero. Dia tidak tahu ayahnya punya waktu untuk bertanya mengenai keadaan putrinya, "Ah, ya benar."
"Aku sudah menyuruh Aston untuk memanggilkan dokter. Setelah sarapan temuilah dia segera." titah sang Count Shuvillian.
Meski terkesan datar, tetapi Savero tetap memperhatikan putri sulungnya itu. Sisi inilah yang membuat Quinn merasa takut. Takut akan mengecewakan atau melukai Savero, karena sekali saja berbuat kesalahan Savero tidak akan mentolerirnya sekecil apapun itu.
Sifat ayahnya berubah setelah kematian istri tercintanya, Sirena, tepat setelah Killian resmi berusia lima tahun. Kini Killian sudah menginjak usia 15 tahun yang artinya sudah 10 tahun semenjak sepeninggal sang Countess kesayangan.
"Baik. Terima kasih, Ayah."
Hanya bunyi dentingan piring dan garpu yang saling beradu yang menggema dalam besarnya ruang makan keluarga Shuvillian. Tak ada yang bercakap-cakap, semua fokus pada piring masing-masing. Itulah salah satu etika dalam kelas bangsawan.
Setelah sarapan selesai semua lantas pergi menuju tujuan masing-masing. Keluarga yang tidak hangat memang. Semua pelayan juga tahu mereka bertiga akan berinteraksi ketika perlu.
Quinn hendak kembali ke kamarnya lagi untuk merenungkan semua yang terjadi kepadanya tetapi Killian menghalangi jalan, "Kau mau kemana?"
Quinn mendongak memandang wajah putih pucat adik bungsunya, "Aku mau ke kamar."
"Kau punya kelas dengan Finn."
"Aku tahu. Aku belum pikun."
Quinn berlalu pergi tanpa menghiraukan Killian lagi. Pemuda berwajah manis nan tegas itu mengerutkan dahi. Dirinya dilanda oleh kepelikan gadis yang biasanya ceria itu, "Ada apa dengannya?" ia memutar kepala menatap punggung kakaknya yang mulai mengecil.
Tangan Killian mengepal. Dia berpikir Quinn sedang mencoba mencari lain untuk menarik perhatian dari Savero dan dirinya karena Quinn tak pernah dihiraukan meski dia berbuat baik sekalipun.
Quinn mengubah tujuan. Ia pergi ke taman belakang rumahnya untuk memikirkan kembali apa yang terjadi padanya. Berdiam diri di kamar akan membuatnya merasa semakin terbebani.
Tak ada siapapun di sana. Sepi tak berpenghuni. Hanya ada hamparan rumput terawat dan puluhan jenis bunga berdiri di sana seolah siap menemani Quinn untuk berpikir dalam.
Dulu taman ini sepenuhnya tanggung jawab Sirena. Dia sangat suka menanam bunga, baginya mencium aroma tanah bisa menenangkan pikiran dan hati sehingga Savero sengaja menyediakan lahan khusus untuk istrinya. Sekarang semua diserahkan pada tukang kebun keluarga mereka.
"Tidak ada yang sadar dengan mataku, apa hanya aku yang mampu melihatnya?" Semua orang memberi respon yang biasa saja seperti tak ada yang aneh terjadi pada dirinya.
"Masa bodoh dengan mata ini. Bagaimana aku bisa kembali ke sini?" Tidak masalah jika Quinn terbebas dari kematian yang tragis. Tapi yang membuatnya penasaran adalah alasan dibalik kembalinya ia ke masa lalu.
Apakah Tuhan ingin memberinya satu kesempatan lagi untuk hidup demi diri sendiri?
Ia terus terbayang bagaimana Raiden dan Penelope berbahagia atas kematiannya dan berpesta pora untuk merayakan kemenangan keduanya. Mereka seperti seakan baru saja mendapat anugerah besar dari seluruh dewa di langit.
Dulu, Quinn berpikiran sederhana dan polos, dia terlalu naif untuk mengetahui niat terselubung keduanya. Raiden memanfaatkan kedekatan Quinn dengan Raja untuk dapat cepat merebut tahta walau memang dialah putra mahkotanya. Sedangkan Penelope memanfaatkan dirinya agar dia bisa terlihat lebih bersinar dari Quinn dan merebut semua apa yang dimilikinya.
Tangan Quinn meremas roknya dengan kuat guna menyalurkan amarah setelah mengingat wajah mereka berdua.
"Aku tidak akan berakhir menyedihkan seperti yang kalian inginkan!" Geramnya marah.
Dari kejauhan Killian terus memperhatikan ekspresi kakaknya. Dia berdiri bersama dengan seorang lelaki yang merupakan guru sejarah bagi Quinn. Laki-laki tersebut memang guru pilihan Killian.
"Sudah ku duga ada yang aneh dengannya." Gumam Killian, kedua alisnya bertaut ketika melihat ekspresi marah Quinn dari kejauhan.
Pemuda tampan dengan penutup mata itu melirik pemuda di sebelahnya, dia mengulum tawa, "Pfft. Yang Mulia, Anda juga aneh. Tidak biasanya ada sepeduli itu dengan kakak Anda sendiri."
"Diamlah." sinisnya.
"Hahaha maaf, saya terbawa suasana. Ini sangat menarik," kekehnya sambil memandang lurus ke depan— tepatnya ke arah paviliun tempat Quinn sedang duduk bersantai, "Jadi? apa yang Anda ingin saya lakukan?"
"Awasi dia baik-baik. Laporkan semua tentang nya setelah kelasmu berakhir. Mengerti?" tersirat sebuah ancaman dalam perintah Killian.
Lelaki bernama Finn itu mengangguk santai "Baik, baik, saya mengerti." dia kemudian mengangkat bahu ringan tak mau ambil pusing. "Seperti biasa Anda ini terlalu serius. Tidak lama lagi Anda bisa kelihatan 40 tahun lebih tua."
"Kau ini cerewet sekali. Aku ingin merobek satu matamu yang tersisa." Killian mengangkat sedikit pedang nya.
"Oops! Maaf, Yang Mulia. Saya akan diam sekarang" ia memperagakan gerakan meresleting mulut di depan mulutnya sendiri.
Quinn mengangkat wajah saat ekor matanya menangkap sebuah bayangan seseorang berjalan mendekat. Ia tak berekspresi ketika melihat Finn datang menghampiri, pemuda berusia dua puluh tahun yang menjadi pengajarnya dalam sejarah Ethereal.
Sebelumnya, Quinn tidak lama belajar dengan Finn. Setelah tahu bahwa Quinn menjalin hubungan yang spesial dengan Raiden, Finn memutuskan berhenti mengajar dengan alasan Quinn sudah memiliki semua dasar-dasar sejarah negara yang bisa menjadi bekal untuknya ketika menjadi ibu negara ini suatu saat nanti.
Di hari yang sama Finn memberikan sebuah kenang-kenangan berupa lukisan air terjun sebagai tanda perpisahan mereka. Setelah itu Finn pergi menjadi seorang pengembara yang tak pernah menetap disuatu tempat sehingga keberadaannya sulit dilacak.
Sosoknya yang ceria sama seperti Quinn (yang dulu) menambah kesan misterius pada Finn. Dia sama sekali tak pernah menunjukkan perasaan apapun selain sembrono dan suka bermain-main. Tapi yang pasti Quinn sadari setelah kembali dari kematian adalah Finn memiliki perasaan yang tulus kepadanya.
Pemuda riang dan murah senyum itu melambai tinggi-tinggi pada Quinn "Yo, Lady. Apa kabar? Kelas kita akan segera dimulai. Bisakah kita ke perpustakaan sekarang juga?"
"Ya."
"Huh?" Matanya mengerjap beberapa kali dengan cepat. Otaknya berusaha memproses sesuatu.
Finn mematung ditempat ketika Quinn memberikan respon yang berbeda dari kemarin. Dia sekarang terkesan mirip dengan ayah dan adiknya. Quinn tidak menyapanya balik atau menanyai kabarnya seperti biasa, "O-oh, ya.. baiklah, mari kita pergi."
"Apa suasana hatinya sedang buruk?" Tanya Finn dalam hati.
"Maaf, kak."
"Hm? Kenapa?"
"Bisakah kita belajar di perpustakaan umum saja? Aku ingin mencari buku yang tidak ada di rumahku."
"Oh begitu? Aku tidak keberatan."
"Terima kasih."
Dan sekarang Quinn hanya akan berbicara ketika ada perlu . Mulutnya tak berniat mengucap sepatah kata pun apalagi menyunggingkan senyum, kalau tidak terdesak oleh suatu keadaan. Finn berpikir gadis ini sudah mulai depresi dan tidak bisa lagi menyembunyikan stress nya dengan menjadi sosok yang periang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Lina Sofi
tinggalin keluarga gt pergi jauh biar tau d cari ap g
2024-05-27
0