Quinn baru bisa tertidur pulas dini hari setelah semalaman suntuk membuat banyak keputusan untuk menghindari akhir yang sama lagi.
Quinn sudah benar-benar memilih untuk jadi orang dengan kepribadian baru yang tidak dapat lagi orang lain manfaatkan dengan mudah seperti dulu. Tidak peduli jika orang-orang menyadari perubahan itu.
Gadis malang itu masih membawa perasaan tidak senang dalam kegiatan apapun yang dilakukannya. Rasa sakitnya terlalu membekas. Bahkan sampai di mimpi pun Quinn masih dihantui perasaan sedih yang menggebu-gebu hingga tak sadar airmata nya berlinang membasahi bantal.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dan Quinn baru saja bisa bangun setelah Vanna memanggil namanya untuk yang ke-duapuluh kalinya. Seorang tabib sudah duduk di kursi kecil di pinggir ranjangnya.
Pria itu memeriksa denyut nadi Quinn dengan penuh kehati-hatian. Savero, Killian, dan Penelope berdiri menatapnya dengan aneh.
Quinn menepis tangan tabib itu lalu beranjak duduk, "Vanna, apa yang terjadi padaku?" Quinn tidak menatap satupun anggota keluarga yang berkumpul untuknya. Dia hanya menatap pelayan yang berlutut dilantai tepat di samping ranjangnya.
Savero menghela nafas. "Tenanglah. Biarkan yang berprofesi lah yang menjawabnya."
Tabib itu dengan tenang menjelaskan "Putri Anda mengalami gangguan tidur yang sudah cukup parah. Ini akan semakin buruk jika Lady Quinn merasa stress dan depresi berkepanjangan. Ini bisa membahayakan nyawanya sendiri jika terus berlanjut".
Rahang Killian mengeras, tangan kanannya mengepal di dalam saku celananya. "Seperti yang Finn katakan semalam," batinnya tak suka dan tak terima dengan kebenarannya.
Savero memijat pangkal hidungnya seraya mendengus "Lalu apa kau bisa memberikan obat yang manjur?"
Tabib itu tidak bisa menjawab apakah itu akan berefek atau tidak, tetapi dia memberikan takaran obat berjenis bubuk untuk meredakan stress yang dialami Quinn. "Tidak semua orang akan cocok dengan obat ini, jika Anda tidak merasa ada perubahan atau malah tidak cocok, Anda bisa langsung menghentikan pemakaiannya. Minumlah setiap setelah makan malam."
Quinn tidak berminat mendengar semua yang dikatakan sang tabib. Kakak Killian itu asyik melamun memikirkan bagaimana dia menyimpulkan pesan yang ditulis Penelope dalam gulungan kertas yang dililitkan di salah satu tangkai bunga popi.
"Sebaiknya Anda jangan terlalu banyak beraktivitas yang memerlukan otak untuk berpikir. Anda bisa melakukan apapun yang bisa menenangkan pikiran Anda. Jika tingkat depresi Anda meningkat, Anda akan kesulitan tidur lebih daripada ini dan kesehatan Anda akan memburuk."
Penelope memasang ekspresi khawatir, dia duduk di tepi ranjang memegang kaki saudari sepupunya "Quinn, jika kau punya tempat yang ingin kau kunjungi, aku akan menemani mu pergi ke sana."
Quinn mengangkat wajah "Kenapa kau ada di sini?"
Savero dan Killian terkejut melihat wajah dingin Quinn. Sejak kapan gadis ceria yang selalu tersenyum tak peduli situasi dan kondisi sekarang secara terang-terangan menunjukkan sisi dinginnya? Sekarang, Killian beranggapan bahwa perubahan drastis dari sikap kakaknya itu adalah karena depresi berat.
"Bicaralah yang sopan. Dia tamu di sini." Sahut Killian ketus.
Penelope menepuk lengan Killian sembari menggeleng, memberitahu pemuda itu agar dia tidak mengatakan apa-apa lagi "Aku akan menginap di sini selama dua hari ke depan. Ini mungkin takdir, aku jadi bisa menemani—"
"Terima kasih tapi aku bisa mengatasinya sendiri." Quinn kembali merengkuh selimut tebalnya dan menyembunyikan tubuh kecil itu dibalik selimut hangat miliknya. "Kalian semua keluar saja. Aku akan melewatkan sarapan pagi." Suaranya mengecil karena selimut yang menghalangi mulutnya.
Killian mendecak sebal, "Tck!" dia berniat menarik selimut Quinn, namun Savero menahan pundak putranya dengan keras.
"Jangan ganggu kakakmu lebih jauh dari ini, Killian." Killian tidak bisa melawan kemauan Savero, apa lagi saat pria itu memberi tatapan tajam nan membunuh. Tidak biasanya Savero mempedulikan perdebatan antara Quinn dan Killian. Savero kali ini tampak menekankan peringatan itu kepada kloningan dirinya (Killian) untuk tidak mengganggu ketenangan Quinn.
Kali ini benar-benar berbeda. Killian yang berhati keras pun bisa merasakan perhatian ayahnya pada Quinn yang selama ini dia abaikan. Savero bahkan menanyakan apa saja yang putri sulungnya inginkan melalui Aston.
Kekhawatiran Savero beralasan. Sebelumnya dia pernah merasakannya. Hal ini terjadi karena selama mengandung anak kedua, Sirena juga mengalami gangguan tidur. Kian lama kian memburuk. Dua bulan sebelum Killian lahir, kesehatan Sirena menjadi semakin mengkhawatirkan. Tubuhnya sangat kurus sampai-sampai beberapa tabib yang dipanggil mengatakan hal yang sama, yaitu Sirena terlalu kurus dan akan mempengaruhi proses persalinannya.
Savero merasakan kebahagiaan dan kepedihan yang sama besarnya. Di satu sisi Killian lahir ke dunia dengan sehat, namun di sisi lain dia harus merasa kesedihan yang mendalam karena Sirena harus pergi selamanya meninggalkan dia beserta dua anaknya.
Gangguan tidur yang Quinn alami pasti membuat trauma Savero mencuat ke permukaan kembali sehingga pria tampan berwajah sedatar tembok itu mencemaskan kesehatan putri sulungnya.
Siang harinya, ketika Penelope dan Killian jalan-jalan di taman bersama, Quinn mengetuk pintu kantor Savero dengan tidak sabaran.
Aston segera membuka pintu dan terkejut melihat Quinn memakai pakaian pergi lengkap dengan topi dan koper besar di tangannya "L-Lady..?"
"Biarkan aku masuk, paman."
Savero meletakkan pena nya kembali ke dalam botol tinta. Dokumen yang tengah ia kerjakan disingkirkan ke tepi meja lalu duduk seolah dia hanya sedang bersantai di sana. Matanya yang sayu menatap sosok Quinn lamat-lamat "Ada perlu apa, Quinn?"
"Ayah, mulai hari ini aku ingin tinggal bersama kakek."
Savero dan Aston tersentak kaget mendengar pernyataan mendadak yang Quinn utarakan. Tak sedikitpun ada sorot keraguan baik di dalam matanya maupun dari ucapan yang keluar dari mulutnya. Sangat tidak diduga-duga Quinn bisa berpikir untuk tinggal bersama kakeknya.
"K-Kau sungguh ingin melakukannya?" Tanya Savero bingung.
Pertanyaan Savero segera ditanggapi dengan anggukan mantap dari Quinn. "Ya. Tadinya aku hanya berniat untuk menginap beberapa hari saja, tapi aku berubah pikiran. Ayah tidak perlu memikirkanku, aku akan hidup dengan baik. Aku akan kembali jika aku rasa aku ingin melakukannya."
Savero menutupi mulutnya yang menganga, ia terlalu terkejut. Matanya berkedip cepat. Pria beriris hitam itu tidak sanggup melihat sisi dingin Quinn. Gadis yang selalu setiap hari tertawa, tersenyum, selalu menyapanya dengan riang tak kenal lelah dan tak peduli jika tak dihiraukan, kini menatap Savero seolah-olah dia adalah orang lain.
Apa perasaan inilah yang selalu dirasakan oleh Quinn?
"Kau sudah memutuskannya dengan yakin?" tanya Count Shuvillian itu untuk yang kesekian kalinya, memastikan bahwa putrinya sungguhan ingin pergi dari mansion ini.
"Ya, ayah. Aku rasa beban ayah dan Killian juga akan berkurang dengan tidak merawat anak ringkih yang merepotkan ini." Quinn tersenyum kecut.
"..." Mulut Savero langsung terkatup rapat. Lidahnya kelu. Dia tidak menginginkan satu dari anaknya pergi, tetapi dia juga tidak bisa menyalahkan Quinn yang beranggapan seperti itu padanya sebab ia tak pernah sekalipun menunjukkan kasih sayang secara terus terang kepada anak-anak.
Semenjak kematian Countess Sirena, Savero berubah menjadi orang yang sulit mengekspresikan dirinya dalam apapun itu. Tetapi bukan berarti dia sudah tak peduli pada orang-orangnya, terutama kepada anak-anaknya dan Sirena.
Quinn membungkuk hormat. "Itu saja yang ingin ku sampaikan. Kalau begitu aku permisi, maaf mengganggu waktu ayah."
Belum sempat Quinn sampai ke luar pintu, seorang pelayan wanita muncul dengan keadaan kehabisan nafas. "Ada apa?" Tanya Aston heran.
"Lady...huh... Mohon maaf Lady, Pangeran Raiden ada sudah ada di ruang tamu. Beliau sedang menunggu Anda."
Quinn terbelalak kaget tetapi hanya butuh waktu beberapa detik baginya untuk mengingat. Ini adalah hari peringatan kematian ibu Quinn, dia sendiri berencana akan berkunjung ke makam Sirena sebelum pergi ke rumah kakeknya, Bastien Lombardia.
"Benar, hari ini..."
Bertepatan juga dengan Raiden yang menyatakan cintanya. Setelah hari ini, Quinn akan semakin bahagia dan semakin berbunga-bunga setiap harinya. Tanpa tahu yang menanti di depan hanyalah pengkhianatan dan ajalnya sendiri.
Guratan senyum terpatri di wajah ayu Quinn "Ya, aku akan segera menemuinya."
Aston menoleh ke meja "Yang Mulia..."
"Aku tidak akan menemui putra mahkota. Urusannya bukan denganku."
Savero tidak punya tenaga untuk menyambut kedatangan Raiden. Syok yang Savero rasakan membuat semangatnya untuk beraktivitas telah hilang.
"Baiklah, Yang Mulia."
Sebuah kebohongan besar apabila Quinn mengatakan perasaannya sekarang biasa saja. Meski sudah mengatur semua keputusan dengan baik, bertemu dengan cinta pertama dan terakhirnya membuat jantung Quinn nyaris meledak.
Dari kejauhan Quinn sudah bisa melihat Raiden tengah duduk disofa di ruang tamu. Pemuda bermanik biru terang dengan rambut kebiruan nya yang indah duduk sambil memasang senyum terbaiknya. Duduknya gelisah seakan tak sabar untuk bertemu dengan Quinn.
Hati Quinn berdegup kencang, tidak yakin apa yang membuatnya merasakan itu. Apakah itu rasa sakit melihat orang yang telah mengkhianati cinta tulusnya lagi ataukah karena Quinn masih memiliki rasa yang amat dalam untuk pria itu?
"Ah Quinn!" Raiden berdiri dari sofa, intensitas senyumannya bertambah "Bagaimana kabarmu? lama tidak bertemu."
Quinn tidak menyangka senyumnya akan se-kaku ini. Padahal salah satu komponen penting dalam balas dendam nya adalah dengan tidak menunjukkan perubahan besar di hadapan Raiden. "A-um.. A-aku baik. Bagaimana denganmu?"
Percuma saja. Tadi Quinn sudah membuat skenario diotaknya tentang bagaimana dia akan bersikap biasa saja dihadapan Raiden. Namun nyatanya, setelah berhadapan langsung justru otaknya tidak bekerja dengan baik.
Sebuah perasaan di masa lalu telah menancap terlalu dalam menjalar di lubuk hatinya bak akar pohon beringin, seperti itu pula lah perasaan itu tersemat di sana.
"Aku juga baik,"
Quinn lantas memilih duduk di sofa yang berbeda. Ia lebih banyak memandangi meja ketimbang wajah tampan Raiden "Kau mau pergi ke suatu tempat? Mau aku temani?"
"Tidak usah. Aku bisa pergi sendiri, kok. Aku yakin kau juga punya banyak kegiatan hari ini."
Meski hanya satu detik, tubuh Raiden berjengit heran dengan sikap Quinn yang berbeda.
"Apa aku sudah mengganggu waktumu?" Tanya Raiden. Mata elangnya menangkap perubahan sikap Quinn terhadapnya.
Quinn menghela nafas pelan seraya mengangkat wajah. Dengan berani menatap lurus ke mata biru langit Raiden yang dulunya selalu ia kagumi keindahannya "Tidak. Kau punya waktu luang sampai bisa datang kemari, ada apa?" Quinn harus berpura-pura ramah agar Raiden tidak langsung menyadari perubahannya.
"Ya, hari ini guru latihan ku sedang cuti. Istrinya akan melahirkan dua hari lagi jadi aku punya waktu senggang setelah belajar." Jawab Raiden sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Begitu ya. Kau datang sendirian? Kemana Charlotte?" Tanya Quinn untuk sekadar berbasa-basi.
"Lottie? Dia sedang berlibur ke kota Nevea, katanya dia sangat ingin menikmati pemandangan pantai."
"Wah, itu terdengar sangat menyenangkan."
"Ya, itu benar. Andai saja ayahku memberi jeda untuk berlibur juga. Oh iya, Quinn, apa kau mau pergi berlibur denganku?"
"Kita lihat saja nanti, apakah kau akan ada waktu untukku."
Raiden terkekeh "Iya juga. Tapi aku bukannya tidak bisa meminta izin pada ayah. Aku yakin ayahku akan menyetujuinya."
"..."
Seketika suasana menjadi hening.
Quinn melirik ke arah jendela yang mengarah ke taman di samping rumahnya. Killian dan Penelope sudah melihat kereta istana dan saat ini mereka sedang berjalan kembali ke dalam mansion.
Aku harus mencari timing yang tepat, batin Quinn.
"Quinn", "Raiden"
Mereka saling bersitatap, tidak tahu kalau akan saling memanggil nama dengan serentak. "Kau duluan saja," Raiden mempersilakan gadis cantik itu untuk bicara duluan.
"Raiden, maaf saat acara ulang tahunmu kemarin aku tidak datang."
"Kau masih memikirkan soal itu? Tidak masalah, Quinn. Kau seterusnya akan selalu hadir dalam setiap acara ku."
"Maksudmu?"
"Quinn...ada yang ingin aku katakan pada mu."
"Hm? Apa?"
Betapa senangnya ia hari ini mendapatkan pernyataan cinta dari sang pujaan hatinya. Dulu Quinn berpikir begitu, dia telah mendapatkan cinta yang hanya untuknya sendiri. Penantian Quinn terbalaskan.
Sekarang tidak ada bahagia. Quinn merasa muak dan jijik mendengar Raiden akan menyatakan cinta palsunya. Bagaimana bisa manusia ini begitu kejam memperdaya gadis yang tak pernah menyakitinya sama sekali? apa dia sungguh manusia? Quinn mengira Raiden adalah iblis dalam wujud manusia.
"Sebenarnya aku..."
"Kau?"
"Aku malu mengatakannya, tapi..." Raiden terus menghindari kontak mata dengan gadis berwajah manis itu, telinganya memerah.
Quinn menyeringai tipis melihat Penelope sudah dekat dengan pintu. Kakinya sudah melewati ambang pintu. "Sebenarnya apa?" tanya Quinn seraya memiringkan kepalanya.
Raiden menarik nafas lalu menatap Quinn mantap "Quinn aku menyukaimu—"
Quinn mengabaikan pernyataan Raiden. Dia malah berdiri sambil melambai riang.
"Oh Penelope!! Aku pikir kau sudah pergi jalan-jalan ke kota, ternyata kau masih di sini." Quinn kegirangan menyapa Penelope yang masuk bersamaan dengan pernyataan cinta Raiden.
Putra mahkota kerajaan Ethereal itu menegang. Matanya terbuka lebar, tangannya mengepal. Penghinaan macam apa ini? siapa yang berani-beraninya menggangguku? Raiden menengok ke arah pintu memandang ddua makhluk hidup yang masuk dan mencuri waktu yang tepat darinya "Apa-apaan ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments