"Hahaha, ini lucu sekali. Dia berani menolak ajakanku, tapi mengirim surat meminta bertemu dengan Putra dari keluarga Marquess Sylvestria?"
Raiden sedang duduk di mejanya sambil membaca seluruh isi surat, tidak ada yang aneh di dalamnya. Quinn hanya ingin bertemu dengan Izeqiel untuk berbincang setelah sekian lama tak jumpa. Apapun itu, Raiden tetap tak senang melihatnya. "Dia memang ingin mengujiku, huh."
"Lady Quinn sepertinya akan langsung pergi segera setelah lukisan keluarganya selesai." kata pria yang menjadi salah satu mata-mata di sekitar Quinn.
Tadinya Raiden enggan untuk datang karena dia harus mengurus prajurit yang akan dia kirimkan ke daerah perbatasan guna memenuhi janjinya kepada masyarakat kota perbukitan sebab telah mengirimkan beberapa tanaman langka kepada dirinya. Belakangan beberapa bandit mulai meresahkan mereka, ini kesempatannya untuk mencari muka.
Raiden tidak bisa membiarkan gadis incarannya lebih banyak berinteraksi dengan lelaki lain karena rencananya bisa terancam gagal. Kertas berisi tulisan tangan Quinn remuk tak berbentuk ditangan Raiden. Dia langsung membuang surat bercap resmi itu ke dalam perapian kamarnya. "Kerja bagus. Kembalilah, jangan sampai ada yang mencurigaimu."
"Baik, Yang Mulia."
"Terus awasi Quinn. Aku akan menambah gajimu dua kali lipat."
"Akan saya laksanakan, Pangeran. Kalau begitu, saya izin undur diri."
Setelah mata-mata yang ia kirim keluar, Jean, tangan kanannya masuk ke dalam ruangan. Pria bertubuh tinggi besar itu berdiri menghadap Raiden. "Anda memanggil saya, Pangeran?"
"Jean, besok buatkan aku alasan lain untuk Floyd. Aku harus pergi mengunjungi gadis yang ku cintai dan menghabiskan waktu bersamanya." Raiden menekankan satu kata dalam kalimatnya guna memperjelas bahwa dia keberatan harus terus mengaku mencintai seseorang yang sebenarnya hanyalah alat untuk mencapai tujuan terbesar yang ia punya.
"Baik, akan saya laksanakan."
"Pergilah. Aku ingin menjenguk ayahku." Dia menutup bukunya sebelum meninggalkan meja belajarnya. "Aku ingin lihat seberapa sehatnya ayahku." senyum penuh tipu daya Raiden selalu dapat membutakan bawahannya akan kebenaran yang nyata-nyata pemuda itu tunjukkan secara blak-blakan.
Raiden masuk ke dalam kamar ayahnya, Kaisen. Pria malang yang kondisinya semakin hari semakin memburuk itu masih terkapar di atas ranjang. Rambutnya dibeberapa bagian telah memutih padahal usianya belum genap empat puluh tahun.
Tulang pipinya sudah menimbul dengan bibir yang amat kering dan pecah-pecah. Suhu tubuhnya tidak sehangat suhu normal manusia pada umumnya. Sungguh penampakan yang sangat menyedihkan.
Kondisi yang seperti ini pada umumnya akan membuat sang anak ikut tersiksa melihatnya. Sayangnya Raiden bukan manusia normal. Matanyaa berkilat tajam seolah dia siap menusuk jantung ayahnya dengan belati sekali saja ia berubah pikiran.
"Ayah, selamat malam. Bagaimana kabarmu? apa kau sudah merasa baikan?"
Bagaimana dia mau membaik ketika racun terus yang ia konsumsi dan bukannya obat.
Raiden menggenggam tangan kering ayahnya. "Aku merasa sangat menderita melihat Ayah terus berbaring di sini. Sesekali aku ingin Ayah membantuku mengurus negara ini". Maksud dari ucapan Raiden yang sesungguhnya adalah, dia muak terus menjaga nyawa Kaisen tetap bersemayam ditubuh yang tak lagi bisa berbuat apa-apa itu.
"Seandainya aku bisa membantu Ayah mengakhiri semua ini sekarang juga. Mungkin Ayah tidak akan menderita lagi". Lagi-lagi Raiden mengungkapkan sebuah petunjuk akan tujuannya. Maksud dari ucapannya kali ini adalah seandainya saja kematian Kaisen tidak akan dicurigai, Raiden saat ini juga bisa mencabut nyawa Kaisen dengan sekali tusukan saja daripada harus menunggu lama dengan memberikan ayahnya racun secara bertahap.
"Hm? Ayah ingin mengatakan sesuatu?" Raiden terkejut ketika merasakan jari kurus kering milik ayahnya yang ia genggam bergerak lemah, lalu bibir Kaisen bergerak tipis-tipis.
Putra tunggal Kaisen itu mendekatkan telinganya ke depan mulut Kaisen.
"M-maaf, a-aku pasti telah mem-membuatmu kesulitan. Ak-a-aku senang kau selalu mengunjungi ku tiap malam." bisik Kaisen patah-patah. Racun yang dikonsumsi Kaisen juga memiliki efek mematikan lidah. Kaisen tersenyum lembut. Dalam hati dia sangat ingin mengelus kepala putranya itu, tapi apa boleh buat, tubuhnya semakin terasa lemah tak bertenaga kala malam tiba.
Ya, aku kesulitan karena Ayah tidak juga lenyap.
"Ayah ini bicara apa? aku tahu ini juga yang akan jadi tanggungjawab ku sebagai pengganti ayah di masa depan. Ayah tidak perlu cemas, fokuslah pada penyembuhan mu."
Kaisen mengangguk lemah seiring dengan kelopak matanya yang terkulai, menutup iris hitam kelamnya yang sayu.
Raiden menarik nafas dalam, dia melirik teko teh yang dibiarkan tergeletak di atas nakas sebelah ranjang Raja. "Cepat-cepatlah beristirahat dengan tenang, Ayah".
Hari telah berganti. Matahari kali ini terasa lebih bersinar dibanding kemarin. Udara yang berhembus lebih hangat, angin pun cukup kencang bertiup. Tanda bahwa musim kemarau akan segera tiba.
Quinn pagi ini memilih untuk mengenakan gaun dengan rumbai sederhana berwarna biru, dandanannya lebih tipis sehingga lebih menonjolkan cantik polos alami. Quinn juga tak banyak menata rambut, dia menjadikan mendiang ibunya sebagai panutan dari penampilannya kali ini. "Aku ingin menghadirkan ibu dalam lukisan itu juga." gumamnya, matanya mulai berair menggambarkan betapa rindunya ia pada sosok seorang ibu.
Tiga pelayan yang membantunya tercengang menatap indahnya makhluk yang muncul di pantulan cermin. "Yang Mulia, Anda sungguh seperti perwujudan seorang Dewi."
"Saya juga setuju, Anda benar-benar terlihat sangat mengagumkan. Ini saja baru dengan riasan tipis." Timpal pelayan lain.
"Saya merasa hari ini saya akan diberkahi kesenangan, Yang Mulia."
Quinn tersipu malu mendapat pujian mendadak soal penampilannya. "Ahahaha kalian ini berlebihan sekali. Jangan membuatku jadi salah tingkah."
"Tapi Anda memang benar-benar menawan."
"Terima kasih~. Sekarang kakek pasti sudah menunggu, aku akan keluar sekarang."
"Baik, Yang Mulia. Semoga semuanya berjalan lancar hari ini."
Quinn tidak lagi terkejut dengan kehadiran Raiden yang saat ini tengah mengobrol berdua dengan Bastien. Justru itu membuat Quinn lega sebab dia sudah tahu siapa yang merupakan mata-mata. "Raiden? aku senang sekali kau datang kemari!" seru Quinn girang.
Kemunculan Quinn berhasil menyihir kedua pria berbeda usia itu. Pupil mereka membesar, terkesima akan kecantikan natural seorang Quinn de Alger Shuvillian yang menonjolkan keanggunan daripada keceriaan. Bastien seolah tengah memandang Sirena, menantunya yang telah tiada, kembali hidup.
Sementara Raiden sedikit menganga sebagai respon dari dirinya yang terpana. Itu perasaannya yang jujur, bukan seperti dia yang biasa berdusta. Karena tahu bahwa dia sungguhan terpesona, akhirnya Raiden menunduk sekejap untuk menetralisir perasaan mengganggu yang muncul. "Quinn, hari ini kau benar-benar mempesona." puji nya tanpa rasa.
"Raiden, kau membuatku malu." Quinn memegangi kedua pipinya yang terasa memanas.
Bastien terkekeh, "Kalian bisakah tidak membuatku cemburu? ayo kita pergi sekarang. Mungkin Savero dan yang lainnya sudah di sana."
# Di mansion keluarga Count Savero de Alger Shuvillian...
"Kakak, kau sudah siap belum?"
Killian tampak tak sabar melihat Penelope kebingungan memilih jepit penghias kepala yang hendak dipakainya. Lelaki remaja itu tidak mengerti mengapa Penelope begitu berusaha keras dalam bersiap-siap. "Tunggu sebentar, Killian. Aku sudah punya dua jepit yang akan ku pilih, bisa bantu aku memilihkannya?"
"Yang mana pun semuanya sama saj—" Killian nyaris membuat masalah di pagi hari. Dulu dia pernah mengatakan hal yang sama dan berakhir diomeli panjang lebar oleh kakak sepupunya itu, lalu mereka tidak saling berbicara selama lebih dari tiga jam. "Aku rasa yang kuning itu bagus, senada dengan gaun yang kakak pakai." balasnya dengan lebih berhati-hati. Diam-diam Killian membuang nafas lega setelah berhasil menghindari masalah.
"Begitukah? haruskah aku mengepang rambutku agar jepit ini semakin terlihat indah? atau biarkan saja begini?"
Killian mendengus pelan. Dia lelah berdiri di depan pintu. Akhirnya Killian masuk ke dalam untuk duduk di sofa di dalam kamar. "Kakak, ini hanya melukis foto keluarga."
"Aku tidak mau memiliki kenangan buruk di lukisan keluarga. Selain itu, aku senang bisa membuat kenangan bersama kalian semua, aku sungguh tidak sabar."
Senyuman manis Penelope mampu meluluhkan hati Killian, kejenuhan Killian seketika menghilang. "Oh iya, apa kakak sudah memberitahu paman Vincent soal ini?" meski hanya dua detik, Killian dapat melihat tubuh Penelope menegang. "Ya, tapi dia bilang dia sedang mengurus suatu pekerjaan yang terlanjur tidak bisa ditunda lagi".
"Begitu ya. Sayang sekali, aku kira kita bisa dilukis dengan anggota keluarga yang lengkap." ujar Killian sedikit kecewa. Namun, bocah berusia lima belas tahun itu jadi mempertanyakan alasan dibalik Penelope yang langsung kelihatan kaku saat membicarakan ayahnya sendiri.
"Nah, sudah selesai, Lady Penelope. Anda luar biasa cantik." puji seorang pelayan yang membantunya menata rambut.
"Bibi ini ada-ada saja~"
"Iya, kak. Kau kelihatan luar biasa." sahut Killian dengan pipi yang bersemu merah.
"Begitukah? aku merasa sangat tersanjung. Mari kita pergi sekarang."
Sesuai prediksi, dua kereta kuda keluarga bangsawan terpandang di kota Helldelune yang berhenti di satu tempat yang sama berhasil mengundang banyak tanda tanya dari masyarakat dan beberapa bangsawan lain yang tengah menikmati sarapan di restoran di seberang studio lukis.
Ditambah mereka semua tahu bahwa kedua keluarga bangsawan itu merupakan keluarga kandung.
"Aku baru tahu di sana ada studio lukis baru. Siapa yang menyewa tempat itu?"
"Aku juga baru menyadarinya sekarang. Apakah ada pelukis terkenal di sini yang pindah tempat?"
"Aku ingin melihatnya dari dekat."
"Mungkin kita bisa melihat apa yang ingin mereka lakukan di sana."
Finn yang sekedar lewat dan mendengar bisik-bisik para bangsawan itu segera ikut bergabung. "Oh, kalian mau tahu apa yang ingin mereka lakukan di sana?" mereka berempat segera menoleh kaget karena tiba-tiba ada seseorang tak diundang yang menyahut. "Aku dengar mereka hendak membuat lukisan keluarga. Luar biasa bukan?"
"Apa? kau tahu dari mana?"
"Aku dengar langsung."
"Tapi, bagaimana bisa Grand Duke asal mendatangi studio lukis sementara pelukis nya saja sangat baru dan belum ada seseorang yang melihat hasil lukisannya."
Finn menggelengkan kepala menyangkal ucapannya. "Kalian tidak tahu, gadis pelukis itu sangatlah berbakat. Dia bisa membuat lukisan yang nyaris sama dengan aslinya, lukisannya sangat realistis. Belum lagi dia bisa melukis dengan cepat."
Para bangsawan itu tampak terkejut. Mereka tidak langsung percaya sepenuhnya dengan ucapan Finn. "Kalau tidak percaya, lihat saja sendiri." Pemuda berkulit Tan itu tertegun ketika melihat ke keluarga besar Bastien yang sudah turun dari kereta masing-masing. "P-Pangeran?!"
"Eh?!"
Sama seperti reaksi mereka, Savero dkk. juga terkejut dengan kemunculan Raiden di acara yang bisa dibilang hanya untuk keluarga besar. Penelope tersenyum kegirangan saat Raiden melambai kepadanya.
Terlepas dari kehadiran Raiden yang tak diduga-duga, Savero dan Killian justru terperangah melihat penampilan Quinn yang berbanding terbalik dengan dia yang biasanya.
"Ibu...?"
"Sirena...?"
Kemiripan luar biasa antara Quinn dan Sirena terlihat jelas dengan penampilan tersebut seolah Quinn sedang mencoba menghadirkan sosok Sirena lagi di tengah-tengah mereka yang hendak membuat lukisan keluarga.
Quinn tidak bicara apapun selain tersenyum manis dan melambaikan tangan pada ayah dan adiknya. "Bagaimana rasanya ditinggal olehku, satu-satunya pemberi perhatian pada kalian berdua?" tanya Quinn dalam hati. Dia puas melihat ekspresi ayah dan adiknya.
Raiden mencoba untuk mengobrol dengan Killian. "Kau hari ini terlihat sangat tampan, Killian."
Killian merengut tak suka. Suasana hatinya segera memburuk saat Raiden menunjukkan senyum palsu pada dirinya. "Kakek, bisakah kita masuk sekarang?" Killian segera mengajak Bastien masuk agar mereka tak memiliki waktu untuk saling mengobrol.
"Cucuku ini memang tidak sabaran, ya. Mari, mari."
Setelah masuk, Oddeth segera menyapa mereka sesopan mungkin. Semalaman suntuk Oddeth mempelajari sedikit tentang etika kaum elit agar dia tidak melakukan kesalahan yang justru membuatnya rugi.
Tangannya gemetaran hebat. Tidak hanya Grand Duke dan keluarganya, bahkan bintangnya Helldelune pun ikut hadir. Selain itu, para penonton telah memenuhi jendela kaca besar studio miliknya. Bagaimana dia tidak semakin tremor, ini juga merupakan pesanan pertamanya setelah menandatangani kontrak kerja dengan Quinn. Oddeth bisa merasakan detak jantungnya di tenggorokan saking gugupnya ia.
Quinn diam-diam memberi anggukan meyakinkan, "Nona Oddeth. Tolong buatkan kami memori yang indah."
"B-b-baik, Lady Shuvillian. Saya akan berusaha keras membuat lukisan terindah untuk Anda dan keluarga Anda."
Killian dan Savero agak merasa aneh. "Kakek, mengapa kakek mengajak kita ke tempat yang tidak terkenal seperti ini? apalagi dia kelihatan takut-takutan begitu. Apa kakek yakin hasil lukisannya akan bagus?" bisik Killian tak dapat menahan penasaran.
Bastien tertawa kecil sembari menepuk bahu cucu lelaki satu-satunya yang dia punya. "Aku sudah pernah memesan satu lukisan di sini dan hasilnya sangat memuaskan. Tunggu, Killian, kau tidak sedang meragukan jiwa seni ku, 'kan?"
"A-aku tidak bermaksud begitu, kek."
Savero menyediakan satu tempat kosong di sebelahnya untuk Raiden yang memilih tetap berdiri di depan pintu masuk. "Yang Mulia, apakah Anda mau ikut dilukis? Quinn meminta saya untuk mengajak Anda ikut serta."
"Seharusnya kak Vincent ikut hadir. Aku penasaran apa yang sedang dia lakukan." batin Savero memikirkan kakaknya yang tidak pernah sekalipun muncul di Helldelune sejak bangkrutnya bisnis emas dua tahun lalu. Setiap kali Savero datang berkunjung, Vincent enggan untuk menemuinya.
"Itu ide yang bagus. Yang Mulia, sebaiknya Anda ikut bergabung." sahut Penelope antusias, tempat kosong yang disediakan Savero adalah tepat dibelakangnya.
Posisi mereka adalah Quinn, Killian, dan Penelope duduk di sofa panjang. Sementara Bastien berada di tengah (dibelakang Killian), dan Savero berada di kiri (dibelakang Quinn), yang artinya tempat yang tersisa adalah di belakang Penelope.
"Ini foto keluarga. Apa tidak aneh kalau mengajak Pangeran Ethereal masuk?" tanya Killian menyela.
Raiden sendiri tidak marah dan malah mengangguk setuju mendengar pertanyaan Killian. "Itu benar, Count Shuvillian. Ini adalah foto keluarga, saya tidak bisa asal muncul dilukisan keluarga orang lain."
Penelope tidak bisa berargumen, jika dia melakukannya mungkin akan kelihatan sangat mencolok. "Mengapa Raiden belum juga memberiku pujian...?" sedari tadi Raiden hanya melempar senyum ramah, tetapi tidak ada satupun sanjungan yang ia dapat. "Jika saja aku tahu dia akan datang, aku akan memilih gaun lain yang lebih indah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Frando Kanan
HA! gadis yg lo cintai? yg adany lo tuh hanya manfaatkn
2023-09-16
1