Bunyi pedang kayu saling beradu menggema dari lapangan luas bagian Barat istana Ethereal. Ratusan pria berlatih ditempat yang sama. Ada yang saling bersaing dengan kecepatan lari, ada pula yang yang sedang bersaling mendapatkan poin dari baku tinju.
Banyak dari mereka yang melepas pakaian dan bertelanjang dada karena cuaca sudah mulai terik. Meski begitu, para prajurit serta jajaran Ksatria istana tak memiliki tingkat semangat yang menurun.
"Pangeran! Anda sejak tadi selalu melamun. Anda harus fokus."
Raiden membuang pedang kayunya ke tanah. Baju berlatih nya sudah basah menyerap keringatnya. "Aku ingin istirahat. Aku akan melewatkan sesi kedua." katanya seraya berjalan keluar dari lapangan.
"T-tapi, Pangeran..."
"Bilang saja pada Baginda Raja kalau aku yang meminta jam kosong."
Tiga Ksatria yang menemaninya berlatih hanya dapat menganga bingung. Sejak kepulangannya dari mansion Savero, Raiden entah mengapa tampak kehilangan suasana hati yang baik. Dia selalu diam dan mendesah kesal tiap dua menit sekali.
"Apa yang terjadi padanya?"
"Entahlah. Mungkin dia tidak berhasil mendekati Lady Quinn?"
"Tidak berhasil? itu malah aneh. Semua orang juga tahu bahwa Lady Quinn lah yang sangat tergila-gila pada Pangeran."
"Kenapa kalian yang sibuk berunding di sini? banyak prajurit lain yang harus kita tangani. Ayo pergi."
Raiden pergi berendam dalam kolam mandinya. Dia menenggelamkan seluruh tubuh hingga kepalanya ke dalam air. Dia terus terbayang peristiwa memalukan yang ia alami gara-gara Quinn. "Aku yakin dia sengaja melakukan itu," pikirnya.
Begitu Quinn menginjakkan kakinya ke ruang tamu, ekspresinya tidak lagi antusias seperti biasa yang ia tunjukkan ketika melihat Raiden. Yang ada hanya rasa canggung, tegang, dan sedih secara bersamaan. Mata Quinn terlalu jujur hingga Raiden bisa membaca apa yang tengah dirasakan gadis manis itu.
Raiden mengangkat wajahnya keluar dari dalam air ketika dia membutuhkan oksigen. Seseorang mendarat turun dari atap di atas ruang pemandian. Wajahnya tertutup kain hitam, kepalanya terus tertunduk dan berlutut di dekat Raiden. "Lapor, Yang Mulia. Lady Quinn mulai sekarang memilih tinggal bersama dengan Grand Duke Lombardia."
"Grand Duke?" Raiden mengangkat satu alisnya, seringai tipis terukir di bibir tipisnya. Mansion Grand Duke Lombardia cukup dekat dengan istana jika dibandingkan dengan jara antara mansion Shuvillian dan istana Ethereal. "Dia mencoba lebih dekat denganku? apa yang sebenarnya coba dia lakukan?"
"Dia tidak kelihatan seperti manusia cerdik. Apa yang ada di kepalanya sekarang tidak bisa ku tebak."
"Maaf apabila saya menyela, Yang Mulia. Sepertinya Lady Quinn memiliki hubungan yang kurang baik dengan Lady Penelope, perempuan yang Anda temui di mansion Count Shuvillian."
Raiden mengangkat tangannya menyuruh pasukan bayangannya itu pergi. Pemuda berwajah baby face itu menyisir rambut basahnya hingga menampakkan jidat sempit paripurna miliknya, "Haruskah aku membuat permainan sekarang? ah, tidak. Aku harus pastikan sesuatu dulu."
Di waktu yang sama, Quinn sskarang sedang mendatangi rumah Oddeth dengan membawa surat kontrak seperti yang sudah dia jelaskan sebelumnya, Quinn juga secara resmi mendapat stempel dari Bastien Lombardia, sang Grand Duke hebat dari Helldelune.
Oddeth tampak ragu mengambil kertas tersebut. Quinn tetap menunggunya dengan sabar, "Kau bisa membaca semua perjanjian nya dengan seksama. Aku tidak akan memburu mu."
Gadis sederhana itu tak berani menatap langsung mata Quinn, dia terus memandang ke bawah agar dirinya tidak gugup berkepanjangan. "Saya sangat penasaran mengapa Anda begitu mengejar saya padahal saya tidak sehebat itu untuk didukung langsung oleh bangsawan sekelas Grand Duke."
Quinn terkekeh mendengar Oddeth yang masih mencurigainya. "Begitukah?" tidak bisa dipungkiri, tiba-tiba didatangi oleh bangsawan dan ditawari untuk bekerja padanya. Situasi itu sangat membingungkan dan seperti ada rencana dibaliknya.
"Apakah Anda bisa menjelaskan pada saya mengapa Anda begitu mempercayai rakyat biasa yang tidak berpengalaman sama sekali?"
Tidak mungkin aku mengatakan ini semua ku lakukan demi menebus dosaku padamu, kan? lagipula kau memang sungguhan berbakat.
Putri Savero itu mengangguk mengerti, dia paham atas kecurigaan yang dirasakan Oddeth. "Simpel saja, aku ingin menambah hartaku dan kau butuh aku untuk membantumu mencapai impianmu. Kita akan saling menguntungkan, bukan begitu? aku jamin setelah kontrak ini kau terima, kau akan memiliki harta sebanyak yang tidak pernah bisa kau bayangkan."
Oddeth terkesan dengan pernyataan Quinn yang terus terang walau terdengar sedikit kasar.
Quinn menepuk bahu gadis yang tiga tahun lebih tua darinya itu bersahabat, "Percaya dirilah. Hanya kau satu-satunya yang memiliki kemampuan melukis luar biasa di Helldelune. Emas sepertimu tidak seharusnya selalu terpendam di dalam tanah."
Oddeth justru semakin merasa tertekan. "Oddeth, percayalah padaku. Kau akan sukses dengan bakatmu. Kau tidak mau melihat keluargamu hidup bergelimang harta? kau bisa membeli apapun yang kau mau, menjelajahi dunia Baru yang belum pernah kau datangi, membahagiakan kedua orang tuamu."
"I-itu..."
"Tidak usah malu mengakuinya. Semua manusia memang membutuhkan uang untuk hidup." Quinn tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya yang dulu. Dia yang sekarang tidak akan ragu mengambil keputusan yang baik.
Oddeth berkaca-kaca membaca tiap butir ketentuan dalam kontrak yang tertulis di sana, tidak satupun memberatkan dirinya. Quinn sendiri yang menulis semua perjanjian itu, dia tahu Oddeth adalah manusia loyal yang rela membela keadilan meski harus mengorbankan nyawanya sendiri.
"Rasanya saya tidak pantas mendapat kepercayaan Anda, Yang Mulia." Oddeth segera bersujud di depan Quinn, dia memutuskan untuk mengambil sumpah memperjuangkan semua kebaikan yang telah Quinn dan Bastien berikan kepadanya, seorang manusia rendahan yang tak pernah bisa membayangkan dirinya akan menjadi pelukis terkenal. "Saya berjanji saya akan berjuang sebaik-baiknya demi Anda, Yang Mulia."
"Perlukah aku memberimu waktu lagi untuk berpikir?"
"Tidak. Saya akan menandatanganinya sekarang juga, Yang Mulia."
"Keputusan yang bijak."
Setelah penandatanganan kontrak kerja itu Quinn segera mengajak Oddeth keluar berkeliling sekitar kota. Quinn tidak menjelaskan apapun, dia hanya terus berjalan, kepalanya sibuk menoleh kesana kemari mencari alamat.
"Yang Mulia Quinn, sebenarnya kita mau pergi ke mana?"
"Untuk bekerja tentu saja kau butuh studio lukis agar kau bisa melukis dengan nyaman."
Oddeth sampai kehilangan kata-kata. Quinn begitu mendukungnya tanpa ragu, "Dia bahkan baru memesan satu lukisan dariku, tapi dia sudah sangat percaya."
Gadis bersurai hitam panjang itu menengok Oddeth. "Aku memang bukan ahli seni, tapi aku tahu kualitas lukisanmu bisa bersaing dengan pelukis yang sudah terlanjur terkenal di kota ini."
Oddeth segera menunduk malu sebab Quinn berhasil membaca pikirannya meski tidak sedang menatap dirinya.
Sepuluh menit berjalan, Quinn berhenti pada sebuah bangunan kosong berkaca besar. "Ini tempat yang aku maksud."
Quinn membukanya dan mempersilakan Oddeth masuk duluan untuk melihat dalam ruangan yang akan resmi menjadi ruang kerjanya. Semua sudah Quinn lengkapi mulai dari meja, kanvas dengan beragam ukuran, hingga berbagai jenis cat yang dibutuhkan. Oddeth benar-benar hanya tinggal bekerja tanpa perlu memikirkan modal.
Gadis itu menangis terharu. Dia tidak menyangka mimpinya selama ini untuk bekerja sebagai pelukis menjadi kenyataan.
Melihat itu membuat hati Quinn berdenyut nyeri. Dulu dia begitu tega secara tidak langsung merusak semua usaha yang sudah Oddeth bangun susah payah, membuatnya kehilangan semua harta benda yang ia miliki, bahkan harus mati tanpa sempat melihat keluarganya untuk yang terakhir kalinya hanya demi memberitahu Quinn kebenaran tentang Raiden dan Penelope yang ingin menusuknya dari belakang.
Tangisan Oddeth begitu tulus. Dia sungguh memimpikan semua ini sejak berusia sepuluh tahun. Kini semua ada di depan mata, dadanya berdebar amat bahagia namun juga bersyukur, pertemuannya dengan Quinn membawa keberuntungan besar terbaik selama dua puluh tahun Oddeth hidup.
"Yo, Lady. Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Quinn terperanjat karena mendengar suara Finn di dekat telinganya. "Kak Finn? kenapa kau ada di sini?"
Finn, pemuda berkulit tan itu menunjukkan cengiran lebar sambil melambai. "Aku tidak sengaja lewat, hanya sedang berjalan-jalan saja dan aku melihatmu di sini. Bagaimana bisa kau bolos tanpa memberitahuku?"
"Apakah ada murid bolos yang melapor pada gurunya?"
"Oh, kau benar. Wah ternyata kau sudah pintar sekarang."
"Mengganggu saja."
Lalu Finn memandang Oddeth yang masih menangis lirih di tengah-tengah ruangan. Alisnya saling bertaut. "Lady, apa yang kau lakukan padanya sampai dia menangis begitu?" tanya Finn sambil memberi Quinn tatapan heran.
"Aku baru saja memukulnya." Quinn lalu melirik tajam Finn yang berdiri tepat di sebelahnya, "Dan mungkin selanjutnya aku akan mematahkan leher seseorang." Finn kesulitan menelan ludah melihat tatapan membunuh yang Quinn layangkan padanya.
Anak ini sikapnya semakin hari semakin buruk saja, pikir Finn tak berhenti bertanya-tanya. Kemana sikap manisnya yang dulu pergi? Finn tidak bisa mencari jawabannya.
"Yang Mulia, maaf atas ketidaksopanan saya. Saya terlalu emosional sampai melupakan Anda."
Oddeth telah berhenti menangis. Dengan mata merahnya kini dia membungkuk di depan sang penyelamat impiannya. "Tak apa, tak perlu kau pikirkan itu. Kau sudah mengingat tempatnya kan?"
"Ya, Yang Mulia."
"Pulanglah. Besok pagi aku akan datang ke pembukaan studio ini bersama kakekku. Terima kasih sudah mau bekerjasama dengan kami, Oddeth."
Selagi Quinn berbincang dengan Oddeth membahas mengenai kesepakatan kerja dan sebagainya, jujur Finn sama sekali tidak melihat sosok Quinn dalam diri gadis manis itu lagi. Cara dia menyikapi orang lain tampak sangat dewasa dan berwibawa.
Finn membaca nama studio seni lukis itu "Kenapa ini menggunakan nama Grand Duke?"
"Karena ini memang studio milik kakekku."
Finn tak peduli jika Quinn risih atau kesal karena terus dia ekori. Sampai pada saat di mana Finn teringat ingin menanyakan sesuatu tentang kejelasan pekerjaan Finn. "Kau berencana berhenti mengikuti kelasku?"
"Entahlah. Aku rasa aku tidak butuh lagi pembelajaran dari mu." Quinn bersikap sangat acuh. Gadis itu bahkan enggan memandang lawan bicaranya.
"Aku tadi pergi ke rumahmu, tapi aku baru tahu dari Tuan Muda Killian mengenai kepindahan mu."
Finn melihat tubuh Quinn sempat berjengit. Langkahnya terhenti, "Bagaimana keadaan Killian?"
"Dia baik. Aku rasa hanya kurang bersemangat seperti biasanya."
"Oh, begitu."
"Dan saat aku pergi, aku melihat sesuatu yang sangat luar biasa. Kau mau tahu, Lady?"
Finn sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa berbisik di dekat telinga murid satu-satunya yang dia punya, "Aku melihat Pangeran Putra Mahkota datang ke sana dan bertemu dengan sepupumu."
Finn tidak menduga Quinn langsung menatap dirinya dengan mata yang terbuka lebar, "Kau yakin?"
"Tentu saja. Aku tidak sedang mabuk sampai salah melihat seseorang di siang bolong begini."
Apa yang Raiden bicarakan? apa mereka berdua sudah mulai menjalin hubungan?
"Kenapa kau kelihatan panik?"
"Huh? apa? tidak."
Finn menjadi tertarik setelah melihat respon tak biasa dari Quinn. "Apa kau takut Pangeran berselingkuh darimu?" tanyanya setengah meledek.
"Berselingkuh, jangan membuat kami seperti sudah berpacaran. Aku dan Raiden tidak memiliki hubungan spesial atau semacamnya."
Quinn tidak bisa mengendalikan sisa perasaan yang terselip dalam lubuk hatinya. "Kenapa aku harus penasaran? biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Aku akan ambil jalanku sendiri."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments