Mina berdiri di depan balkon. Ini sama seperti malam sebelumnya. Kali ini dia sendiri yang memastikan anak-anaknya tidur karena Yungi pergi ke swalayan membeli kekurangan persediaan makanan. Beberapa kali ia menatap cincin yang terselip di jari manis sebelah kanannya lalu tatapannya kembali pada langit malam atau pemandangan di hadapannya.
Cincin berwarna putih polos itu memiliki model yang sederhana, tetapi desainnya cukup unik. Dia sendiri yang memilihnya dan Yungi yang membayar untuknya. Dia juga yang mengenakan itu di jari manis tangan kanannya saat mereka berada di toko perhiasan di sebuah mal di Kyoto seusai makan siang. Selain cincin berwarna perak itu, Yungi menghadiahkan sepasang anting bunga Sakura.
“Kamu selalu keliatan lebih cantik kalau pake anting modelan gitu!” Itu kata Yungi sambil senyum malu-malu saat mereka berada di toko juga. Mina tersenyum saat ingatannya terfokus pada wajah Yungi yang kikuk itu.
Sekali lagi ia menatap cincin itu dan bahkan memainkannya beberapa kali. Kali ini ia duduk di kursi yang memang tersedia di balkon sambil fokus matanya masih pada cincin yang dia dan Yungi anggap sebagai cincin pernikahnnya. Cincin itu menandakan banyak hal untuknya. Salah satunya ia membuka hatinya untuk Yungi dan jika ia melakukan itu, artinya ia harus jujur tentang semua hal dalam hidupnya, khususnya semua hal yang berkaitan dengan Yungi dan dirinya.
“Kayaknya ini jadi tempat favorit kamu, ya?” Suara Yungi membuyarkan pikirannya. Ia menoleh ke arah Yungi yang berdiri di muka pintu sambil membawa dua kaleng minuman.
“Oh, udah pulang! Cepet banget!” jawab Mina yang memang merasa Yungi cukup cepat melakukan pekerjaannya.
“Hmm,” komentar Yungi sambi menyodorkan satu kaleng minuman kepada Mina. Ia lalu duduk di kursi sebelah Mina.
“Udah kabarin temen kamu belum soal kunjungan kita ke rumah dia?” tanya Yungi memastikan.
“Oh sudah! Semuanya sudah beres. Aku juga udah nyiapin semuanya buat besok. Tinggal pergi aja, kok!” ujar Mina.
“Hmm, syukur deh!” ujar Yungi.
“Terus di sana kita mau ngapain aja, aku lupa!” ujar Yungi lagi.
“Aku mau ngajakin kamu ke suatu tempat. Anak-anak ga ikut. Dia bakalan di rumah temen aku itu,” ujar Mina.
“Oh, oke. Tapi aman kan? Anak-anak sama temen kamu?” Yungi bertanya dengan nada khawatir.
“Aman lah! Yuki juga kan punya anak seumuran anak-anak kita,” sahut Mina.
“Kamu tenang aja,” sambungnya sambil tersenyum.
“Kalau anak-anak dibawa, aku khawatir mereka cape. Tempatnya agak nanjak gitu,” ujar Mina.
“Oh, oke,” sahut Yungi.
“Jadi, kita berdua aja dong!” ujar Yungi dengan nada menggoda.
“Iya berdua aja. Asyik kan?” Mina memainkan alisnya sambil tersenyum-senyum.
Yungi senyum dan ikut juga memainkan alisnya.
“Cengos (Sunda:nyebelin) Yungi!” Mina tersenyum.
“Tidur yu! Dah malem.” Yungi berdiri dan mendekati Mina.
“Eh, mau apa?” Mina kaget saat Yungi menggendongnya.
“Gendong istri aku! Masa ga boleh!” ujar Yungi sambil melihat Mina yang sekarang ada di pangkuannya.
Mina tersenyum. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Yungi.
“Kasih hadiah dong!” ujar Yungi sambil mendekatkan pipinya.
Mina yang langsung paham mencium pipi Yungi kanan dan kiri dan mereka kemudian memasuki ruangan menuju kamar mereka.
Mereka sampai di Nagano pukul 10 pagi. Mereka dijemput di stasiun dan setelah saling memperkenalkan satu sama lain, mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah penginapan bernama “Hana”. Setelah itu, mereka pergi berkunjung ke rumah teman Mina yang bernama Yuki itu. Di sana, anak-anak mereka juga mulai berkenalan dan berkomunikasi dengan bahasa campur-campur, Jepang dan Inggris.
“Kalian akan berangkat usai makan siang?” tanya Yuki kepada Yungi dan Mina ketika mereka tengah berbincang di beranda belakang rumah sambil menyaksikan anak-anak mereka bermain dengan anjing keluarga Yuki.
“Iya, supaya kami tidak terlalu lama dan tidak pulang terlalu malam,” ujar Mina. Dia menjawab dengan bahasa Jepang.
Yuki mengangguk.
“Aku sudah persiapkan semuanya.” Yuki berkata lagi.
“Terima kasih ya!” ujar Mina sambil tersenyum.
“Tentu saja! Kita teman bukan dan teman ada untuk saling mendukung, hmm!” Yuki tersenyum hangat dan memeluk Mina sambil mengelus punggunya lembut.
Yungi yang sejak tadi tidak paham dengan konteks percakapan mereka hanya bisa senyum-senyum saja sambil kadang-kadang menganggukkan kepalanya agar tak terlihat bahwa ia sebenarnya bingung.
“Oke, Ibu sama papah pergi dulu ya! Kalian tidak apa-apa kan di sini. Hanya sebentar saja!” sahut Yungi sambil melihat ketiga anaknya.
“Iya, Pah, ga apa-apa. Kami juga tidak mau ikut kok!” ujar Juna.
“Pah, bawa oleh-oleh buat Yuna ya!” sahut Yuna dengan lucunya.
“Oh, tentu saja! Yuna mau apa?” tanya Yungi sambil berjongkok sementara Mina berbicara dengan Yuki.
“Adik baru, Pah!” jawab Yuna sambil tersenyum.
“Astaga!” Yungi kaget.
“Doakan Papah ya!” ujar Yungi sambil mengelus kepala anak itu.
“Iya, Pah! Semangat Ya!” ujar kedua anak lainnya sementara Yuna hanya tersenyum.
“Kalian!!” Yungi memicingkan matanya sambil menggelengkan kepalanya. Ia tahu kedua kakaknya yang membuat Yuna berkata seperti itu.
Kedua anak lelakinya hanya tersenyum-senyum.
“Kalian, Ibu pergi dulu ya!” Mina mendekati mereka dan mencium pipi kanan dan kiri ketiga anaknya.
“Aduh, Bu! Jangan dicium dong. Aku malu sama Minami,” bisik Zen sambil melihat ke anak perempuan Yuki yang seumuran dengannya dan tengah menatap dia. Juna yang melihat mereka ikut tersenyum.
“Kok malu! Kan kalian semua anak Ibu,” ujar Mina sambil mengernyitkan alisnya.
“Minami, Shota, tolong jaga anak-anak Tante, ya!” Mina berkata kepada anak-anak Yuki sambil mengelus kepala mereka.
Anak-anaknya mengangguk sambil tersenyum.
Yungi dan Mina pamit dan mereka berjalan beberapa meter di jalan setapak sampai akhirnya menemukan tangga yang membawa mereka jauh ke dalam bukit.
“Oh, kalau anak-anak pasti kelelahan ini!” ujar Yungi setelah mereka sampai di puncak tangga yang berada di dalam hutan. Ia tengah mengatur napasnya.
Mina hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
“Masih jauh, Min?” tanya Yungi.
“Lumayan sih! Kita mesti jalan lagi beberapa meter, terus naik tangga lagi tapi ga sebanyak yang tadi sih terus nanti sampai,” jelas Mina.
“Tempat yang mau kamu tunjukkinnya apa sih, Min?” Yungi jadi penasaran.Sejauh itu perjalannya artinya harus sesuatu yang layak dan oke untuk dilihat.
“Kejutan dong! Kalau dibilang sekarang ga seru!” ujar Mina.
“Baiklah, kalau begitu ayo!” ujar Yungi.
Mereka berjalan lagi dan setelah hampir setengah jam mereka sampai di sebuah rumah tradisional Jepang yang berukuran sederhana yang disekelilingnya diberi pagar. Kuil itu terlihat tua tetapi terawat.
“Bibi!” ujar Mina setelah ia membuka pagar yang terbuat dari kayu. Tentu saja ia berbicara dalam bahasa Jepang.
Seorang ibu yang berusia paruh baya dengan masih menggunakan pakaian tradisional Jepang keluar dari rumah itu dan tersenyum.
“Tadaima (Aku pulang),” ujar Mina sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
“Okaeri Nasai (selamat datang kembali),” jawab sang Bibi dengan senyuman yang hangat. Matanya agak berkaca-kaca juga.
“Ini ayah Love dan Hope,” ujar Mina sambil menunjuk Yungi.
Wajah Bibi agak terkejut. Namun, tak lama kemudian ia membungkuk memberi hormat sambil tersenyum. Yungi yang tidak paham bahasa Jepang hanya membalas membungkuk sambil tersenyum.
“Ayo masuk!” ujar Bibi yang bernama Irie.
Mereka duduk sejenak meredakan rasa lelah mereka sambil minum teh. Sementara Bibi Irie meninggalkan mereka dan berjalan ke arah dapur.
“Tempat ini sangat bagus dan unik, Min. Apa dia pemilik rumahnya? Bagaimana kalian saling kenal?” tanya Yungi sambil menyimpan cangkir tehnya di atas pisin.
“Ceritanya panjang, Yun. Aku bisa cerita nanti. Aku ajak kamu ke sini bukan tanpa alasan. Karena kamu sama aku dah jadi keluarga, aku akan membuka hal-hal yang bahkan Awan ga tahu karena ini hanya ada hubungannya dengan kamu. Sebenarnya, ga ada satu pun yang tahu, kecuali Yuki dan Bibi Irie.” Mina memulai bercerita.
“Oke.” Yungi memperbaiki sikap duduknya. Atmosfer yang cukup sejuk karena angin yang bertiup tenang tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik.
Wajahnya malah terlihat tegang.
“Ikut sama aku, yuk!” ujar Mina.
Dia berdiri dari duduknya kemudian berjalan menuju sebuah ruangan. Yungi juga berdiri dan berjalan mengikuti dia dari belakang. Mina menggeser pintunya secara perlahan dan saat pintu itu terbuka, sebuah altar dengan foto kedua bayi kecil berada di pojok ruangan. Beberapa barang-barang bayi seperti baju hangat, selimut, dan tempat tidur bayi juga ada di sana. Beberapa mainan bayi juga disimpan di dekat altar dan jika melihat dari warna-warna dari barang-barang itu jelas kedua bayi itu memiliki jenis kelamin lelaki dan perempuan.
“Ayo masuk!” ujar Mina sambil menarik tangan Yungi pelan.
“Iya,” sahut Yungi.
Mina menyalakan dupa dan kemudian memberikannya sebagian kepada Yungi dan tersenyum.
“Ayo kita berdoa untuk Love dan Hope, ya!” sahut Mina sambil tersenyum.
“Love dan Hope?” Yungi terlihat bingung.
“Berdoalah dulu! Aku jelaskan nanti!” ujar Mina.
“Baiklah!” sahut Yungi.
Mereka berdua berdoa dan setelah setengah jam kemudian mereka masih duduk di sana berhadapan dan Mina mulai bercerita.
“Mereka anak pertama kita,” ujar Mina.
Ia memaksakan sebuah senyum sambil menatap Yungi yang menyisakan reaksi yang bisa diperkirakan dari seorang Yungi. Matanya membelalak, ekspresi di wajahnya dipenuhi dengan kekagetan dan ia mampu merespons saat Mina mengatakan itu.
“Gimana, Min?” Yungi mengeluarkan suara setelah beberapa saat.
“Love dan Hope anak pertama kita. Mereka kembar dan meninggal saat berusia satu tahun. Mereka menderita penyakit dalam yang langka dan dokter tidak bisa menolong mereka, jadi mereka meninggal,” sahut Mina sambil mencoba menahan air matanya.
“Maksud kamu, kamu hamil dari hasil kita uhn, itu malam itu waktu kamu... aku,...,” kata-kata Yungi tidak jelas. Yang jelas, pembicaraannya mengarah pada malam saat Yungi mabuk dan memaksa Mina berhubungan dengannya.
“Saat aku tahu aku hamil, aku harus mencari alasan untuk menjauh sementara waktu. jadi, aku ikut program pertukaran dan pergi ke Jepang selama dua tahun. Kamu inget dulu, kan?” Mina menjelaskan.
“Ya aku ingat yang kamu bilang kamu sibuk, jadi jarang bisa video call dan Cuma balesin chat-an aja, karena kamu lagi hamil!” Yungi menegaskan.
Mina mengangguk.
“Astaga, Min!!! Kamu tuh! Kenapa ga bilang sama aku?” Yungi kaget.
“Aku ga se-goblok yang kamu pikirin kok! Aku pasti tanggung jawab!” ujar Yungi. Dia terlihat sangat sedih.
“Astaga Min!” ujarnya lagi. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Aku ga nyalahin kamu, Yun. Aku udah bikin keputusan. Dulu aku pikir, batas kita sampai temen. Aku ga mau kehilangan kamu sebagai temen aku. Lagian, malem itu pas kamu mabuk kamu juga cerita banyak hal. Kamu bilang ga mau kehilangan kami juga sebagai temen kamu, kan! Jadi,lebih baik kayak gitu aja. Plus pas aku tahu aku hamil, kamu lagi jalan sama Fransisca. Kamu keliatan bahagia. Aku ga mau ngerusak itu!” Mina menatap foto kedua anaknya.
“Ya, dan aku dibikin ga tahu apa-apa. Astagaa!” Yungi meremas rambutnya.
“Aku ga bisa ngebayangin kamu sama aku nikah cuma karena aku hamil. Aku belum siap dan ga mau gitu juga, tapi aku mau anak kita lahir. Aku udah mikir yang harus aku lakukan juga waktu itu! Bibi Irie dan Yuki bantu aku banyak,” jelas Mina.
“Astagaa! Kamu gila!” Yungi masih kaget.
“Maafin aku ya, Yun! Karena ga bilang ini dari awal!” Mina menatap Yungi yang kini air matanya mengalir.
“Kamu pasti kaget ya!” ujar Mina. Dia juga ikut menangis.
“Min,” kata-kata Yungi tercekat dan ia hanya bisa memeluk Mina sambil menangis.
Keduanya menangis bersamaan.
“Maafin aku, Yun!” Mina berkata-kata di sela tangisannya.
“Ga, ini bukan salah kamu. Jangan begini! Aku yang minta maaf, Min!” lirih Yungi. Mereka berpelukan.
“Tapi aku ga bisa mempertahankan mereka. Penyakit mereka sama dengan adik kembarku, Mini. Aku ga bisa bantu mereka. Ga ada obatnya. Belum ada bahkan sampai sekarang,” tangisan Mina semakin keras. Yungi bisa merasakan rasa sakit itu dan itu membuatnya memeluk Mina semakin erat.
“Bukan salah kamu! Itu sudah takdir mereka. Kita ga bisa milih! Kamu ibu yang hebat. Mereka juga pasti bangga sama kamu,” ujar Yungi sambil mengelus punggung Mina dengan lembut. Mina tidak berkata apa-apa. Dia hanya menangis, menumpahkan semua perasaannya.
“Wajah Love mirip wajah kamu,” ujar Mina.
“Iya. Matanya Hope mirip mata kamu,” lirih Yungi.
Mereka duduk bersebelahan bersandar pada salah satu dinding sambil melihat sebuah album foto.
“Aku bisa jadi bagian dari ini, Min. Kalau sama kamu, aku bisa,” ujar Yungi sambil melihat beberapa foto Mina yang tengah mengandung dan beberapa foto hasil USG dari bulan ke bulan yang disusun dengan rapi.” Yungi melirik ke arah Mina dan menatap Mina dengan penuh kasih sayang.
“Kita masih bisa melakukannya sekarang, kan?” Mina mengistirahatkan kepalanya di bahu Yungi lalu memegang tangan Yungi erat.
Yungi mengangguk dan tersenyum.
“Aku janji aku akan menebus semuanya,” ujar Yungi. Ia mencium kening Mina.
“Janji ya!” Mina menengadah, melihat ke arah Yungi.
“Hmm,” ujar Yungi.
Mereka bertatapan sambil menyunggingkan senyuman.
Mina mencium pipi Yungi sambil tersenyum.
“Makasih, Yun!” lirih Mina.
“Nggak, Min, aku yang makasih.” Yungi berkata.
“Nah, sekarang aku merasa lega. Semuanya sudah lebih baik. Mau jalan-jalan? Di dekat sini ada air terowongan kecil bagus banget terus di ujungnya ada kolam kecil, airnya hangat loh! Itu abadi. Bahkan pas waktu musim dingin juga ga beku dan tetap hangat,” sahut Mina.
“Ah, yang ada di foto kamu ya!” ujar Yungi. Dia ingat ketika tadi melihat salah satu foto di album Mina yang tengah hamil.
“Iya, itu. Mau lihat ga? Nanti kalau anak-anak sudah agak besar, aku mau ajak juga mereka kemari,” sahut Mina dengan antusias.
“Oke, ayo!” jawab Yungi. Mereka berdua berdiri.
Mereka pergi ke tempat yang mereka ceritakan setelah pamit kepada Bibi Irie.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments