"Pah, Papah ga apa-apa?" Zen menggoyang-goyangkan tangan Yungi. itu membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Kenapa?" tanya Yungi. Wajahnya terlihat bingung saat ia menatap kedua anaknya yang terlihat khawatir.
"Papah senyum-senyum sendiri soalnya. Orang-orang liatin loh, Pah," ujar Juna.
"Oh, ... ah itu ya!" Yungi menggaruk belakang kepalanya pelan sambil senyum.
"Papah ga kesurupan, kan?" tanya Zen dengan nada khawatir.
"Oh, ga lah! Papah cuma inget sesuatu yang lucu aja, makanya pengen ketawa." Yungi berusaha menjelaskan.
"Oh, syukur deh!" ujar Juna berbarengan dengan Zen.
"Ayo kita kembali," sahut Yungi dan kedua anaknya mengangguk seraya berjalan bersama dengan ayahnya menuju Mina.
"Beli apa?" Mina tersenyum saat melihat kedua anak lelakinya menghampiri dirinya.
"Ga, kok, Bu. Cuma jalan-jalan aja." Juna menjawab.
"Tapi papah aneh, Bu. senyum-senyum sendiri di deket toko," sahut Zen dengan wajah yang masih terlihat khawatir.
Mina melirik ke arah Yungi yang jelas mendengar percakapan mereka.
"Aku ga apa-apa. Cuma lucu liat tingkah anak-anak aja." Yungi berkomentar.
"Iya sumpah!" Yungi meyakinkan sebab Mina masih menatapnya dengan perasaan tak percaya. Mina hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Yungi balik menatapnya dalam sambil tersenyum, menyampaikan rasa sayangnya melalui tatapan yang hangat dan penuh makna dan membuat Mina yang seolah paham dengan sikapnya itu hanya tersenyum sambil menundukkan wajahnya karena malu. Dan Yungi tersenyum sumringah karenanya.
Tak lama gate dibuka dan mereka memasuki pesawat. Seperti yang sudah mereka rencanakan, setelah tiba di Okamoto, hal yang pertama mereka lakukan adalah berbelanja keperluan sehari-hari.
Setelah sehari mereka beristirahat dan menikmati keadaan di sekitar, mereka memulai perjalanan pertama mereka, yaitu mengunjungi Stadion Koshien dan menikmati pertandingan bisbol yang berlangsung sekitar dua jam. Setelahnya mereka makan malam di sebuah restoran dengan menu khas okonomiyaki di dekat stadion itu.
Pada hari selanjutnya, mereka pergi ke Kuil Himeji seharian menikmati keadaan di sana, makan siang dan tak pernah lupa mengambil foto di mana saja mereka berada.
Semuanya berlangsung baik dan boleh dikatakan sempurna. Hati Yungi merasa penuh melihat anak-anak dan Mina yang begitu bahagia. Benar bahwa itu bukan rencana dia pada awalnya dan juga bukan bentuk bulan madu yang ia pikirkan, tapi ia harus akui bahwa semuanya menyenangkan.
"Anak-anak sudah tidur," ujar Yungi sambil membuka pintu balkon secara perlahan.
Mina melirik ke arahnya sambil tersenyum lalu menganggukkan kepala.
"Makasih," sahut Mina. Ia memberikan satu kaleng minuman kepada Yungi yang ia simpan di dekat teralis balkon.
"Jangan bilang itu lagi. Aku merasa semakin malu dan asing di dekatmu kalau kamu bilang makasih setiap kali aku bantu kamu dengan urusan rumah." Yungi menjelaskan.
Mereka berdiri bersebelahan menatap pemandangan lampu-lampu malam yang berasal dari rumah atau apartemen yang ada di hadapan mereka.
"Maaf, kebiasaan," ujar Mina sambil tertawa kecil.
“Sama Awan juga, kamu gini ya? atau sama aku aja?” tanya Yungi penasaran.
“Sama lah! Kan kebiasaan!” jawab Mina sambil memukul lengan Yungi pelan.
Keduanya tertawa kecil. Keheningan memenangkan suasana sejenak. Sesekali kedua mata bertatapan dan mereka saling mengembangkan senyuman.
“Wow! Ini pertama kali kita berdiri bersebelahan dan hanya menikmati pemandangan dengan tenang tanpa ada pertengkaran! Kurasa aku harus diberikan selamat!” Yungi membuka percakapan setelah beberapa saat hening.
“Selamat!” sahut Mina sambil tersenyum dan ia menyodorkan kaleng minumannya mengajaknya bersulang. Yungi langsung tertawa.
“Kamu lucu, Min!” ujar Yungi sambil mendekatkan kaleng minumannya ke kaleng minuman Mina dan mereka bersulang.
“Baru nyadar, ya!” Mina tersenyum.
Yungi tersenyum. Ia menarik napas lega.
“Aku sangat bersyukur Juna dan Yuna berada di tangan yang tepat,” sahut Yungi. Ia menoleh ke arah Mina dan tersenyum.
"Aku dan Awan juga berterima kasih karena kamu mau terima Zen,” sahut Mina sambil tersenyum.
“Oh, jangan begitu! Aku malu selama ini aku selalu menerima darimu. Aku janji ke depannya, aku akan mengabdikan diriku untuk kalian," sahut Yungi. Dari nada bicaranya terdengar bahwa ia sangat serius mengatakannya, tapi ekspresi wajahnya terlihat sangat malu-malu, tapi Mina benar-benar menghargainya.
Suasana di antara mereka kembali hening. Keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing sambil menikmati satu kaleng minuman yang mereka genggam di tangan masing-masing.
"Min," akhirnya suara Yungi memecah keheningan di antara mereka.
"Hmm?" Mina tersenyum sambil menoleh ke arah Yungi.
"Terakhir sebelum pulang kita ketemuan sama Jun dan Jini, kan?" Yungi memastikan.
"Iya," sahut Mina.
"Baguslah! Kudengar Justin dan Vee juga datang ke Jepang," ujar Yungi.
"Oh? apa beritanya ada di grup?" Seingat dia tidak ada informasi tentang itu.
"Ga ada. Justin kasih kabar langsung ke aku," sahut Yungi.
“Wow! Vee masih kuat terbang ya! Padahal kandungannya udah cukup besar, kan?” Mina mencoba mengingat-ingat.
“Nah, yang itu aku ga ngerti juga!” ujar Yungi.
"Tapi Jay ga ikut," sambung Yungi.
"Oh, harus ikut?" Mina tampak bingung.
Yungi diam sejenak. Dia berpikir reaksi Mina akan sedih karena Jay tidak ikut.
"Ya, ga sih! Cuma kan biasanya kita ngumpul bareng," sahut Yungi.
"Ah! Nggak juga. Dulu kamu juga sering absen, kan?" Mina tersenyum. Nadanya menyindir.
Yungi hanya menggaruk kepalanya sambil mesem. Dia memang merasa demikian.
"Kamu cape?" tanya Mina.
"Aku? ... nggak," ujar Yungi sambil menunjuk hidungnya lalu menggelengkan kepala.
"Kenapa? Mau minta bantuan?" Wajah Yungi serius. Ia mengangkat kedua alisnya.
Mina tersenyum. Wajahnya mendekati wajah Yungi.
"Iya, mau minta bantuan. Boleh?" tanya Mina dengan suara yang lebih pelan. Yungi mengernyitkan alisnya sambil menganggukkan kepalanya pelan. Reaksi di wajahnya terlihat penasaran.
Ia menelan ludah sebab seketika bau tubuh Mina menggoda hidungnya, memancing berahinya yang sudah beberapa hari ia tahan sebab mereka belum menemukan kesempatan yang tepat untuk bermesraan.
"Apa?" nadanya terdengar gugup, dan ini bukan karena soal bantuan, melainkan karena wajah Mina yang semakin mendekat seolah siap untuk menciumnya.
"Mau boboin aku, ga?" Nada bicara Mina malu. Kepalanya menunduk menyembunyikan wajahnya dan ia tersenyum malu. Tangannya menarik lembut baju Yungi pada bagian perut.
Yungi melotot. Ia menelan ludah. Apa ia tak salah dengar?
“Kamu ga lagi godain aku, Min?” Bibir Yungi bergetar.
Mina menggelengkan kepala, tapi posisinya masih menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Astaga, Min. Mau banget! Kamu ga tahu aku dah nahan beberapa hari," ujar Yungi dengan wajahnya yang berubah sumringah. Ia menatap Mina gemas. Ia bahagia sebab permintaan itu Mina yang memulai.
Yungi tersenyum. Ia menarik Mina lebih dekat dan memeluknya dengan hangat. Mina tidak menolaknya. Ia membalas pelukan Yungi dan membenamkan wajahnya di dada Yungi.
Cup!
Satu ciuman hangat mendarat di pucuk kepala Mina. Mina agak terperanjat sebab ciuman itu meskipun sebentar telah memberikan tubuhnya sebuah sensasi yang tak ia kenal sebelumnya bahkan dari suaminya dulu, Awan. Mina masih tertegun, mencoba mendefinisikan apa yang barusan terjadi pada tubuh dan sekarang pada hatinya yang tetiba berdegup lebih kencang.
"O, Baby!" lirih Yungi sambil kembali mencium pucuk kepalanya. Dan ucapan itu membuat jantung Mina semakin berdegup kencang.
"I love you," bisik Yungi dengan lirihnya dan ia mengeratkan pelukannya.
"Apakah jalan cerita kita harus seperti ini. Butuh dua puluh tahun lebih untuk mengetahui sisi ini darimu. Aku suka," sambung Yungi.
Mina mengangkat kepalanya sebab suara Yungi tercekat dan menangkap mata Yungi yang berkaca-kaca.
"Kok nangis, Yun?" Mina menatap Yungi sambil tersenyum.
"Karena aku bahagia," ujar Yungi.
Mina tersenyum. Mereka bertatapan.
"Cium aku," lirih Yungi.
Mina berjinjit dan ia mengecup bibir Yungi lembut lalu melepaskannya.
Yungi tersenyum. Mereka bertatapan.
"I love you," ujar Yungi.
"I love you too," sahut Mina.
Mereka berciuman dan tak perlu lama adegan mereka berpindah ke kamar mereka, melanjutkan permintaan Mina.
Mereka berbaring bersebelahan saling menghadap dan menatap lembut. Baru saja mereka menyelesaikan permainan yang yang berujung kebahagiaan untuk keduanya. Berselimut sampai pada bagian dada, mereka sudah kembali membungkus tubuh mereka dengan pakaian tidur masing-masing.
"Suka?" tanya Yungi lembut. Tangannya membelai pipi Mina lembut.
Mina menganggukkan kepala sambil tersenyum. Ia tahu Yungi tengah bertanya kesan tentang percintaan yang baru saja mereka lakukan.
"Syukurlah," lirih Yungi. Ia mencium kening Mina.
"Kamu gimana? Suka?" tanya Mina balik.
"Kamu yang terbaik," bisik Yungi sambil mendekatkan wajahnya, bersiap mencium Mina.
"Hei," bisik Yungi sambil menatap Mina.
"Hmm?" Mina mengangkat kedua alisnya.
"Sekali lagi, ya!" Nadanya memohon.
Mina menggeleng.
Wajah Yungi terlihat agak kecewa.
"Dua kali lagi," ujar Mina sambil tersenyum.
"Wow!" Mata Yungi langsung berbinar dan seketika raut wajahnya berubah sumringah. Dia langsung menarik selimut dan mereka tenggelam dalam kemesraan mereka lagi malam itu.
***
Keesokan harinya, mereka berkunjung ke Kyoto. Di sana mereka berkunjung ke beberapa kuil yang cukup terkenal. Salah satunya Kuil Kinkaku. Mereka bahkan makan siang di dekat kuil itu di sebuah restoran yang sudah lama berdiri dan terkenal dengan menu udon dan ramennya.
"Dulu aku dan Awan sempat pergi ke sini. Kami makan juga di sini," sahut Mina sambil menatap Zen yang tengah lahap menyantap udonnya. Tatapannya agak sedih.
"Kamu ga apa-apa?" Yungi memegang tangan Mina.
"Iya, cuma jadi inget yang dibilang Awan aja dulu!" Mina menunduk.
"Oh, apa?" tanya Yungi penasaran.
"Kami berencana untuk tinggal di sini." Mina menatap Yungi.
"Kamu mau tinggal di sini?" tanya Yungi.
"Kalau kepaksa kayaknya aku bakalan pindah ke sini," ujar Mina.
"Kok Kyoto sih?" tanya Yungi.
"Ga harus di sini, tapi Jepang kayaknya lebih cocok buat aku dan Zen. Ada banyak kenangan aku juga di sini,” ujar Mina sambil tersenyum.
“Kenangan kamu?” Yungi mengernyitkan alisnya.
“Aku sering membeli banyak barang di sini. Jimat keberuntungan buat kalian juga aku beli di sini. Anehnya, walaupun kalian ga percaya, tapi itu selalu berhasil.” Mina menarik napas lega. Wajahnya terlihat bahagia.
“Jimat keberuntungan apa? Kayaknya aku ga pernah dapet deh!” Yungi mencoba mengingat-ingat.
“Kamu tuh jangan pura-pura amnesia. Itu yang aku titipin ke Gina waktu di kampus, Kamu pake kan dikalungin pula pas pertandingan basket!” Mina mengerling. Tetiba ia merasa kesal.
“Eh! Yang kayak teh celup yang ada tulisan kayak kanji di depannya itu?” Yungi langsung ingat saat dua kata kunci dikeluarka Mina, Gina dan pertandingna basket di kampus.
“Iya, itu. Aku kan sengaja beli di sini. Ya nggak buat kamu aja. Semua member juga dapet sih, khususnya pas kalian ada momen-momen penting. Aku kan udah bilang, aku ga bakalan support kalian sebisa aku. Kalian kan temen aku! Kalian juga kan gitu. Kita keluarga, kan!” sahut Mina. Ia menjelaskan dengan nada yang lebih tenang.
“Astaga! Tapi aku ga tahu kalau itu dari kamu, Min. Si Gina ga ngomong apa-apa!” ujar Yungi dengan nada yang terdengar agak kesal.
“Pantesan ada yang ganjil waktu itu!” ujar Yungi. Ingatannya seolah tengah berfokus pada sesuatu.
“Udah lama juga, Yun. Lupain aja! Cuma hal kecil juga,” sahut Mina.
“Tapi aku masih simpan jimatnya, ga tahu kenapa aku ga bisa buang padahal barang-barang dari si Gina aku bakar semua kecuali yang itu,” ujar Yungi.
“Ternyata itu dari kamu,” sahut Yungi.
“Jangan bilang gelang keberuntungan juga waktu pertandingan SMP bukan dari si Gladys?” Yungi bergumam.
“Yang warna merah, yang kamu pake sambil tunjukin ke Gladys, kan?” Mina tersenyum.
“Iya,” jawab Yungi dan kini sepertinya ia yakin bahwa gelang itu dari Mina juga.
“Iya, itu dari aku juga. Aku ga suka sama kamu, Kamu nyebelin kan waktu itu. Sekarang juga sih kadang-kadang hahaha! Tapi waktu aku nangis di atap, waktu Genta meninggal, pas kamu peluk aku, aku ngerasa terbantu banget sama kamu. Itu cara aku ngucapin terima kasih. Kebetulan si Gladys minta sesuatu buat kamu di pertandingan, ya udah aku kasih aja gelang itu!” Mina menjelaskan dengan santai.
“Waahh! Jadi selama ini sebenarnya semuanya soal kita loh, Min! Aku bodoh banget! Astagaaa!” Yungi mukul kepalanya pelan.
“Emang kapan kamu pinter?” Mina tertawa kecil.
“Apa ini artinya kamu dari dulu merhatiin aku, Min?” Yungi bicara dengan nada menggoda.
“Jangan kepedean ah! Aku ngelakuin yang sama buat semua temen aku, kok! Kamu tanya semua member gih! Tapi, di antara semua temen, kamu yang paling sering bikin aku repot dan juga khawatir!” Mina menatap Yungi.
“Aku ga ada niatan buat nikah dulu itu, Yun! Sama sekali ga ada! Cuma mamah sama papah marah, makanya dijodohkan, kan!” ujar Mina. Yungi mengangguk. Ia tak perlu banyak tanya sebab bagian itu ia tahu banyak.
“Iya, tapi aku salut sama kamu. Bisa nikah tanpa cinta,” ujar Yungi.
“Cinta kan bisa nyusul, Yun! Aku sama Awan prosesnya panjang banget. Kami sama-sama ga saling suka. Banyak hal yang kami harus negosiasikan, haha!” Mina menjelaskan.
“Kami bercinta setahun setelah nikah. Sama kamu baru berapa hari tuh dah main ranjang aja! Bawaannya kamu tuh gatel kali ya!” Mina mengejek.
“Waduh! Jangan gitu dong, Min! Kali kamu sama aku dah kenal lama banget, jadi ga perlu ada pendahuluan hahahaha!” Yungi tertawa renyah.
“Awan marah pas tahu kamu bukan seperti yang dia harapkan?” tanya Yungi. Dia bertanya tapi nadanya terdengar ragu-ragu.
“Maksud kamu pas tahu aku ga perawan?” tanya Mina memperjelas.
Yungi terlihat agak malu dan ia menganggukkan kepala.
“Nggak. Itu juga bukan yang pertama buat dia. Dia mah pengalamannya banyak. Makanya dia bilang males nikah sama yang perawan soalnya dia mesti berjuang keras dan ngajarin juga, hahha!” Mina menjelaskan.
“Whatt!” Yungi melotot. Si Awan ternyata sebelas dua belas sama dia. Pikirnya.
“Terus dia tahu soal kita, ... uhm yang pertama itu?” Yungi bertanya tapi ada perasaan tidak enak menyelinap di antaranya.
“Tahu, aku bilang kok! Aku juga tahu siapa yang pertama buat Awan. Kamu mau tahu siapa orangnya?” Mina mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum.
Yungi menganggukkan kepala.
Mina mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Yungi.
Tetiba Yungi membuka matanya lebar-lebar dan menganga.
“Whattttt!!!” Yungi melotot saat Mina memberitahu bahwa Sesil, adik Mina adalah perempuan pertamanya Awan.
Mina tersenyum.
“Kan sudah terjadi! Masa iya aku harus marah!” sahut Mina lagi. Ia kemudian melihat ke arah ketiga anaknya yang duduk di depan mereka sejak tadi menikmati makanan sambil menonton sebuah film kartun di HP mereka.
“Dunia sudah gila!” gumam Yungi.
“Lebih gila aku nikahin kamu, orang yang paksa aku hahaha!” Mina tertawa santai.
Yungi tertegun. Jelas-jelas itu satir untuknya.
“Kamu bener!” Yungi tak bisa mengelak dan nadanya terdengar menyesal.
“Jangan gitu ah! Kan semuanya udah lewat!” Mina memegang tangan Yungi.
“Yang paling penting saat ini anak-anak, Yun! Mereka perlu kita. Jadi, urusan yang lain kesampingkan aja dulu! Lagian kamu juga nyesel kan. Itu cukup buat aku! Aku dah maafin kamu juga kok!” tangan Mina beralih mengelus punggung Yungi.
“Iya, kamu bener!” Yungi menarik napas lega.
“Ini saat bahagia mereka. Jadi sebaiknya kita tidak merusaknya!” ujar Yungi.
“Aku juga bahagia kok, Yun!” ujar Mina.
Yungi tertegun.
“Kamu serius?” tanya Yungi.
Mina mengangguk mengiyakan.
“Aku juga,” sahut Yungi dengan mantap.
Mereka saling menyunggingkan senyum dan berpegangan tangan erat.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments